JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino hari ini lolos dari penahanan. Padahal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang sering melakukan upaya penahanan kepada tersangka pada hari Jumat atau yang dikenal dengan istilah Jumat keramat.

Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati beralasan pihaknya masih belum membutuhkan penahanan Lino. Namun, Yuyuk enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai hal ini, termasuk sudah berapa jauh pemberkasan terhadap tersangka pengadaan tiga unit Quay Container Crane di Pelindo II ini.

"Pertimbangan penyidik yang memang belum perlu melakukan penahanan terhadap RJL (RJ Lino-red), kata Yuyuk saat dihubungi gresnews.com, Jumat (5/2).

Lino sendiri tampak tersenyum usai keluar dari Gedung KPK. Namun ia tak berbicara banyak dan menyerahkan sepenuhnya kepada kuasa hukum, Maqdir Ismail. "Tanya Pak Maqdir aja, tanya Pak Maqdir," imbuh Lino.

Maqdir sendiri sempat menjelaskan beberapa hal yang ditanya penyidik mengenai pemeriksaan kali ini. Diantaranya mengenai riwayat hidup dan pokok perkara tentang pengadaan QCC di Pelindo II. Lino, hari ini memang diperiksa sebagai tersangka atas kasus yang membelitnya itu.

ADA PERUBAHAN ATURAN - Maqdir menjelaskan, setidaknya ada 15 pertanyaan yang diajukan kepada kliennya tersebut. Dan yang menjadi pokok pertanyaan penyidik yaitu mengenai adanya perubahan aturan dalam pengadaan QCC.

Ia mengakui bahwa ada beberapa perubahan aturan ada masa kepemimpinan Lino sebagai petinggi Pelindo II pada kurun waktu 2009 hingga 2015 kemarin. Tetapi menurut Maqdir, perubahan itu diklaim karena mengikuti aturan yang ada di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Aturan-aturan yang dibuat memang ada perubahan-perubahan peraturan tapi bukan karena ada intervensi, tapi aturan itu dibuat karena menyesuaikan dengan ketentuan Kementerian BUMN," imbuh Maqdir.

Saat didesak perihal perubahan aturan itu memang ada instruksi khusus dari Lino melalui nota atau memo, Maqdir tidak membantahnya. Tetapi lagi-lagi ia berkilah bahwa itu merupakan suatu kebijakan, bukan intervensi dari kliennya. Sebagai Direktur Utama, kata Maqdir, Lino memang berhak untuk merubah suatu kebijakan di perusahaan yang dipimpinnya.

"Kalau orang enggak punya tupoksi melakukan sesuatu baru kita sebut intervensi. Ini tidak seperti itu. Bagaimanapun juga mengenai pengadaan terhadap hal-hal seperti ini adalah juga kewajiban Dirut untuk bertanggung jawab kepada pemegang saham," kilahnya.

Maqdir mengatakan, perubahan aturan yang salah satunya yaitu diperbolehkannya perusahaan asing seperti PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery (HDHM) dalam suatu proyek di PT Pelindo II. Dalam aturan sebelumnya, keterlibatan perusahaan asing memang tidak diperbolehkan.

"Ini enggak ada masalah. Jadi diperbolehkan dengan aturan itu mengundang pihak luar negeri. Karena bagaimana pun juga, saya tanya pada kalian, apa sudah ada di republik ini yang membuat QCC seperti ini, belum ada," tutur Maqdir.

Perihal penunjukkan langsung yang dilangsungkan Lino menurut Maqdir itu bukan masalah sebab memang diperbolehkan di peraturan internal PT Pelindo. "Kalau Dirut gak punya hak, gak punya diskresi, ya gak perlu jadi Dirut. Jadi saya kira mesti melihatnya seperti itu. Yang pokok adalah apakah dia menerima atau mendapatkan sesuatu dari perubahan itu," lanjut Maqdir.

KESALAHAN LINO - Alasan Lino baik tentang perubahan peraturan yang sudah sesuai prosedur dan juga penunjukkan langsung sudah dimentahkan KPK dalam persidangan Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan agenda jawaban atas gugatan RJ Lino.

KPK memaparkan berbagai kesalahan Lino yang akhirnya menjadi bukti permulaan yang cukup untuk menjadikan Lino sebagai tersangka dalam kasus ini. Dan bukti-bukti ini pun dibeberkan dalam persidangan kala itu.

Pertama, RJ Lino disebut pernah memerintahkan mengubah spesifikasi QCC yang dibutuhkan dari single lift ke twin lift. Lino selaku Direktur Utama yang sejak awal mengundang PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Co.Ltd (HDHM) dengan memerintahkan dan mengkondisikan penunjukan langsung HDHM.

Perintah itu melalui instruksi/disposisi Lino yang dituliskan secara langsung dengan kata-kata "Go For Twinlift" pada Nota Dinas Direktur Operasi dan Teknik (Ferialdy Noernal) Nomor : PR.100/I/16/BP-10 tanggal 12 Maret 2010.

Kedua, Lino juga disebut pernah memerintahkan dan melakukan intervensi kepada Panitia Pengadaan Barang dan Jasa untuk menunjuk langsung HDHM, padahal HDHM tidak memenuhi persyaratan administrasi dan teknis.

Hal tersebut dilakukan dengan cara memerintahkan Ferialdy Noerlan untuk menunjuk HDHM sebagaimana disposisi Lino. Perintah Lino itu tercantum dalam Nota Dinas Direktur Operasi dan Teknik Nomor : PR.100/I/16/BP-10 tanggal 12 Maret 2010.

Ferialdy lantas melaporkan kepada Lino selaku Direktur Utama melalui Nota Dinas perihal Tindak Lanjut Pengadaan QCC tanggal 25 Maret 2010 dan R.J . LINO selaku Direktur Utama memberikan disposisi dengan kata-kata "Selesaikan proses penunjukan HDHM".

Ketiga, Lino juga memerintahkan mengubah peraturan pengadaan barang dan jasa PT Pelabuhan Indonesia II (Persero). Tujuannya agar dapat menunjuk langsung HDHM. Hal tersebut dilakukan Lino antara lain dengan memerintahkan Kepala Biro Pengadaan untuk mengubah peraturan pengadaan agar dapat mengakomodir pabrikan luar negeri sebagai peserta lelang yaitu terhadap SK Direksi Nomor. HK.56/5/10/PL.II-09 tanggal 9 September 2009, melalui SK Direksi Nomor HK.56/6/18/PI.II-09 tanggal 31 Desember 2009 jo. SK Direksi Nomor HK.56/1/16/PI.II-10 tanggal 17 Maret 2010.

Berdasarkan pemaparan tersebut, KPK meyakini ada unsur perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Lino selaku Direktur Utama PT Pelindo II.

Pada pengadaan 3 unit QCC di PT Pelindo ll tahun 2010, ditemukan adanya potensi kerugian negara mencapai US$3,625 juta. Hal tersebut berdasarkan Laporan Audit lnvestigatif BPKP yang tercantum dalam Nomor : LHAl-244/D6.02/2011 tanggal 18 Maret 2011 serta hasil perhitungan ahli dari ITB.

 

BACA JUGA: