JAKARTA, GRESNEWS.COM – Di tengah proses gugatan uji materi kewenangan Polri dalam mengeluarkan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Mahkamah Konstitusi (MK), mendadak para kuasa hukum pemohon memperoleh pemanggilan polisi.  Para kuasa hukum harus menjalani pemeriksaan penyidik Bareskrim Mabes Polri atas kasus dugaan pemalsuan tandatangan di berkas pengajuan uji materi yang diajukan para pemohon. Padahal dalam uji materi itu pihak kepolisian menjadi pihak terkait.

Para kuasa hukum itu pun menuding Mahkamah Konstitusi telah melakukan kriminalisasi terhadap mereka. Sebab bukannya  memberikan perlindungan hukum bagi para pemohon, MK justru dituding telah melaporkan  ke polisi. Padahal kepolisian adalah pihak terkait, dimana proses pemeriksaan akan syarat dengan konflik kepentingan.

Alih-alih mendapat kepastian hukum atas Undang-Undang yang dianggap para pemohon inkonstitusional, itu justru para kuasa hukum pemohon itu mendapatkan tekanan bahkan terancam dipidanakan oleh pihak terkait perkara.

Salah satu kuasa hukum pemohon, Erwin Natosmal Oemar, mengatakan, ada dugaan kriminalisasi yang dilakukan oleh Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat terhadap sejumlah kuasa hukum bagi para pemohon uji materi yang saat ini tengah dalam proses persidangan.

Ia membenarkan sejumlah kuasa hukum dalam kasus ini sudah dipanggil pihak kepolisian untuk memberikan keterangan terkait dugaan pemalsuan tandatangan para kuasa hukum pada berkas permohonan kasus ini.

Menurut Erwin, pemanggilan kuasa hukum oleh pihak kepolisian merupakan persoalan yang harus ditanggapi serius. Mengingat dalam kasus uji materi yang saat ini tengah berjalan di MK pihak kepolisian merupakan pihak terkait. Sehingga ia menilai upaya pemanggilan rekannya oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri merupakan upaya kriminalisasi yang tidak datang dengan sendirinya.

Ia menjelaskan, enam orang kuasa hukum dan pemohon pada hari Kamis (15/10) lalu telah dipanggil oleh pihak kepolisian untuk diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan pemalsuan tandatangan tersebut. Menurutnya, panggilan tersebut berasal dari  laporan pihak luar ke pihak kepolisian.  

"Makanya kita minta klarifikasi benar gak upaya mengkriminalisasi yang dilakukan oleh MK terhadap kuasa hukum para pemohon disini? Karena tentu kriminalisasi terhadap kuasa hukum itu adalah persoalan yang sangat serius, terlebih lagi pihak polisi disini kan sebagai pihak terkait," kata Erwin Natosmal usai menghadiri persidangan di MK, Kamis (22/10).

Ia menyayangkan lembaga Mahkamah Konstitusi yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap konstitusionalitas para pemohon serta kuasa hukum pemohon, justru diciderai dengan upaya kriminalisasi terhadap masyarakat yang membutuhkan perlindungan konstitusionalnya.

Menurut Erwin, perintah Ketua MK yang meminta agar pihak kepolisian membantu membuktikan keotentikan tandatangan para kuasa hukum pemohon itu merupakan langkah yang keliru. Ia menilai itu sama halnya Hakim Mahkamah memfasilitasi kriminalisasi para kuasa hukum pemohon. Seharusnya, kata Erwin, jika MK menilai ada kejanggalan pada tandatangan para pemohon atau kuasa hukum pemohon, pihak MK lah yang melakukan pemeriksaan serta memastikan dan melakukan verifikasi sejak awal kasus disidangkan.  

Lebih jauh ia mengatakan, hal ini pertama kali dalam sejarah MK. Bahwa MK memfasilitasi kriminalisasi terhadap para kuasa hukum pemohon. Menurutnya, ini merupakan masalah yang sangat serius. Sebab, indepedensi dan kewibawaan, serta nama besar MK dipertaruhkan dalam kasus ini.

"Nanti orang bisa-bisa tidak ada yang mau lagi beracara disini. Ketika MK memberikan ruang untuk mengkriminalisasi kuasa hukum atau pemohon," tegasnya.

HAKIM MK MEMBANTAH – Menanggapi pertanyaan kuasa hukum pemohon terkait dugaan hakim MK melapor kepada pihak kepolisian tentang dugaan pemalsuan tandatangan, Ketua Hakim Mahkamah, Arief Hidayat membantah jika pihaknya disebut melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.

Menurut Hakim Arief, Hakim Mahkamah tidak pernah melaporkan kasus ini ke kepolisian. Ia berdalih pemanggilan para kuasa hukum pemohon atas dugaan pemalsuan tandatangan merupakan temuan dalam proses persidangan dan bukan berdasarkan laporan baik dari salah satu hakim Mahkamah atau pun secara kelembagaan.

"Tidak, tidak ada yang melapor dalam kasus ini. Ini temuan dalam persidangan bukan laporan," kata Ketua Hakim MK, Arief Hidayat menanggapi pertanyaan kuasa hukum para pemohon saat mengkonfirmasi Majelis Hakim di ruang persidangan.

Tidak puas dengan jawaban Ketua Majelis Hakim, para kuasa hukum pun terus mencecar para hakim mahkamah dengan menginterupsi jalannya persidangan sesaat sebelum ketua Majelis Mahkamah mengakhiri persidangan.

"Maaf yang mulia, sekali lagi saya ingin memastikan karena ini terkait dengan hak konstitusional para pemohon dan kuasa hukum pemohon yang mulia. Saya dapat informasi panggilan atas kawan-kawan kuasa hukum oleh Kepolisian itu berdasarkan laporan yang mulia. Apakah benar MK melaporkan kami ke kepolisian? Jika iya bagaimana teknis laporannya? Apakah diwakili oleh salah satu hakim atau secara kelembagaan yang mulia?" selak Erwin sebelum Ketua Majelis MK mengetukan palunya.

"Tidak! Tidak, tidak ada laporan dari kami. Dan ini bukan delik aduan," tegas Ketua Mahkamah Arief Hidayat sesaat sebelum menutup persidangan.

"Oke saya pertegas berarti tidak ada laporan dari Mahkamah ke kepolisian terkait tandatangan ini ya yang mulia, baik. Terima kasih yang mulia, " jawab Erwin.

Kasus ini berawal dari kecurigaan Hakim Mahkamah Maria Farida Indrawati atas tandatangan kuasa hukum para pemohon pada perbaikan materi permohonan uji materi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) pada persidangan hari Kamis (1/10) lalu.

Hakim Mahkamah meminta kejelasan perihal tandatangan yang tampak ditandatangani oleh satu orang dari kuasa hukum. Atas kecurigaan tersebut Ketua Hakim Mahkamah, Arief Hidayat meminta agar kuasa hukum mengklarifikasi dugaan pemalsuan tandatangan tersebut. Arief pun meminta agar pihak kepolisian yang juga pihak terkait melakukan uji balistik atas tandatangan para pemohon dan kuasa hukum kasus tersebut.

Pada kesempatan itu, Hakim Mahkamah Arief Hidayat meminta para kuasa hukum pemohon untuk memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang membubuhi tandatangan dalam surat permohonan agar diserahkan ke Panitera MK untuk di cek keabsahannya.

Dengan meminta pihak kepolisian membantu menguji keotentikan tandatangan para kuasa hukum pemohon, Hakim Mahkamah Arief meminta pihak Kepolisian independen dan objektif dalam membantu mengecek keotentikan dugaan pemalsuan tandatangan para kuasa hukum pemohon tersebut.

Menurut Arief, keabsahan atau keotentikan tandatangan ini sangat diperlukan dalam penanganan perkara di sebuah persidangan, terlebih lagi dalam persidangan konstitusi. "Polri sebagai pihak terkait dalam kasus kita minta klarifikasi dan identifikasi tandatangan, namun Polri harus independen. Artinya kalau memang tandatangannya otentik, katakan otentik. Kalau tidak, katakan tidak otentik. Karena bisa berakibat kalau ini palsu maka permohonan ini gugur," kata Arief dalam persidangan sebelumnya.

Sebelumnya permohonan uji materi sejumlah pasal dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) khususnya sejumlah pasal yang mengatur tentang kewenangan Polri dalam mengeluarkan SIM ini diajukan oleh Alissa Q. Munawaroh Rahman, Hari Kurniawan, Lutfi J.Kurniawan, Alvon Kurnia Palma, Dahnil Anzhar. Kesemuanya adalah warga negara Indonesia yang mewakili penyandang difabelitas dan perwakilan Lembaga Swadaya Manusia (LSM) dengan mengatasnamakan diri Koalisi untuk Reformasi Polri. (Rifki Arsilan)

 

BACA JUGA: