JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu melalui rekonsiliasi masih mendapat penentangan dari keluarga korban.  Sehingga perlu ada terobosan penyelesaian kasus HAM berat agar masalah tersebut tidak jadi beban pemerintah di masa depan.

Kamis (11/2), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengundang sejumlah anggota keluarga korban pelanggaran HAM untuk mendengar keinginan dan harapan mereka. Lembaga ini ingin mencoba menjembatani harapan korban dan pemerintah terkait penanganan kasus HAM berat masa lalu. 

Ketua DPD Irman Gusman mengatakan, tragedi 1998 meninggalkan duka mendalam bagi keluarga korban. Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 tercatat 4 orang tewas, kemudian tragedi Semanggi I jatuh korban meninggal 17 orang, sedangkan tragedi Semanggi II menelan korban 8 orang tewas.

DPD akan berusaha dan berkoordinasi dengan alat kelengkapan DPD RI sehingga bisa mendapatkan jalan keluar bagi kasus ini. "Saya sangat berharap bersama-sama dengan keluarga korban, bisa memberikan kontribusi yang baik bagi penyelesaian kasus ini, nanti kami akan dikoordinasikan dengan komite DPD yang membidangi tentang HAM agar ada jalan keluar dan jika diperlukan nanti bisa dirumuskan bersama dengan ibu dan keluarga korban," kata Irman dalam keterangannya yang diterimanya kemarin.

Ia mengatakan, penuntasan kasus HAM berat merupakan agenda negara. Presiden Jokowi bahkan telah meminta DPD untuk ikut berperan. Sehingga Indonesia tidak dihantui oleh kasus pelanggaran HAM di masa depan. Dengan begitu, tidak ada lagi ganjalan dan pemikiran bahwa negara mengabaikan permasalahan ini.

DPD lewat alat kelengkapannya akan ikut merumuskan dan mencarikan formula yang pas dan komprehensif yang akan disampaikan kepada Presiden. Karena upaya rekonsiliasi yang digagas pemerintah lewat Kejaksaan Agung dan Komnas HAM belum sepenuhnya diterima keluarga korban.

DPD optimistis penuntasan kasus HAM ini dapat terealisasi. Menurut Irman, semangatnya dalam penyelesaian kasus HAM ini adalah untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan HAM sendiri. Sebab kualitas demokrasi diukur lewat pemilihan secara langsung, penegakan hukum, birokrasi yang bersih, budaya politik yang partisipatif, dan menjunjung tinggi HAM.

Salah seorang keluarga korban, Maria Catarina Sumarsih, yang merupakan ibu Benardinus Realino Norma Irawan korban tragedi Semanggi mengaku hingga saat ini belum mendapatkan keadilan. Benardinus merupakan salah satu mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas ditembak saat demonstrasi memperjuangkan reformasi tanggal 13 November 1998.

"Sudah 430 kali saya berdemo di depan Istana Presiden, namun hingga saat ini belum ada keadilan untuk kami,” tukasnya.

Menurut Sumarsih, perjuangan ini dilakukannya agar tidak terjadi pelanggaran HAM berat di masa yang akan datang. Dia mengaku sudah 18 tahun dirinya berjuang mencari keadilan. Namun keadilan belum didapat.

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi menuturkan bahwa UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM telah secara jelas mengatur tentang pengadilan bagi pelanggaran HAM. Untuk itu Ia berharap agar UU tersebut dapat dijalankan.

"Kita tahu bahwa dari pergantian pemerintahan dan pergantian presiden itu tidak tuntas masalah pelanggaran HAM ini, maka ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi negara siapa pun presidennya nanti, jadi jangan berpikir bahwa permasalahan ini hilang," kata Hendardi yang turut mendampingi keluarga korban HAM itu.

Hendardi juga menolak usulan Menkopolhukam Luhut B Panjaitan, Jaksa Agung HM. Prasetyo, dan Komnas HAM, yang akan melakukan rekonsiliasi. Menurut aktivis yang fokus memperjuangkan HAM dan kesetaraan ini, rekonsiliasi bisa dilakukan setelah negara melakukan penyelidikan, karena dengan penyelidikan itu akan ditemukan kebenaran material. Jadi, tim itu menyalahi UU, karena UU memerintahkan untuk melakukan penyelidikan.

Menurut Hendardi, prinsip rekonsiliasi adalah bentuk mengatasi permasalahan pelanggaran HAM masa lalu jika kasus sulit diselesaikan setelah penyelidikan dan penyidikan, "Kalau cara kerja semacam ini tidak akan mendapatkan kebenaran materil, Sulit bukti dan sulit saksi, padahal kejaksaan agung belum melakukan penyidikan, tapi Kejaksaan Agung hanya melakukan kajian yg tidak terukur dan tidak akuntabel, perintah UU adalah mereka melakukan penyidikan," tegasnya.

Putusan Kejagung yang mengatakan sulit menemukan bukti-bukti dan saksi-saksi mengingat kasusnya sudah lama menurut Hendardi, hal itu tidak beralasan. Karena sudah ada mekanisme hukumnya, "Kan ada UU No. 26 Tahun 2000 dan UU No. 39 Tahun 2009 tentang penyelesaian pelanggaran HAM. Jadi, Kejagung belum melakukan penyidikan, baru kajian-kajian yang tidak terukur dan tak akuntabel," kata Hendardi.

TUNTAS TAHUN INI - Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di Kantor Presiden,  Selasa (5/1), memberikan penekanan kasus HAM ini harus dituntaskan tahun ini secara komprehensif. Tidak lagi melihat waktu dan kejadian tapi per kasus.

Langkah menuntaskan kasus HAM berat telah dilakukan dengan pertemuan berkala lintas instansi bersama Komnas HAM. Dalam pertemuan terakhir akan dibentuk sebuah komite rekonsiliasi untuk menuntaskan kasus ini. Dan komite ini telah membuat formula untuk ditetapkan oleh presiden.

Jaksa Agung HM. Prasetyo pun menyatakan upaya penyelesaian HAM berat akan tuntas tahun ini. "Kita sudah lakukan terus dan ada langkah maju. Kita adakan rapat-rapat dengan berbagai pihak. Karena kasus itu tidak hanya bisa diselesaikan oleh kejaksaan sendiri. Semua pihak terlibat dan harus diajak berbicara," kata Prasetyo.

The Indonesian Human Right Monitoring (Imparsial) memberikan masukan kepada Kejaksaan Agung. Langkah pemerintah saat ini yang mendorong non-yudisial tetap bisa dilakukan. Hanya saja, Imparsial mengingatkan langkah non yudisial tersebut tak menutup pembentukan pengadilan adhoc HAM berat. Dan itu dilakukan di berbagai negara lain.

"Artinya meski mekanisme upaya membentuk komisi kebenaran rekonsiliasi yang dibahas oleh pemerintah. Tapi jangan sampai ruang pengadilan itu tertutup," kata Direktur Imparsial Al Araf kepada media.

Imparsial mendukung upaya menuntaskan kasus HAM berat ini. Salah satunya dengan menjalankan rekomendasi DPR tentang pembentukan pengadilan HAM berat. Bahkan Keputusan Presiden (Keppres) telah disiapkan sejak pemerintahan sebelumnya.

"Sudah ada di meja Presiden tinggal ditandatangani, itu dulu dibuktikan," kata peneliti Imparsial Gufron Mabruri kepada gresnews.com, Sabtu (30/1).

Dalam Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat yang dilansir Komnas HAM, ada tujuh kasus yang telah selesai diselidiki dan perlu ditindaklanjuti. Wujud penyelesaian yang direkomendasikan bermacam-macam. Tujuh kasus diprioritaskan ditempuh dengan non yudisial.

Kasus tersebut adalah:

Kasus 1965-1966. Penyelesaiannya Komnas HAM mendorong Jaksa Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan ini dengan penyidikan. Penyelesaiannya dengan non yudisial.

Penembakan Misterius 1982-1985. Penyelesaiannya, Jaksa Agung diminta segera menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan KUHAP dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kasus Tanjung Priuk 1984-1985. Penyelesaian, Pemerintah diminta menuntaskan semua aspek masalah ini. Kepada Panglima TNI, direkomendasikan memeriksa seluruh personil yang terlibat sesuai dengan hukum.

Kasus Talangsari 1989. Penyelesaian, Jaksa Agung diminta menindaklanjuti temuan ini dengan penyidikan dan penuntutan. DPR dan Presiden juga diminta mempercepat proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili kasus ini.

Penghilangan Orang Secara Paksa. Penyelesaian, Jaksa Agung diminta menindaklanjuti hasil penyelidikan ini dengan penyidikan. DPR dan Presiden juga diminta mempercepat proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili kasus ini.

Kasus Kerusuhan Mei 1998. Penyelesaian, Jaksa Agung diusulkan menyidik kasus ini sebagaimana sesuai UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. DPR dan Presiden didesak segera membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili kasus ini.

Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Penyelesaian Komnas HAM mengusulkan Jaksa Agung menindaklanjuti kasus ini sesuai UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kejaksaan juga diminta menyidik kasus ini sesuai dengan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta.

BACA JUGA: