JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan menunda pengesahan RUU tentang penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU. Keputusan DPR ini diambil karena tiga fraksi tidak setuju RUU tersebut diteken sehingga diagendakan di Paripurna yang akan datang.

Seperti yang diungkapkan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Fraksi PKS belum dapat menyetujui pengesahan Perppu No 1 tahun 2016 menjadi UU. Pasalnya, menurut tata tertib pembahasan tentang perppu ini baru bisa dilakukan pada masa persidangan sekarang sehingga pengesahaan baru dapat dilakukan pada persidangan mendatang, jadi sekarang tidak bisa serta merta menjadi Undang-Undang.

Perppu sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Mei dan diajukan pada Juni 2016. "Masa sidang kelima DPR diawali 17 Mei 2016 dan dilanjutkan sampai akhir 28 Juli nanti. Masa sidang selanjutnya diawali 16 Agustus 2016," kata Ledia dalam sidang paripurna DPR, Selasa (23/8).

Menurutnya, seharusnya Perppu baru diajukan pada masa sidang berikutnya dan bukan pada masa sidang ini. Ia tak ingin ada proses yang dilanggar. Ia menegaskan sikapnya bukan berarti tak memberikan dukungan pada pemberatan hukuman pelaku kekerasan seksual pada anak.

Dalam Rapat dengar pendapat dengan menteri kesehatan dan menteri sosial sebulan yang lalu dirinya menyatakan bahwa tingkat kekerasan seksual terhadap anak sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Harus ada penanganan yang lebih serius dan sistematis baik penindakan maupun pencegahan.

Ia juga menyebutkan bahwa penegak hukum yang ada memiliki sensitivitas yang rendah dalam menangani kasus kekerasan seksual. Sehingga dibutuhkan hal yang lebih kuat dari pada sekedar peningkatan hukuman pidana dikarenakan sanksi yang berlangsung sekarang pun tidak terlalu memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Keputusan banting setir yang dilakukan fraksi PKS dirasa cukup mengejutkan, Ledia berdalih selain melanggar prosedur yang ada dalam Pasal 22 UU 1945 yang bila ditetapkan menjadi UU maka DPR akan melanggar aturan yang telah dibuat. Masih ada beberapa catatan yang masih belum terjawab sehingga ditakutkan berpotensi menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pemerintah untuk menjalankannya jika disahkan menjadi undang-undang.

"Kami belum dapat menyetujui karena prosesnya. Ini penting untuk diperhatikan oleh semua," tegasnya.

POIN MASALAH - Dalam Sidang Paripurna tersebut, selain Fraksi PKS ada beberapa fraksi yang juga menolak jika Perppu ini disahkan menjadi UU diantaranya adalah Fraksi Gerindra dan PAN. Menurut Gerindra yang diwakili oleh Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menyatakan fraksinya belum dapat menyetujui jika Perppu ini disahkan menjadi UU sebab anggaran untuk melakukan hukuman kebiri dirasa cukup besar.

Ia juga meminta agar pemerintah memberikan penjelasan yang lebih, sebab Perppu ini masih hanya berfokus terhadap pelaku sedangkan penanganan korban masih menjadi tanda tanya besar. Walaupun dirinya setuju bahwa hukuman terhadap pelaku harus dimaksimalkan, akan tetapi beberapa hal dalam Perppu ini belum dapat terakomodasi dengan baik seperti belum ada jaminan dari pemerintah bahwasanya pelaku nanti tidak akan mengeluarkan chip yang telah ditanam.

"Korban belum mendapat perhatian penuh, trauma yang dialami perlu mendapat perhatian," ujar Rahayu Saraswati di gedung DPR, Selasa (23/8).

Dalam Perppu ini ada perubahan dua pasal dari UU sebelumnya yakni pasal 81 dan 82, serta menambah satu pasal 81A. Sanksi bagi pelaku kejahatan seksual memang cukup berat, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. selain itu ada pula tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.

Dalam pasal 81 disebutkan apabila tindak kekerasan seks dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Apabila pelaku pernah dipidana dengan kasus yang sama atau menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. pelaku juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan chip.

Dalam Perppu ini ditambahkan pasal baru yaitu Pasal 81 a yang mengatur tentang tata cara pengebirian dan pemasangan chip. untuk penanaman chip akan dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

Sedangkan pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini lah yang dinilai tidak jelas oleh fraksi Gerindra, teknis pelaksanaan hukuman dan pasca dihukum belum jelas.

"Perppu ini masih membuka peluang terjadinya salah sasaran," ungkap Rahayu.

Sebab menurutnya kasus kekerasan seksual yang terjadi bukan hanya karena persoalan hormonal. Kekerasan seks juga bisa disebabkan oleh gangguan jiwa seperti pedofil hal ini menimbulkan pertanyaan apabila pelaku melakukan aksinya karena ganguan jiwa bisa diselesaikan dengan cara dikebiri.

Ia meminta kepada DPR agar tidak membuat keputusan yang gegabah, Sebab data-data yang disodorkan oleh pemerintah sebagai acuan membuat Perppu ini dirasa tidak komprehensif. Data tersebut menunjukan bahwa terjadi peningkatan tindak kekerasan seksual terhadap anak, akan tetapi data itu diragukan kevalidannya sebab pemerintah tidak dapat menjelaskan asal data yang digunakan.

"Kemenkumham juga tidak mengirim utusan yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Komisi VIII," ungkapnya.

SIDANG ALOT - Selain ketiga fraksi yang menolak pengesahan tersebut, Fraksi Demokrat belum menentukan sikapnya. Sedangkan fraksi Golkar, fraksi PPP, fraksi PKB, fraksi PDIP, fraksi Hanura dan fraksi Nasdem menyatakan setuju menjadikan Perppu perlindungan anak atau yang lebih dikenal dengan Perppu Kebiri dijadikan Undang-undang.

Perbedaan pandangan yang meruncing sudah diupayakan penyelesaiannya melalui forum lobi-lobi. Namun, kesepakatan tak juga tercapai.

Melihat perdebatan yang cukup alot, maka Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan ‎selaku pemimpin Rapat Paripurna memutuskan untuk menunda hasil rapat dalam konteks pengambilan keputusan. "Atas masukan dari setiap fraksi dan pimpinan, sudah ada kesepahaman untuk ditundanya pengesahan ini," ujar Taufik di gedung DPR, Selasa (23/8).

Usai sidang paripurna, Taufik menjelaskan penundaan ini dilakukan karena mempertimbangkan aspek urgensi. "Pimpinan DPR juga sepaham untuk ditunda," kata Taufik.

Menurutnya persoalan Perppu ini bukan persoalan menang kalah. Tapi DPR memberikan kesempatan pada pemerintah untuk melengkapi hasil pembahasan soal permasalahan ini.

"Berikutnya di rapat paripurna akan datang. Saya yakin tak ada yang tak setuju. Kami beri kesempatan pemerintah untuk jelaskan," kata Taufik.

Meski yang menyetujui Perppu ini ada tujuh fraksi, Taufik mengatakan pimpinan tidak mengambil mekanisme voting. Sebab voting dianggap hanya mempertentangkan yang setuju dan tidak setuju.

Sementara itu pemerintah yang diwakili oleh menteri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise akan bersabar dan melihat situasi ke depan. Ia juga siap untuk dipanggil lagi apabila dibutuhkan. Menurutnya penundaan pengesahan RUU tersebut wajar terjadi karena adanya perbedaan pendapat dari setiap fraksi.

BACA JUGA: