JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dunia peradilan Indonesia saat ini bisa dibilang berada dalam kondisi darurat. Krisis kepercayaan terhadap lembaga peradilan diperparah dengan terungkapnya berbagai kasus suap yang menimpa para hakim pada berbagai tingkatan. Yang terbaru adalah tertangkapnya Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu yang sekaligus hakim tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tipikor Bengkulu Janner Purba dan Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Tipikor Bengkulu Toton.

Penangkapan itu merupakan yang ketiga kalinya dilakukan KPK terhadap aparat peradilan dalam empat bulan belakangan ini. Pada 13 Februari lalu, KPK menangkap Kasubdit Perdata Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna karena menerima suap Rp400 juta. Uang itu diberikan atas inisiasi terpidana korupsi Ichsan Suaidi dengan kurir pengacara Awang. Dalam persidangan Awang, terungkap dagang perkara Andri dengan staf kepaniteraan MA, Kosidah. Sejumlah nama hakim agung disebut.

Kemudian, pada 20 April 2016 KPK kembali menangkap pejabat pengadilan. Kali ini Panitera PN Jakpus Edy Nasution. Dari penangkapan ini, KPK juga menangkap sang penyuap yaitu Doddy Arianto Supeno. Dari pengembangan kasus ini belakangan terungkap keterlibatan Sekretaris MA Nurhadi. Saat dilakukan penggeledahan, penyidik KPK mendapati sejumlah uang, termasuk uang di kloset rumah Nurhadi.

Terakhir, 23 Mei, KPK mengamankan Janner Purba dan Toton juga terkait kasus suap. Dalam kasus ini KPK juga menangkap Panitera Pengadilan Tipikor Bengkulu Badarudin dan dua terdakwa kasus korupsi yaitu Edi Santoni dan Safri Safei. Kedua terdakwa itu sedianya akan divonis pada Selasa (24/5) tetapi KPK mengendus kesepakatan jahat di antara mereka. Dari penangkapan itu didapati uang Rp650 juta.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Taufiqulhadi mengatakan, tertangkapnya para pejabat di lingkungan peradilan dalam kasus suap ini merupakan indikasi bahwa lembaga peradilan yang menjadi benteng terakhir peradilan negeri ini sudah kebobolan. Menurutnya, tertangkapnya kedua hakim tersebut tidak serta merta menyelesaikan permasalahan mafia hukum di tubuh pengadilan.

Taufiqulhadi mengatakan, praktik suap-menyuap atau jual-beli perkara di pengadilan ini sudah berlangsung lama dan sangat sulit untuk diberantas. "Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik mafia peradilan itu ada," ungkap Taufiqulhadi kepada gresnews.com, Rabu (25/4).

Ia juga mengungkapkan, DPR merasa sangat khawatir sehingga akan terus melakukan pembenahan lingkungan peradilan. Salah satunya adalah dengan merevisi UU Jabatan Hakim. Lewat revisi ini nantinya segala sesuatu yang berurusan dengan hakim dan dianggap tidak sesuai akan direvisi sehingga akan mempersempit ruang gerak para mafia peradilan. "Citra lembaga peradilan sudah sangat buruk dan harus diperbaiki segera," tegasnya.

Taufiqulhadi mengapresiasi langkah KPK yang bisa bertindak tegas mengungkap kasus tersebut. Dia meyakini langkah pembersihan oleh KPK di lembaga peradilan bukanlah yang terakhir, dan akan terus ada penangkapan-penangkapan selanjutnya. Ini dilakukan KPK sesuai dengan instruksi presiden yang sudah sangat gerah oleh perilaku para oknum mafia peradilan di negeri ini. "Presiden Jokowi sudah gerah," ungkap Hadi.

Dia mendata, sedikitnya ada 35 orang hakim, panitera, dan pegawai pengadilan yang terjerat kasus korupsi sejak KPK berdiri. Rentetan kasus tersebut menunjukkan adanya praktik korupsi yudisial yang sistemik, masif, dan mengakar di institusi pengadilan.

Jika berkaca pada jumlah pengadilan di Indonesia yang mencapai 825 pengadilan, maka potensi penyimpangan juga sangat besar. "Belum lagi persoalan pengawasan yang lemah, semakin memperbesar potensi korupsi di tubuh pengadilan," pungkas Taufiqulhadi.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita mengatakan, persoalan mafia hukum di lembaga peradilan ini memang sudah merupakan permasalahan sistemik. "Semua itu pakai sistem, tapi kalau terjadi seperti ini kalau tidak sistemnya buruk atau sistem pengawasannya yang buruk," ujar Romli kepada gresnews.com, Rabu (25/5).

Dilihat dari beberapa kasus yang terjadi, kata Romli, tidak berjalannya pengawasan internal dan eksternal menjadi pemicu maraknya mafia peradilan di negeri ini. Oleh karena itu dirasa sangat penting untuk semua pihak termasuk Komisi Yudisial agar tidak berpangku tangan dan segera turun ke lapangan agar mengetahui proses yang terjadi di masyarakat. "Jangan hanya menunggu pengaduan," tegas Romli.

Selain lemah di pengawasan, sistem perekrutan dan pengangkatan hakim, kata Romli, juga harus direvisi secara total. Kasus tertangkapnya hakim di Bengkulu ini menjadi bukti teranyar buruknya sistem promosi dan pengangkatan hakim. "Sistem pengangkatan, rekruitmen, mutasi dan promosi pejabat peradilan harus benar-benar cermat dan teliti," tegasnya.

Menurutnya tidak ada salahnya jika mendengar masukan dari masyarakat serta Komisi Yudisial, sehingga para hakim dan pejabat peradilan yang diangkat sudah jelas jejak rekamnya. Evaluasi tahunan untuk para hakim juga bisa menjadi cara untuk memberantas mafia peradilan.

Dengan sistem itu, masyarakat serta elemen lainnya akan langsung bisa menilai jika ada keganjilan dalam setiap keputusan yang dibuat. "Apalagi jika terindikasi korupsi, akan langsung blacklist," ujar Romli.

PERPPU ANTI MAFIA PERADILAN - Hakim Agung Gayus Lumbuun mengakui penangkapan para hakim oleh KPK belakangan ini merupakan buntut dari salah urus lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Agung. "Ini merupakan akibat dari lembaga bernama Mahkamah Agung yang salah urus. Persoalan ini sudah mengarah kepada muara, bukan hilir lagi. Kenapa begitu, karena saya melihat ada kesalahan urus di sana," ujar Gayus, Rabu (25/5).

Gayus menilai demikian karena pengadilan tinggi maupun pengadilan negeri di daerah merupakan lembaga di bawah langsung Mahkamah Agung. Salah pengelolaan, lanjut dia, berbuntut kepada permasalahan-permasalahan hukum pada hakim. Menurut dia, sudah waktunya Mahkamah Agung memaksimalkan lembaga yang bernama Tim Promosi dan Mutasi (TPM).

"TPM akan berfungsi mengkader para hakim yang benar-benar memiliki kemampuan dalam segi keilmuan dan memimpin. Nantinya mereka juga dimutasi sesuai dengan kedudukan atau wilayah yang tepat. Yang terjadi saat ini sebaliknya, mutasi maupun promosi berdasarkan suka dan tidaknya pemimpin. Siapa yang kritis akan justru tersingkirkan dan mendapatkan jabatan tidak sesuai dengan kemampuannya," ucap Gayus menegaskan.

Gayus mencontohkan lagi, menurut UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung diatur seorang hakim dapat mencalonkan sebagai hakim agung ketika memenuhi beberapa persyaratan. Di antaranya minimal memiliki pengalaman 20 tahun. Misalnya tiga tahun menjadi hakim pengadilan tinggi.

"Tetapi yang terjadi tidak demikian, baru beberapa bulan atau hanya satu tahun di pengadilan tinggi sudah diloloskan. Ini sejak dulu saya khawatirkan, bagaimana mereka bisa menjadi pemimpin dan mengelola lembaga peradilan dengan baik, bila pada titik awalnya saja sudah dilanggar," sebut guru besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Jakarta itu.

Untuk menghentikan krisis kepercayaan kepada lembaga peradilan ini, Gayus mengusulkan agar presiden selaku kepala negara dapat turun tangan dengan menerbitkan Perturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk merombak sumber daya manusia di lembaga MA. "Presiden bisa melakukanna, ini amanat undang-undang sebagai kepala negara. Jika itu merupakan satu-satunya jalan," tegasnya.

Hal senada juga disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Mahfud meminta segera dikeluarkan Perppu untuk mengatasi permasalahan mafia peradilan. "Harus ada langkah radikal. Mungkin perlu ada perppu untuk menyelesaikan masalah ini seketika. Tentu perppu bisa dipotong di DPR atau perppu dibuat di akhir masa sidang (DPR)," kata Mahfud.

Solusi lain, kata Mahfud, adalah cara radikal seperti potong generasi. Mahfud meyakini jika kondisi ini terus dilakukan maka orang tidak lagi bisa mendapatkan keadilan. "Ini kalau dilanjutkan, ngeri. Siapa pun jadi tidak aman. Negara bisa hancur kalau terus begini," cetus Mahfud.

Menurut Mahfud, di tengah kekalutan hukum itu, masih ada sedikit harapan yaitu masih ada sebagian hakim yang bersih dan berintegritas. "Memang tidak semua hakim jelek, paling tidak Salman Luthan tidak pernah terlibat kasus sampai saat ini. Maka kita undang," katanya.

BELUM DARURAT - Berbeda dengan Gayus dan Mahfud, Hakim Agung Salman Luthan mengatakan, kondisi dunia peradilan saat ini belum bisa disebut sebagai kondisi darurat. "Kasus yang terjadi hari ini tidak menggambarkan kegawatan peradilan. Itu proses Mahkamah Agung (MA) untuk menjadi agung. Harus kita hargai prosesnya," tutur Salman.

Salman menambahkan, hal ini sebagai proses alamiah yang akan masih berlanjut. Hanya saja, MA harus merespons masalah ini dengan lebih konsen. Menurutnya, masalah memang ada, tapi bukan gambaran umum lembaga peradilan di Indonesia.

Penanganan kasus masih dapat berjalan dengan baik. Contohnya adalah kasus perkosaan, terkait hak kekayaan intelektual yang menurutnya masih dapat berjalan dengan baik. Salman mengatakan, kondisi peradilan yang ada saat ini tidak terpisah dengan kondisi riil masyarakat.

"Apa yang terjadi di peradilan tidak terlepas dari dunia ekosospol (ekonomi, sosial, politik-red) yang ada di luar. Seperti apa yang terjadi di eksekutif, seperti lebih dari separuh kepala daerah jadi tersangka," tutur Salman.

"Jadi saya tahu mana teman saya yang konsisten tegakkan keadilan. Situasi kami tidak segawat yang diberitakan media. Kalau berita tidak dibuat gawat, kan tidak akan laku beritanya. Kalau ada kasus tadi, itu proses alamiah saja. Bukan proses yang akan buat negara ini bangkrut. Kalau, dengan catatan, MA terus melakukan perbaikan," ujarnya.

Salman juga mengakui dalam melakukan perbaikan dalam dunia peradilan, ada reformasi institusional dan kultural. Pada sisi institusional, MA sendiri sudah melakukan beberapa terobosan. Kebijakan one day publish, segi administrasi dan keterbukaan peradilan diklaimnya relatif berhasil. Begitu juga sistem kamar yang diadopsi dari Belanda. Namun, ia mengakui sisi reformasi kultural belum berjalan baik.

"Yang belum tergarap ialah reformasi kultural. Bagaimana mengubah pola pikir hakim yang independen dan bertanggung jawab atas putusannya terhadap Tuhan, terhadap rakyat," ucap Salman.

Hal senada juga disampaikan Ketua Komisi III DPR Azis Syamsudin. Dia menegaskan, penangkapan para pejabat peradilan tersebut lebih berkaitan dengan ulah oknum dan tidak terkait dengan sistem peradilan. Dia menilai, saat ini sistem peradilan sudah cukup baik. "Hanya perlu dilakukan sedikit pembenahan serta peningkatan proses pengawasan baik secara eksternal maupun internal," katanya kepada gresnews.com.

Selain itu, kata dia, perlu ada pengembangan proses integrated legal system di antara para penegak hukum yang ada serta transparansi perkara dan salinan perkara dikarenakan praktik kecurangan terjadi saat proses administrasi setelah putusan. "Proses pendaftaran kasasi dan proses salinan keputusan yang paling rentan," ujar Azis. (dtc)

BACA JUGA: