JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya pemerintah untuk menekan angka kekerasan seksual melalui pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) kejahatan seksual terhadap anak yang tertuang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu Kebiri) dirasa tak cukup. Pemerintah perlu juga mengalokasikan anggaran untuk mencegah terjadinya angka kekerasan seksual. Sejauh ini, komitmen pemerintah dalam melakukan pencegahan terjadinya kekerasan seksual belum menyentuh inti persoalan.

Uchok Sky Khadafi dari Centre for Budget Analysis (CBA) menilai langkah pemerintah dengan mengeluarkan Perppu kebiri belum maksmial. Dia menekankan pentingnya topangan politik anggaran yang memihak agar kekerasan seksual tidak merebak seperti saat ini.

"Penerbitan Perppu Kebiri itu hanya sandiwara pemerintah saja," kata Uchok kepada gresnews.com, Rabu (8/6).

Uchok menilai, komitmen pemerintah untuk mencegah tindak kekerasan seksual terhadap perempuan tidak hanya melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurutnya pemerintah perlu melakukan tindakan nyata untuk mengalokasikan anggaran yang memadai agar kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan bisa diminimalisasi.

Dari perspektif politik anggaran, komitmen pemerintah masih sangat rendah. Itu dapat dilihat dari anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pencegahan kekerasan seksual masih di bawah anggaran program lainnya. Padahal, kekerasan seksual merupakan tindakan kejahatan kemanusiaan yang mesti mendapat perhatian serius oleh pemerintah.

Uchok mencatat total alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2016 yang dikelola oleh beberapa lembaga dan kementerian untuk pencegahan hanya sekitar Rp823 miliar. Angka tersebut masih tak sebanding dengan program lain seperti Badan Ekonomi Kreatif, yang pemerintah bahkan menganggarkan dalam APBN sebesar Rp1,1 triliun.

Selain lemahnya komitmen pemerintah dalam politik anggaran, pemerintah juga tidak memiliki program-program unggulan untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap perempuan.

Menurut data kasus kekerasan terhadap perempuan yang dirilis oleh Komnas Perempuan dalam rentang waktu 1998-2013 muncul 93.960 kasus. Seperempat dari kasus tersebut merupakan kekerasan seksual. Jika disederhanakan lagi, terdapat 35 kasus kekerasan setiap harinya.

"Tidak terlihat adanya program nyata pemerintah yang pro perempuan dan perlindungan perempuan. Kasus perkosaan yang semakin menjadi menambah parah kasus perdagangan perempuan," keluh Uchok.

Oleh karenanya, dia mengusulkan agar pemerintah memikirkan kembali penambahan anggaran melalui APBN Perubahan 2016 yang sedang dibahas itu. Karena pemerintah seharusnya membuktikan keberpihakan politik anggaran untuk pencegahan kekerasan seksual.

"Mumpung akan dibahas antara pemerintah dengan DPR, maka harus ada penambahaan anggaran untuk pencegahan atas kekerasan seksual," kata Uchok.

Sesuai catatan Centre for Budget Analysis (CBA) yang diterima gresnews.com, dana pencegahan kekerasan yang dikeluarkan melalui beberapa pos anggaran kementerian, diantaranya:

1) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebesar Rp769,3 miliar. Dari Rp769,3 miliar ini, harus dikurangi Rp36,7 miliar untuk gaji pegawai;

2) Alokasi anggaran perempuan pada Komisi Hak Asasi Manusia sebesar Rp3,3 miliar pada program pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak korban;

3) Kementerian sosial, dana yang tersedia hanya sekitar Rp60,39 miliar untuk perlindungan sosial korban tindak kekerasan dan pekerjaan migran.

ALOKASI ANGGARAN MINIM - Mariana Amiruddin, Kepala Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komisi Nasional Perempuan, juga membenarkan minimnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan. Dalam konteks kekerasan seksual, pemerintah hanya terfokus pada penindakan pelaku kekerasan seksual, sementara sisi korban cenderung terabaikan.

"Alokasi anggaran yang ada belum maksimal, masih kurang," ujar Mariana kepada gresnews.com.

Apalagi, sambung Mariana, penanganan kekerasan tidak bisa berjalan mandiri yang dikerjakan satu lembaga, namun memerlukan kerjasama antar lembaga. "Banyak program yang terpaksa harus dibiayai sendiri. SDM juga masih kurang," tambah Mariana.

Selain itu, soal hukuman kebiri sempat mendapat perhatiannya. Mariana menilai langkah pemerintah melakukan kebiri selain harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, kebiri tidak menyentuh persoalan dalam kekerasan.

"Yang paling penting itu bagaimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas di prolegnas. Bagaimana korban itu tidak ditelantarkan, perlunya penangan korban. Ini lebih dibutuhkan," katanya.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mendukung penuh keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal pemberatan hukuman terhadap pemerkosa anak, termasuk hukuman kebiri kimia.

Arist melihat pemberatan hukuman merupakan upaya serius dari Presiden Jokowi untuk menyikapi maraknya perlakuan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Baginya, kejahatan luar biasa seperti ini harus disikapi dengan penanganan yang luar biasa pula.

"Jadi ini sebagai extraordinary crime penanganan ini harus dilakukan secara extraordinary," ujar Arist di Kantor Komnas PA, Jumat, (3/6).

Perppu ini lebih bisa membuat para predator anak berpikir ulang untuk melakukan perbuatan keji tersebut. Selama ini anak-anak yang berhadapan predator ini hukumnya masih lemah, belum berkeadilan bagi korban.

Sejauh ini, Arist memandang tingkat kejahatan seksual terhadap anak semakin tinggi. Ia juga semakin miris dengan yang terjadi akhir-akhir ini, bahwa kejahatan seksual terhadap anak tak lagi hanya dilakukan secara individu tapi juga berkelompok.

Komnas PA menerima 6.726 laporan tentang pelanggaran terhadap anak, 52 persen kekerasan seksual. Ada 38 kasus, 48 persen kekerasan seksual dari Januari sampai Mei tahun ini. "Ini yang lebih menakutkan karena bergerombol, 2 sampai puluhan orang. Ini yang harus benar benar kita antisipasi," imbuhnya.

Arist berharap pemerintah semakin giat untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual terhadap anak. Salah satu yang bisa segera dilakukan adalah memblokir situs pornografi yang menurut Aris merupakan salah satu faktor kunci meningkatnya angka tindak kekerasan seksual yang melibatkan anak.

"Pemicunya adalah pornografi, situs-situs yang gampang diakses bagaimana runtuhnya ketahanan keluarga, perhatian keluarga, tidak ada komunikasi di ruang keluarga. Nilai-nilai kedekatan keluarga mulai tergerus, mereka di rumah rata-rata main gadget dari data kami demikian. Jadi dua hal ini harus diperhatikan pemerintah," tutup dia. (dtc)

BACA JUGA: