JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Setya Novanto (mantan Ketua DPR dari Fraksi Golkar) dalam kasus hak tagih atau (cessie) Bank Bali tahun 1999 dipersoalkan. Dalam persidangan praperadilan gugatan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) yang menyasar sikap Kejagung terkait status tersangka mantan Menteri Negera Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Tanri Abeng, dalam kasus cessie Bank Bali pekan lalu, terungkap adanya fakta penerbitan SP3 terhadap Novanto yang terlibat perkara tersebut.

Novanto, yang saat itu menjabat sebagai direktur utama PT Era Giat Prima (EGP), sempat menjadi tersangka namun Kejagung mengeluarkan SP3 tanpa alasan yang jelas pada 18 Juni 2003 dengan nomor: Prin-35/F/F.2.1/06/2003. Atas sikap Kejagung tersebut Boyamin menyatakan akan melakukan gugatan. "Saya akan gugat, mungkin sekitar dua minggu ke depan lah," kata Boyamin, Koordinator LSM Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), kepada gresnews.com, Minggu (10/4).

Boyamin menduga kuat ada intervensi politik dalam putusan hukum yang menyeret nama Novanto. Dia menilai, pertama, ada dugaan kuat Kejagung mengeluarkan SP3 Novanto dengan cara diam-diam sehingga baru terungkap setelah belasan tahun. "Ya iya lah ada kongkalikong. Ada intervensi politiknya. Kalau tidak bagaimana Kejaksaan Agung bisa menyimpan kasus ini selama belasan tahun," kata Boyamin.

Padahal nama Novanto sendiri diikutsertakan dalam pertimbangan hakim pada putusan Peninjauan Kembali (PK) Syahril Sabirin, yang menyertakan nama Tanri Abeng dan Setya Novanto bersama-sama dan berlanjut melakukan tindak pidana korupsi. Namun sayangnya sampai saat ini Novanto belum diproses secara hukum.

Menurut Boyamin, tindakan Kejagung mengeluarkan SP3 kepada Novanto adalah sikap yang tidak fair. Pasalnya, terbitnya SP3 Novanto itu sewaktu tersangka kasus Bank Bali lainnya masih menjalani proses hukum seperti Djoko Tjandra, Syahril Sabirin dan Pande Lubis yang baru selesai sekitar tahun 2009. "Seharusnya kalau harus mengeluarkan SP3, ya mestinya setelah proses hukum dari tiga orang itu selesai. Ini kok lagi hangat-hangatnya malah keluar SP3 kepada Setya Novanto," kata Boyamin.

Selain itu, Boyamin memandang ada kewajiban Kejagung yang menangani perkara tersebut untuk memberi tahu kepada masyarakat terkait kasus-kasus yang ditanganinya. Karena masyarakat sebagai korban dari korupsi sangat memerlukan informasi-informasi perkembangan kasus korupsi yang mandeg dalam penanganannya.

"Ada kewajiban kejaksaan memberi tahu kepada pelapor. Kalau dalam kasus korupsi kan pelapornya adalah rakyat. Semestinya diberitahu kepada publik melalui update kepada pers. Ini kan tidak," imbuh Boyamin.

TAK PENUHI SYARAT SP3 - Ahli hukum pidana dari Universitas Tarumanegara Hery Firmansyah menyatakan bahwa SP3 memang kewenangan Kejaksaan Agung untuk mengeluarkan, tetapi tetap mengacu pada landasan hukum yang benar. Merujuk pada KUHAP Pasal 140 Ayat 2, ada tiga unsur yang mendasari dikeluarkannya SP3, pertama, tidak terdapat alat bukti; kedua, tidak ada unsur pidana; dan ketiga, ditutup demi hukum lantaran mengandung kepentingan umum.

"Kalau dalam kasus Setya Novanto, ketiga unsur tersebut ada. Kalau dibilang tidak ada alat bukti, itu ada. Termasuk pidana iya, kan dia berbarengan dengan tersangka yang lain dalam pidana tersebut. Kalau ditutup demi hukum tidak kok," kata Hery kepada gresnews.com, Minggu (10/4).

Kalau dasar SP3, imbuh Hery, mengacu pada unsur ketiga yakni ditutup demi hukum itu atas dasar apa. Menurut Hery, tidak ada kepentingan masyarakat, bangsa yang mengharuskan kasus itu ditutup. Bahkan Hery menilai bahwa tindak pidana korupsi tersebut telah merugikan masyarakat.

Jika ada unsur dalam Pasal 140 terpenuhi, kata Hery, semestinya proses hukumnya jangan di-SP3-kan tetapi mesti dilanjutkan ke pengadilan. "Biarkan hakim nanti yang akan memutuskan," ujar Hery.

Hery juga menambahkan, Kejaksaan juga semestinya dalam menangani kasus tidak hanya berdasarkan asas praduga tak bersalah tetapi juga asas berduga bersalah. Karena hal itu akan memberikan asas kepastian hukum sehingga tersangka dapat dibuktikan bersalah atau tidak melalui pengadilan.

Terkait dengan SP3 yang sudah dikeluarkan Kejaksaan pada 2003 lalu, menurut Hery, pihak Kejaksaan tidak mau terang-terangan dalam penuntasan kasus cessie Bank Bali ini. Menurutnya, publik juga harus mengetahui. Dalam kasus itu, tidak semua masyarakat tahu soal SP3 buat Setya Novanto yang dikeluarkan Kejaksaan.

"Kalau mengacu pada prosedur, bisa saja SP3 itu menjadi sesat pikir. Produk itu bisa menjadi cacat hukum. Karena keputusan haruslah mengacu pada prinsip keadilan. Kalau ada yang menganggap keputusan itu tidak adil, bisa saja dia batal demi hukum karena dianggap tidak ada SP3 itu," tandasnya.

KETERLIBATAN SETYA NOVANTO - Kasus ini bermula saat pemilik Bank Bali Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya sekitar Rp 3 triliun di Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara pada 1997 lalu. Setelah terjadi krisis ekonomi, ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan tak juga piutang berhasil ditagih. Setelah masuk perawatan BPPN, piutang pun tak tertagih dengan alasan penagihan itu terlambat diajukan ke BPPN.

Lantaran menemui jalan buntu, Rudy pun menyewa jasa PT Era Giat Prima dengan meneken perjanjian pengalihan hak tagih (cessie) pada Januari 1999. Era bak mendapat durian runtuh lantaran fee dari jasa penagihan tersebut yang biasanya sekitar 30 persen kali ini hingga lebih dari separuhnya.

Era yang saat itu sebagai direktur utamanya adalah Setya Novanto dan Djoko Sugiarto Tjandra, bos Mulia Group, duduk sebagai direktur. Tentu Era menggunakan kekuatan politik yakni lewat jalur Golkar, dimana Novanto duduk sebagai bendahara umum di partai berlambang beringin tersebut untuk menggolkan proyek ini.

Puncaknya pertemuan pada 11 Februari 1999, antara Ketua Dewan Pertimbangan Agung Arnold Baramuli, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng, Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, Wakil Ketua BPPN Pande Lubis, petinggi Era Giat dan Wakil Direktur Utama Bank Bali, Firman Soetjahja membicarakan soal penarikan duit dari BPPN. Setelah pertemuan itu, Bank Indonesia dan BPPN setuju mengucurkan duit Bank Bali itu. Jumlahnya Rp 905 miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60 persen atau Rp 546 miliar, masuk rekening Era.

Belakangan keganjilan di balik pencairan duit itu mulai terkuak. Misalnya pengeluaran hak tagih tersebut tak diketahui BPPN. Padahal saat cessie tersebut diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN. Lainnya cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan Era Giat.

Ketua BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf, membatalkan perjanjian cessie setelah menyadari adanya kekeliruan. Novanto, yang mewakili Era Giat tak tinggal diam, dia menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap menang di tingkat banding, Mahkamah Agung, lewat putusan kasasinya pada November 2004, memenangkan BPPN. Tak puas kalah dikalahkan BPPN di tingkat MA, Era Giat menggugat Bank Bali dan Bank Indonesia agar mencairkan dana Rp 546 miliar untuk mereka. Pengadilan, pada April 2000, memutuskan Era Giat berhak atas lebih dari setengah miliar rupiah itu. Kasus ini terus bergulir ke atas. Lewat putusan kasasinya, Mahkamah kemudian memutuskan duit itu milik Bank Bali. Di tingkat peninjauan kembali, putusan itu tetap sama.

Di tengah proses pengadilan tata usaha negara dan perdata itulah, Kejaksaan Agung lantas mengambil kasus ini. Kejaksaan menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus ini, antara lain Djoko Tjandra, Syahril, Pande Lubis, Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng. Mereka dituduh melakukan korupsi duit negara. Kejaksaan menyita duit Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan di Bank Bali. Kendati yang menjadi tersangka lumayan banyak, ternyata belakangan yang diadili hanya tiga orang: Djoko, Syahril, dan Pande Lubis. Dari tiga orang ini, nasib paling sial dialami Pande Lubis. MA, pada 2004, menghukum Pande empat tahun penjara. Sejak itu Pande mendekam di bui.

Adapun Syahril, kendati divonis pengadilan negeri tiga tahun, belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu. Putusan atas bos Mulia Group yakni Djoko Tjandra paling kontroversial. Selain hanya dituntut ringan, hanya 11 bulan penjara, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi, lagi-lagi ia dinyatakan bebas. Satu-satunya hakim kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion atas putusan Djoko adalah Artijo Alkostar, namun ia kalah suara. Kejaksaan melakukan upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali (PK).

Hasilnya Mahkamah Agung menyatakan Djoko dan Sjahril Sabirin bersalah dan menghukum mereka dua tahun penjara. Namun Djoko Tjandra meskipun sudah divonis dua tahun penjara sampai saat ini belum bisa dieksekusi karena berstatus buron. Sementara itu, dalam pertimbangan hakim pada putusan PK atas terdakwa Syahril Sabirin menyertakan nama Tanri Abeng dan Setya Novanto secara bersama-sama dan berlanjut melakukan tindak pidana korupsi. Namun yang mengherankan Kejaksaan Agung malah tak melanjutkan dua nama yakni Tanri Abeng maupun Setya Novanto ke pengadilan. Status Tanri Abeng diambangkan tak jelas, sementara Setya Novanto mendapatkan SP3 dari Kejaksaan.

BACA JUGA: