JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyayangkan kesimpulan dari Ombudsman Republik Indonesia yang menyebut lembaga ini telah melakukan diskriminasi pada korban Hak Asasi Manusia (HAM) Talang Sari. Ombudsman Republik Indonesia menyimpulkan telah terjadi maladministrasi dalam Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Dusun Talangsari, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur, pada 20 Februari 2019.

Ombudsman juga menyebut Komnas HAM bersama-sama dengan LPSK telah melakukan diskriminasi dalam memberikan bantuan medis dan psikososial hanya kepada 11 korban pelanggaran HAM berat di Talangsari berdasarkan penerbitan 15 orang korban pelanggaran HAM berat pada SKKPHAM Komnas HAM. Padahal jumlah korban pelanggaran HAM berat di Dusun Talangsari lebih dari 15 orang.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menegaskan bahwa kesimpulan Ombudsman soal LPSK melakukan diskriminasi rasanya tidak tepat. "Kesimpulan Ombudsman ini tidak mendasar, silakan tanya kepada korban Talangsari, apakah LPSK telah lakukan diskriminasi?" katanya kepada Gresnews.com, Senin (16/12).

Menurut Edwin, sebaiknya Ombudsman mempelajari dulu UU LPSK. Ia pun mempertanyakan objek sengketa sebenarnya apa. Mengapa pada bagian kesimpulan menyinggung kinerja LPSK, padahal objek sengketanya adalah deklarasi damai. "LPSK tidak terlibat dalam deklarasi itu," ungkapnya.

Ombudsman sebaiknya jangan mempublikasikan kesimpulannya bila belum matang. Lantaran dapat menjadi pembunuhan karakter pada lembaga yang disebutnya. "Kami akan menyampaikan sikap atas tuduhan yang tidak mendasar ini," tutupnya.

LPSK adalah lembaga nonstruktural yang didirikan dan bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang. LPSK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Saat ini aturan tersebut sudah direvisi dan menjadi UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban memakan waktu cukup panjang. Inisiatif untuk membentuk UU itu bukan datang dari aparat hukum, polisi, jaksa, atau pun pengadilan yang selalu berinteraksi dengan saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana.

Di samping itu, minimnya perhatian yang serius oleh aparat penegak hukum terhadap saksi-korban membuat RUU ini harus selalu didesakkan hampir setiap tahun sejak 2001 hingga 2005 agar masuk dalam rencana Prolegnas. (G-2)

BACA JUGA: