JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Kebiri untuk mengatasi maraknya aksi kekerasan seksual terhadap anak dinilai kurang tepat. Kebijakan itu dipandang tidak akan memberikan dampak yang signifikan untuk mengatasi persoalan tersebut. Selama ini pemerintah lebih fokus pada pemikiran tentang penghukuman tanpa memikirkan penanganan korban.  

Suara penolakan Perppu Kebiri itu disampaikan oleh Aliansi Tolak Perppu Kebiri, sebuah jaringan yang terdiri dari 99 organisasi masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada hak anak dan reformasi hukum di Indonesia. Mereka terdiri dari ICJR, ELSAM, ECPAT INDONESIA, LBH Apik Jakarta, Forum Pengada Layanan, LBH Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Masyarakat, PBHI, SAPA Indonesia, LBH Pers, PKBI, WALHI, KePPaK Perempuan, Institut Perempuan, HRWG, CEDAW Working Group Initiative (CWGI), ASOSIASI LBH APIK, Perempuan Mahardika, Positive Hope Indonesia, KONTRAS, serta Perkumpulan Pendidikan Pendampingan untuk Perempuan dan Masyarakat (PP3M)

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A.T Napitupulu mengatakan, aliansi menolak rencana pemerintah menerbitkan peraturan Perppu tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.

"Kita melihat hukuman kebiri bukan solusi utama untuk menangani masalah kekerasan seksual terhadap anak, karena setelah kami teliti dari berbagai negara di Amerika Serikat, Asia, dan Eropa, hukuman kebiri tidak efektif dan tidak membuat efek jera," kata Erasmus di sela-sela diskusi bertema Pidana Kebiri, di Cikini, Jakarta, Senin (23/5).

Erasmus melihat selama ini pemerintah lebih fokus pada pemikiran penghukuman, bukan soal penanganan korban. Menurutnya, menghadapi situasi darurat seperti saat ini pemerintah seharusnya lebih fokus memberi perhatian terhadap anak korban kekerasan seksual, bukan hanya pelakunya. Terutama untuk penanganan dan upaya rehabilitasi korban.

"Jadi keadaan darurat negeri ini merupakan kondisi korban, bagaimana kondisi korban bisa dipulihkan, hukuman berat bagi pelaku tentu iya," jelasnya.

Disebutkannya, berdasarkan kajian ICJR dan perbandingan hukum di beberapa negara, hukuman kebiri ada tiga pilihan, yakni mandatory sebagai hukuman pidana yang wajib; selanjutnya discretionary, tergantung hakim yang sifatnya hukuman tambahan; dan voluntary, diberikan hanya jika mendapatkan kesepakatan dengan yang akan dikebiri.

Di Australia, hukuman kebiri tidak menjadi hukuman yang wajib, begitu juga dengan negara-negara lain. Bahkan di negara lain bentuknya rehabilitasi. "Dari hasil penelitian kami, hukuman kebiri tidak akan efektif," ujarnya.

REHABILITASI BELUM MEMADAI - Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo meminta pemerintah untuk memperhatikan banyaknya aspek yang harus diperbaiki dalam penanganan masalah kekerasan seksual terhadap anak atau kasus pemerkosaan.

Rahayu mengatakan sejauh ini aspek rehabilitasi korban kekerasan seksual masih banyak kekurangannya. Contohnya soal anggaran atau dana untuk rehabilitasi. Dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), telah diatur perihal pemberian ganti rugi kepada korban kekerasan seksual. Namun hal itu sulit untuk bisa diterapkan, bila ternyata pelakunya merupakan pengangguran atau orang miskin.

"Jadi harusnya ada restitusi UU TPPO jika pelakunya dikenakan denda atau harus membayar rehabilitasi korban. Misalnya kasus pengusaha di Kediri, Jawa Timur. Namun kalau pelakunya pengangguran gimana mau bayar," kata Rahayu.

Dia juga mempertanyakan peran Kementerian terkait terhadap perlindungan korban pemerkosaan yang sebagian besar anak-anak. Selama ini mereka masih jauh dari perhatian pemerintah. Hal itu telah membatasi terpenuhinya layanan rehabilitasi kepada korban agar bisa kembali ke dalam masyarakat.

"Tahun ini sudah diajukan anggaran rehabilitasi korban ke Kementerian Keuangan dan Bappenas untuk dinaikkan menjadi Rp1 triliun pada APBN-P, tetapi ditolak dan akhirnya diturunkan menjadi Rp500 miliar," ungkapnya.

Padahal, menurutnya, bahaya dari tidak adanya rehabilitasi yang memadai baik terhadap korban maupun pelaku kekerasan seksual, terutama untuk pelakunya adalah mereka bisa menjadi pelaku kembali.

Seperti diketahui, Pemerintah akan segera menerbitkan Perppu tentang hukuman kebiri untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Hal tersebut disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam rapat terbatas tentang pencegahan kekerasan terhadap anak beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: