JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) Contempt of Court atau penghinaan terhadap pengadilan mendapat tentangan keras. Pasalnya rancangan beleid itu dinilai mengandung aturan yang mengancam kebebasan warga negara dan bisa berujung pada pembatasan Hak Asasi Manusia (HAM).

Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan, RUU usulan IKAHI itu seperti "pedang bermata dua". Di satu sisi berujuan baik untuk menjaga proses peradilan bebas dari segala intervensi, tetapi di sisi lain upaya penegakan itu bisa menjadi bumerang bagi masyarakat.

"Perumus UU ini tidak menimbang dengan baik dan saksama seluruh akibat yang akan muncul," kata Anggara dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Kamis (3/12).

RUU ini, kata dia, seakan menafikan bahwa kepercayaan publik terhadap peradilan saat ini sangat rendah. Karena itu menurut ICJR harusnya IKAHI berfokus pada pembenahan sistem peradilan pidana di Indonesia.

"Bukan malah membuat suatu usulan yang dapat memperkeruh kepercayaan publik pada proses peradilan," tegas Anggara.

Salah satu pasal yang menjadi pembicaraan adalah Pasal 24. Pasal tersebut memuat ancaman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.00,- (satu miliar rupiah), untuk orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat memengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim.

Pasal ini dinilai eksesif karena membuat ancaman pidana yang sangat tinggi. Pasal-pasal lain, kata Anggara juga banyak yang memuat aturan dengan ancaman pidana di atas 5 tahun.

Terlebih ada pula pasal 49 dan Pasal 50 yang mengatur mengenai pertanggungjawaban mutlak. Maksudnya, orang langsung dinyatakan bersalah tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya.

Karena itu, kata Anggara, RUU Contempt of Court ini harus dihentikan dan jangan dibahas DPR. Sebab, alih-alih menguatkan independensi hakim, RUU yang sudah ada di meja DPR itu malah bisa membuat kekuasaan hakim tak terkontrol. "Kami menyerukan agar RUU CoC ini tidak dibahas di DPR," kata Anggara.

Ada beberapa alasan utama untuk menolak RUU ini. Pertama, konsep Contempt of Court tidak tepat digunakan dalam konsep peradilan pidana di Indonesia. Indonesia menganut sistem non adversary model- inqusitorial, sedangkan konsep CoC merupakan konsep Adversary.

Singkatnya, kedua sistem ini sangat bertolak belakang dalam beberapa titik. Terkait kekuasaan hakim, mengapa CoC digunakan dalam model Adversary, karena hakim hanya sebagai fasilitator sidang, Juri sebagai penentu dan kedudukan jaksa dengan terdakwa sejajar, sehingga pembuktian utama dilakukan dalam persidangan.

Indonesia sebaliknya, dengan sistem indonesia, Hakim memegang kekuasaan yang begitu besar. "Hakim sebagai pengendali utama peradilan, kedudukan Jaksa dan terdakwa juga berbeda karena pembuktian sudah dimulai dari tahapan penyidikan," urai Anggara.

CoC berfungsi untuk menutup celah kekuasaan hakim yang tidak besar. Di Indonesia konsep ini tidak dibutuhkan karena Hakim memiliki kekuasaan besar yang tidak perlu ditutup dengan konsep CoC. "Dengan RUU CoC ini, akibatnya, tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan kontrol terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya," ujarnya.

Kedua, pada dasarnya, seluruh larangan yang ada dalam RUU CoC sudah diatur terpisah dalam KUHP yang saat ini berlaku. Sebagai contoh, dalam Pasal 33 RUU CoC melarang saksi memberikan keterangan tidak benar di muka sidang pidana.

Pelaku diancam penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun denda paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Ketentuan ini sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 242 Ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana 9 tahun penjara.

Contoh lain pasal-pasal dalam RUU CoC yang berhubungan dengan menghalang-halangi penyidikan seperti perusakan atau menghilangkan alat bukti, menyembunyikan tersangka, membuat kegaduhan di muka sidang, dan lain sebagainya sudah diatur juga seluruhnya dalam BAB VIII tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum dalam KUHP. Hal yang sama juga bagi perusakan gedung, tentu saja termasuk perusakan gedung pengadilan, yang juga sudah diatur dalam KUHP.

Bahkan untuk persoalan seperti penghinaan, KUHP masih mengatur mengenai penghinaan penguasa umum dalam Pasal 207 dan 208 KUHP. Perlindungan double juga diberikan dalam konteks penghinaan diadukan secara individu, diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.

Persebaran ketentuan "Contemp of Court" di beberapa aturan dalam KUHP menunjukkan bahwa perlindungan terhadap wibawa hakim sesungguhnya sudah dijamin dalam KUHP. "RUU CoC nampaknya tidak mendesak untuk diatur, atau lebih tepatnya RUU CoC hanya berisi peraturan yang mengatur ulang ketentuan KUHP," kata Anggara.

Ketiga konsep yang diatur dalam Pasal 24 juga dinilai aneh. Sistem pertanggungjawaban mutlak atau strict liability juga dapat dijatuhkan terhadap perbuatan yang mempublikasi perkara yang sedang dalam proses peradilan yang dikhawatirkan memengaruhi hakim.

"Konsep ini cukup aneh, karena berbenturan dengan prinsip Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat," ujar Anggra.

Selain itu, Hakim juga sudah diikat dengan ketentuan bahwa dalam memutuskan suatu perkara hakim harus berdasarkan fakta dalam ruang sidang serta keyakinannya. Dengan demikian, apapun opini yang sedang berkembang merupakan hal yang harus didengar dan dipertimbangkan, namun tetap mengacu pada fakta di persidangan.

"Menjadi konyol apabila hakim dilindungi dari sesuatu yang menjadi kewajibannya," kata Anggara.

Keempat, Kepercayaan publik terhadap peradilan saat ini menjadi sorotan tajam. Beberapa kasus besar melibatkan aparat penegak hukum, dan tidak terkecuali Hakim, terakhir yang paling besar adalah kasus Hakim Konstitusi Akil Mochtar dan Suap Hakim PTUN Medan.

Seluruh proses peradilan merupakan satu-satunya wadah paling utama dalam mencari keadilan, seluruh kepentingan publik diwakilkan dalam proses ini. Membentuk suatu undang-undang yang menyasar masyarakat seperti RUU CoC akan mengakibatkan jarak antara masyarakat dan peradilan semakin jauh.

Karena itulah, kata dia, ICJR menolak pembahasan RUU CoC. Lebih jauh, ICJR mengajak seluruh sub sistem dalam sistem peradilan pidana, utamanya hakim untuk berfokus pada penyelenggaraan peradilan yang lebih berintegritas.

"Toh dalam pengaturan dalam KUHP dan KUHAP perlindungan terhadap kinerja Hakim dirasa sudah cukup," tegas Anggara.

Apabila belum, sudah ada Rancangan KUHP dan KUHAP sedang dan akan dibahas di DPR, ada baiknya ide-ide yang dimiliki oleh IKAHI dituangkan dalam dua rancangan tersebut. "Tetapi tidak untuk RUU CoC yang sangat eksesif dan berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia," pungkasnya.

ANCAMAN TERHADAP DEMOKRASI - Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, RUU CoC ini bisa menjadi ancaman bagi demokrasi. Pasalnya, jika disahkan, maka siapapun yang mengkirik pengadilan bisa saja diseret ke penjara dan meringkuk selama 10 tahun.

"RUU CoC ala Indonesia ini sudah salah kaprah dan tercerabut dari maksud awalnya," kata Erwin, di Jakarta, Selasa (1/12).

RUU ini dinilai sangat represif karena setiap perbuatan yang bersifat intervensi baik tindakan, ucapan, tingkah laku atau publikasi bisa disebut sebagai tindak pidana penyelenggaraan pengadilan jika bertendensi menghina, merendahkan, menganggu dan merongrong kewibawaan, kehormatan dan martabat hakim atau badan peradilan.

"Jika konsep yang elastis dan fluid ini disahkan, tidak hanya akan menimbulkan tirani yudisial, tapi sudah mengancam hak-hak dasar warga negara yang sudah dijamin tegas dalam konstitusi," ujar Erwin.

IKAHI sendiri dalam penyusunan RUU ini beralasan perlindungan terhadap independensi hakim sangat penting. IKAHI menilai, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam praktik ketatanegaraan relatif rentan dapat diintervensi.

Intervensi itu bisa berupa kebijakan hukum pembuat UU, kekuatan di dalam masyarakat (organisasi massa, media massa, partai politik) atau melalui pembentukan pendapat umum (public opinion) pada saat peradilan sedang berlangsung. Pengaruh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan politik kekuasaan atau kekerasan massa yang bersifat anarkis, mewarnai proses peradilan sehingga mengganggu penyelenggaraan proses peradilan.

Sementara itu, di luar persidangan, pemberitaan besar-besaran terhadap suatu kasus atau kritikan yang disampaikan secara terbuka melalui media massa sering kali terjadi. Tidak jarang pula pers mengeluarkan pemberitaan atau pernyataan yang menimbulkan situasi atau kondisi yang berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan.

Dampak dari pemberitaan tersebut adanya kesan bahwa seseorang yang diajukan ke depan pengadilan seolah-olah bersalah walaupun proses persidangan itu belum selesai.

Cara pandang seperti ini, menurut Erwin sangat berbahaya. "Pers, akademisi dan pegiat reformasi pengadilan akan menjadi sasaran empuk dari sesat pikir RUU ini," kata Erwin.

TETAP DIPERLUKAN - Sementara itu, Ketua Komisi Yudisial berpendapat, RUU CoC tetap diperlukan. "Tentu UU itu sangat diperlukan untuk mengikat semuanya jangan sampai menghina-hina pengadilan," tutur Suparman.

Hanya saja, kata dia, RUU ini tetap harus memperhatikan hak masyarakat yang makin meninggi terhadap dunia peradilan termasuk untuk penegakan supermasi hukum. Dia mengatakan, pengkritik terutama media massa harusnya tidak bisa dipidana asalkan mengkritik sesuai kode etiknya.

"Harusnya terutama untuk media, bila mengkritik sesuai kode etik jurnalistik saya rasa itu tidak perlu tindak pidana," ucap Suparman.

Secara keseluruhan, Suparman menegaskan RUU Contempt of Court sangat diperlukan untuk menjaga martabat hakim. Namun, jangan sampai UU tersebut mengebiri masyarakat sebagai pencari keadilan.

Hal senada juga disampaikan mantan Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Prof DR Otto Hasibuan. Dia menjelaskan, RUU Contempt Of Court dapat menyelesaikan persoalan yang menimpa hakim dengan lembaga negara lain maupun dengan masyarakat umum.

Pasalnya, dalam UU tersebut akan diatur bagaimana menjaga kewibawaan hakim dan pengadilan. "Di negara maju seperti Amerika, Hongkong kewibaan pengadilan sangat dijaga. Oleh karenanya mereka mempunyai UU Contempt Of Court. Nah yang terjadi di Indonesia kan sebaliknya kewibaan pengadilan tidak bisa dijaga misalnya orang dengan enaknya teriak-teriak di ruangan sidang dan sebagainya," tegas Otto.

Otto menjelaskan dalam RUU Contempt Of Court tersebut juga harus memuat mengenai sanksi yang tegas kepada setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap pengadilan. Meski demikian RUU ini harus tidak bertentangan dengan UU yang telah ada seperti UU Advokat dan sanksi yang diberikan pun tidak mengedepankan sanksi pidana karena sanksi pidana adalah merupakan ultimum remedium.

"Penempatan pasal-pasal Contempt of Court itu tidak dimasukan dalam KUHP melainkan harus dibuat UU tersendiri. Kasus yang terjadi antara KY dan Hakim Sarpin ini seharusnya bisa diselesaikan dengan UU Contempt Of Court jika kita sudah memilikinya tidak perlu dengan KUHP," tambahnya.

Otto menilai, penyelesaian masalah hakim Sarpin dan KY yang menggunakan KUHP saat ini menimbulkan berbagai komentar miring di masyarakat. Sebagian besar menyatakan bahwa KY telah dikriminalisasi oleh kepolisian.

Akan tetapi, di sisi lain apa yang dilakukan oleh kepolisian tersebut berdasarkan undang-undang juga dibenarkan. Alasannya karena dua komisioner KY dianggap melakukan pencemaran nama baik.

Otto mengakui memang ada kekhawatiran dari masyarakat jika UU Contempt Of Court ini diberlakukan nantinya bisa membuat hakim bisa semena-mena dalam memutuskan perkara yang ditanganinya. Untuk itu dalam membuat UU tersebut harus dibuat secara matang dan melibatkan semua pihak penegak hukum dan stakeholder lainnya.

Oleh karenanya pengawasan terhadap perilaku hakim pun harus terus ditingkatkan. Menurut Otto, sejak Indonesia merdeka hingga saat ini kewibaan pengadilan masih sering dilecehkan oleh masyarakat.

Tidak adanya aturan yang tegas ini menyebabkan segala keputusan pengadilan kerap kali tidak dijalankan sebagai mana mestinya bahkan masyarakat cenderung terus mencari celah agar terlepas dari keputusan pengadilan.

"Tidak sedikit putusan pengadilan yang sudah final masih terus mendapatkan perlawanan karena dianggap mencederai rasa keadilan yang ada," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: