JAKARTA - SETARA Institute for Democracy and Peace menyatakan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bisa jadi adalah pihak yang perlu dimintai keterangan dalam kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua, yang terjadi pada 7-8 Desember 2014.

Ketua SETARA Institute for Democracy and Peace Hendardi menilai Moeldoko tidak perlu bersikap reaktif menanggapi kasus Paniai. Sebagai Panglima TNI ketika peristiwa Paniai terjadi, keterangan Moeldoko diperlukan untuk menguji validitas unsur terstruktur sebagai variabel yang harus dipenuhi dalam suatu kasus pelanggaran HAM berat dan memastikan adanya tanggung jawab komando (command responsibility).

"Jika banyak elite berkelit untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu karena alasan dimensi waktu dan konteks yang diperdebatkan maka kasus Paniai adalah ujian bagi Jokowi untuk menuntaskan kasus yang terjadi pada era kepemimpinannya," kata Hendardi dalam siaran pers yang diterima oleh Gresnews.com, Rabu (19/2).

Pada Sabtu, 15 Februari 2020, Komnas HAM merilis pernyataan bahwa peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014 adalah peristiwa pelanggaran HAM berat. Keputusan itu didasarkan pada temuan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Berat HAM Peristiwa Paniai.

"Keputusan paripurna Komnas HAM adalah produk kerja penegakan hukum yang harus direspons oleh Kejaksaan Agung sebagai penyidik kasus pelanggaran HAM berat,” kata Hendardi. Pada Selasa lalu, Kejaksaan Agung telah menerima laporan penyelidikan dari Komnas HAM itu.

Lebih lanjut Hendardi menjelaskan kasus Paniai terjadi setelah pengesahan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Artinya, Jokowi dapat membentuk Pengadilan HAM tanpa memerlukan keputusan dari pihak lain, termasuk dalam hal ini tidak memerlukan pertimbangan DPR.

Berkaitan dengan silang pendapat yang terjadi antara pihak Moeldoko dan Komnas HAM, Hendardi menilai, keduanya merupakan silang pendapat yang sifatnya politik. Jika Komnas HAM sedang menjalankan politik penegakan HAM maka Moeldoko sedang menjalankan peran politik melindungi rezim. “Kecepatan Kejaksaan Agung menetapkan status kasus ini akan menyajikan jawaban yang lebih presisi,” kata Hendardi.

Sementara itu, Moeldoko berkata, peristiwa Paniai tidak memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. “Tidak ada kejadian terstruktur, sistematis. Nggak ada. Tidak ada perintah dari atas, tidak ada,” kata Moeldoko, Senin lalu.

Sebagai informasi, Moeldoko menjabat Panglima TNI pada 30 Agustus 2013-8 Juli 2015. Sebelumnya, ia menjabat Kepala Staf TNI AD (20 Mei 2013-30 Agustus 2013), Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi (Oktober 2010-Agustus 2011), dan Panglima Komando Daerah Militer XII/Tanjungpura (Juni 2010-Oktober 2010).

Moeldoko juga mendirikan kantor hukum Moeldoko 81 and Partners pada 2018.

(G-2)

BACA JUGA: