JAKARTA, GRESNEWS.COM – Rancangan Undang-Undang Contempt of Court (RUU CoC) atau penghinaan terhadap pengadilan yang diajukan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) terus menuai protes dari berbagai kalangan. Pangkal masalahnya dalam RUU tersebut, terdapat pasal yang mengatur tentang kewenangan hakim di lembaga pengadilan yang tidak dapat dikritisi oleh siapapun.

Bahkan, dalam Pasal 24 RUU CoC itu telah menegaskan "Setiap orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat mempengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau dipidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00,- (satu milyar rupiah)".

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan RUU CoC yang diusulkan oleh IKAHI sangat berbahaya lantaran beleid itu bertujuan untuk melarang kritik dari masyarakat luas atau pihak luar. Ia berpendapat bahwa IKAHI ingin membuat lembaga peradilan dan hakimnya sebagai monster yang akan mengancam masyarakat luas.

"Kalau mengkritik pengadilan atau mengkritik hakim itu dikategorikan sebagai contempt of court itu ngaco, itu namanya ingin menjadikan lembaga peradilan itu sebagai tiran, itu namanya ingin menjadikan pengadilan sebagai monster," kata Margarito Kamis kepada gresnews.com, Selasa (21/12).

Pada dasarnya, lanjut Margarito, Contempt of Court sangat penting guna menjaga marwah lembaga pengadilan dan hakim. Namun, pemerintah harus dapat menjelaskan kepada masyarakat apa saja yang dapat dikategorikan dalam CoC dan kapan perilaku seseorang itu dapat di CoC kan.

Ia pun memaparkan, CoC dapat diberlakukan selama pengunjung sidang atau masyarakat mengganggu perjalanan sidang atau mengganggu keselamatan hakim di pengadilan. Misalnya ada orang yang mencaci maki hakim di pengadilan, atau misalnya angkat kaki di dalam pengadilan.

"Itu menurut saya bisa masuk CoC. Tapi kalau kritik dari luar misalnya yang mengkritisi performa atau proses pengadilannya yang tidak bagus menurut saya itu tidak beralasan dimasukan dalam Contempt of Court," tegasnya.

Oleh karena itu, ia pun menegaskan agar IKAHI maupun pemerintah dapat menjelaskan kepada masyarakat luas tentang apa saja kategori yang dapat dikatakan Contempt of Court (CoC) atau menghina pengadilan itu.

Untuk diketahui sebelumnya, IKAHI mengusulkan RUU CoC yang bertujuan menjaga marwah dan wibawa lembaga peradilan dan hakimnya. Salah satu anggota IKAHI yang juga juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi sempat mendorong RUU CoC ini menjadi undang-undang untuk mengatur sejumlah ketentuan terkait dengan upaya penertiban dalam lingkungan pengadilan, baik yang berhubungan dengan proses persidangan, keamanan hakim yang mengadili perkara peradilan, hingga penilaian putusan hakim yang dianggap menghina putusan pengadilan.

JAUH DARI ASAS KEADILAN - Mantan Komisioner Komisi Yudisial (KY) Taufiqurrrahman Syahuri mengatakan, semangat RUU CoC yang diajukan oleh IKAHI jauh dari asas keadilan. Sebab, dalam RUU CoC itu hakim pengadilan telah menutup ruang untuk orang lain berkomentar (kritik) tentang proses persidangan atau putusan yang diambil oleh seorang majelis hakim dalam pengadilan. Padahal, mendengar komentar orang lain atau masyarakat merupakan salah satu pertimbangan seorang hakim dalam menentukan sebuah keputusan.

Menurutnya, salah besar jika para hakim di pengadilan menganggap kritik masyarakat sebagai sebuah intervensi bagi seorang hakim atau pengadilan dalam mengambil sebuah keputusan. Setiap hakim itu memiliki kewenangan dalam menentukan sebuah keputusan dalam menangani perkara, karena hakim memiliki kedaulatan atau kemerdekaan yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, lanjutnya, penilaian atau kritik masyarakat luas terhadap kinerja hakim harus dijadikan salah satu pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan sebuah perkara.

"Kalau yang saya tangkap dari semanagat RUU CoC yang diajukan oleh IKAHI ini kan orang yang memberikan komentar sebelum putusan itu kan akan diancam hukuman pidana 10 tahun kan, justru ini menciderai asas keadilan itu sendiri, karena keadilan itu harus memperhatikan keadilan atau suara masyarakat juga," kata Taufiqurrahman Syahuri kepada gresnews.com melalui sambungan seluler.

Ia menegaskan, ancaman pidana 10 tahun bagi siapapun yang mengkritik hakim atau proses pengadilan dalam RUU CoC yang didorong oleh IKAHI itu adalah sebuah ancaman bagi masyarakat Indonesia. Bukan hanya itu, menurutnya, peraturan itu juga akan membatasi kinerja profesi wartawan yang bertugas memberitakan atau mengkritisi keputusan hakim maupun jalannya proses persidangan. Lebih jauh lagi ia katakan, RUU CoC itu juga berpotensi membatasi kewenangan KY sebagai salah satu lembaga Negara yang bertugas mengawasi kode etik hakim.

"Sebetulnya KY juga mendorong RUU CoC, RUU CoC itu sangat perlu sebenarnya, tapi yang sifatnya mengganggu ketertiban persidangan dan berbau kriminal seperti merusak ruang sidang, teriak-teriak di ruang sidang sehingga menyebabkan mengganggu persidangan, dan lain sebagainya itu. Bukan mengganggu pendapat hakim, kalau tulisan-tulisan yang mengkritik hakim atau putusan pengadilan itu jangan dianggap CoC," ujarnya menegaskan.

TEMPAT BERLINDUNG HAKIM NAKAL - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Refly Harun mengatakan, RUU CoC yang saat ini tengah didorong oleh IKAHI agar menjadi undang-undang dapat berpotensi menjadi tempat perlindungan bagi oknum hakim nakal. Sebab, lanjut Refly, lembaga peradilan di Indonesia saat ini masih terus menjadi sorotan publik, terlebih lagi dengan masih banyaknya oknum hakim di pengadilan yang korup.

Menurutnya membenahi citra pengadilan yang cenderung korup itu menjadi lebih penting ketimbang menerapkan Contempt of Court (CoC). "Intinya begini, kalau ada CoC dalam suasana pengadilan kita yang masih korup seperti ini, maka akan dijadikan tempat berlindung hakim-hakim yang tidak benar saja nanti," kata Refly kepada gresnews.com.

Ia menambahkan, sistem pengadilan di Indonesia hari ini masih jauh dari harapan publik. Praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) demi mempengaruhi putusan dalam pengadilan masih marak dilakukan oleh sebagian oknum hakim-hakim ‘nakal’ di pengadilan, sehingga menurutnya, menjaga marwah pengadilan dari ulah oknum hakim yang nakal itu harus lebih diutamakan dari pada membuat peraturan yang mengancam masyarakat dengan hukuman pidana sebagaimana diatur oleh RUU CoC tersebut.

“Lembaga peradilan itu harus bersih dulu dari oknum-oknum hakim yang korup. Kan memang sudah menjadi rahasia umum dalam lembaga peradilan di Indonesia saat ini, kalau mau menang perkara yaa harus bayar. Memang tidak semua hakim seperti itu, tapi saat ini praktik KKN di pengadilan yang melibatkan oknum hakim pengadilan itu jamak dan sering terjadi,” jelasnya. (Rifki Arsilan)

BACA JUGA: