JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (Perppu Kebiri) terus saja memicu pro dan kontra. Sejumlah kalangan masih mempersoalkan keputusan radikal Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menerbitkan Perppu Kebiri tersebut.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan penerbitan Perppu Kebiri oleh presiden justru diapresiasi. Penerbitan Perppu itu dinilai merupakan komitmen serius presiden dalam perlindungan anak. Penerbitan perppu itu juga menunjukkan negara hadir dalam upaya perlindungan anak-anak Indonesia dari ancaman kejahatan seksual terhadap anak.  

Namun tak demikian dengan pandangan kalangan pembela hak asasi manusia (HAM). Menurut kalangan pembela HAM, penerbitan Perppu Kebiri justru bertentangan dengan kewajiban negara untuk memajukan HAM. Upaya memberikan perlindungan kepada anak dari kejahatan seksual, tak seharusnya melanggar HAM. Penerapan aturan itu dinilai telah keluar dari koridor prinsip-prinsip dan norma-norma HAM.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi), Wimpie Pangkahila, menyatakan, pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu Kebiri) justru bertentangan dengan kewajiban negara memajukan HAM.

Wimpie mengakui,  dikeluarkannya Perppu Kebiri karena rasionalitas untuk mengatasi kegentingan yang diakibatkan kekerasan seksual terhadap anak yang meningkat. Selain itu kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa karena mengancam dan membahayakan jiwa dan tumbuh kembang anak. Untuk itu, menurut presiden, kejahatan luar biasa membutuhkan penanganan yang luar biasa pula.

"Perppu Kebiri dihadirkan untuk mengatur hukuman kebiri dan menetapkan hukuman mati, hukuman seumur hidup, maksimal 20 tahun dan minimal 10 tahun penjara bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak," kata Wimpie melalui rilisnya.
 
Namun, menurut Wimpie, metode hukuman kebiri kimiawi dan metode hukuman mati merupakan perwujudan penyiksaan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi bahkan merendahkan martabat manusia. Sebab kebiri kimia juga akan merusak dan mengganggu  fungsi organ tubuh lain, seperti otot yang mengecil, tulang yang keropos, sel darah merah berkurang, dan fungsi kognitif terganggu.

"Dengan kata lain, kebiri justru akan  melanggar hak asasi manusia  karena merusak fungsi organ tubuh lain," jelasnya.

Selain itu, penetapan hukuman mati untuk memberatkan hukuman pidana bagi pelaku bertentangan dengan komitmen politik pemerintah untuk menerapkan hukuman mati sebagai pidana alternatif seperti dirumuskan dalam Rancangan KUHP dan akan menambah jumlah terpidana yang masuk dalam fenomena deret kematian (death row phenomenon).

Dia menambahkan, penetapan hukuman kebiri dan hukuman mati bertentangan dengan komitmen Indonesia melindungi warga negara agar bebas dari ancaman penyiksaan dan  penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.

"Larangan ini tercantum dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, Konvensi Anti Penyiksaan, dan Konvensi Hak Anak yang keseluruhan instrumennya telah diratifikasi Pemerintah," tegas Wimpie.

Bahkan, kata Wimpie, hal ini juga bertentangan dengan hak konstitusi warga negara, sebab dalam Pasal 28 I Ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

"Konstruksi norma sebangun juga terdapat pada Pasal 4  dan Pasal 33 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia," pungkasnya.

Tak hanya itu, tujuan penjeraan yang melandasi keluarnya Perppu Kebiri tidak menyasar akar masalah timbulnya kekerasan seksual, yakni keinginan untuk mendominasi dan menundukkan anak dan perempuan melalui manifestasi instrumen dan operasional budaya patriarkhi.

"Dengan kata lain, pola pikir yang  mempengaruhi hasrat seksual tidak teratasi dengan penerapan hukuman kebiri kepada pelaku," tuturnya.

Selain itu, sejauh ini juga belum ada kajian yang menunjukkan bahwa sanksi kebiri mampu secara efektif menekan tindakan kekerasan seksual. Lebih jauh,  pemberatan hukuman  melalui kebiri yang bertujuan menciptakan efek jera dan balas dendam (pendekatan retributif) juga sudah semakin ditinggalkan. Bahkan kini upaya justru diarahkan untuk merehabilitasi pelaku.

Sedang permasalahan lainnya, penghukuman kebiri juga tidak mempertimbangkan aspek cost benefit analysis, karena hukuman ini  memiliki dampak secara ekonomi, sebab harus mengalokasikan anggaran untuk menerapkannya.

Dalam pernyataan yang sama Dokter Spesialis Urologi, Dr. Arry Rodjani, SpU, menyebutkan pemberian obat itu membutuhkan biaya mulai Rp700 ribu-Rp1 juta untuk sekali penggunaan dan jangka waktu 1-3 bulan.

"Sementara, angka kekerasan seksual terhadap anak cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya," kata Arry Rodjani.

UTAMAKAN UPAYA REHABILITASI - Sementara itu Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSAM) Andi Mutaqqien mengatakan semestinya Pemerintah lebih mencurahkan sumber daya yang tersedia untuk membangun kerangka kebijakan yang diorientasikan kepada pemulihan hak-hak korban (victim oriented).

"Upaya pemulihan ini merupakan bentuk kompensasi negara yang telah gagal menciptakan mekanisme perlindungan yang efektif terhadap anak dari kekerasan seksual," kata Andi kepada gresnews.com, Kamis (26/5).

Untuk itu, ELSAM mendesak DPR menolak Perppu Kebiri menjadi undang-undang karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hak asasi manusia, prinsip rule of law, dan tatanan negara demokratis

Seperti diketahui sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Perppu Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu tersebut dikeluarkan untuk mencegah terjadinya tindakan kejahatan seksual terhadap anak dan memberi efek jera bagi pelaku.

BACA JUGA: