JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, akhirnya menyelesaikan satu persatu perkara suap yang melibatkan mantan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Syahrul Raja Sempurnajaya. Hari ini Majelis Hakim Tipikor menggelar sidang dengan agenda pembacaan putusan terhadap Komisaris Utama PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) Hassan Wijaya.

Sidang ini sedianya akan dimulai pada pukul 10.00 WIB, tetapi karena ada kendala teknis, sidang ini sempat ditunda beberapa jam. Vonis ini baru dibacakan pada pukul 12.30 WIB dan dipimpin Ibnu Basuki Widodo sebagai Ketua Majelis Hakim.

Dalam amar putusan, Hakim Ketua Ibnu menyatakan Hassan Widjaja terbukti secara sah dan meyakinkan turut bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan memberi suap kepada Syahrul Raja Sempurnajaya sebesar Rp7 miliar.

Alhasil, Hassan dijatuhi hukuman oleh Majelis Hakim Tipikor dengan pidana penjara selama dua tahun. "Mengadili, menyatakan terdakwa Hassan Widjaja terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp100 juta subsidair 3 bulan kurungan," kata Hakim Ketua Ibnu Basuki.

Hassan juga diminta untuk membayar biaya persidangan sebesar Rp100 ribu. Jika dilihat, biaya ini memang cukup ringan, tetapi jika dibandingkan dengan beberapa perkara lain, biaya ini membengkak 10 kali lipat. Biasanya, Majelis Hakim hanya meminta terdakwa membayar biaya sidang sebesar Rp10 ribu.

PROSES TERJADINYA SUAP - Hakim Ketua Ibnu yang membacakan sendiri amar putusan tersebut menjelaskan kronologi terjadi suap. Pada 2012, PT BBJ ingin mendirikan lembaga kliring berjangka yang diberi nama PT Indokliring. Tetapi, pendirian itu harus seizin dari Bappebti yang kala itu dipimpin Syahrul.

Syahrul pun memanfaatkan hal itu, melalui bawahannya Alfons Samosir, ia meminta bagian saham sebesar 10 persen atau Rp7 miliar dari modal pendirian perusahaan sebesar Rp100 miliar. Permintaan itu pun dibahas dalam rapat dewan direksi PT BBJ.

Atas berbagai pertimbangan, akhirnya Hassan memutuskan untuk memberikan dalam bentuk uang tetapi hanya sebesar Rp7 miliar. Uang itu diambil dari modal PT Indokliring yang pada awalnya berjumlah Rp100 miliar

"Pada 1 Agustus 2012, Hassan meminta Bihar Sakti Wibowo (Direktur PT BBJ) untuk menyiapkan uang Rp7 miliar," kata Hakim Ibnu.

Keesokan harinya yaitu pada 2 Agustus 2012, Bihar mengadakan pertemuan di Cafe Lulu Kemang Arcade, Jakarta Selatan. Uang itu terdiri dari dua pecahan mata uang, yaitu dolar Amerika sebesar US$600 ribu dan Rp1 miliar.

Selanjutnya, 3 Agustus 2012, Direktur Utama PT BBJ Sherman Rana Khrisna bersama Direktur Utama PT Indokliring Internasional Hendra Gondawidjaja mengajukan permohonan izin usaha lembaga kliring berjangka ke Kepala Bappebti yang dijabat Syahrul.

Dan Syahrul, memerintahkan Kepala Biro Perniagaan Bappebti Robert James Bintaryo untuk memproses izin tersebut. Alhasil, PT Indokliring pun dapat berdiri dengan seizin Bappebti.

Menurut Hakim Ibnu, uang Rp7 miliar kepada Syahrul merupakan pemulus agar izin PT Indokliring dapat diberikan. "Ada kerjasama antara terdakwa dengan M Bihar Sakti Wibowo dan Sherman Rana Krishna dalam pemberian uang Rp7 miliar kepada Syahrul Raja Sempurnajaya," pungkas Hakim Ibnu.

Setelah membacakan putusan, Hakim Ketua Ibnu Basuki sempat menanyakan apakah ada langkah hukum lanjutan yang akan diambil baik dari pihak tim penasehat hukum pimpinan Tito Hananta dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Jaksa KMS Ronny.

Jaksa KPK menyatakan pikir-pikir dan diberi kesempatan selama 7 hari. Jika tidak, tim penuntut umum dianggap menerima putusan tersebut. Namun jika dilihat, vonis ini sudah 2/3 dari tuntutan Jaksa yang meminta Hassan dihukum 3 tahun. Biasanya, jika seperti itu, kecil kemungkinan KPK akan melakukan banding.

Beda halnya dengan penasehat hukum yang menyatakan langsung menerima putusan tersebut. "Setelah konsultasi, terdakwa menerima putusan tersebut," kata Tito.

Seusai sidang, Tito mengungkapkan alasan menerima putusan itu. "Saya diberi amanat perusahaan untuk menerima. Tetapi kami akan berusaha untuk mendapatkan remisi bagi klien kami," ujarnya.

BABAK AKHIR KASUS BAPPEBTI - Putusan atas Hassan ini menjadi babak akhir dari rangkaian kasus korupsi dan suap yang melibatkan Bappebti. Sebelum Hassan, Majelis Hakim Tipikor telah terlebih dahulu menjatuhkan vonis kepada beberapa pihak yang dalam persidangan memang terbukti terlibat dalam kasus ini.

Mereka adalah Kepala Bappebti Syahrul Raja Sempurnajaya, Direktur PT BBJ Bihar Sakti Wibowo, dan Direktur Utama PT BBJ Sherman Rana Krishna.

Syahrul awalnya didakwa dengan enam tuduhan sekaligus, dan ini hampir mencakup seluruh unsur tindak pidana korupsi. Diantaranya memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi. Kemudian pemberian gratifikasi, lalu pemerasan, memberi suap dan juga pidana pencucian uang.

Namun, Majelis Hakim memutuskan hanya lima dakwaan yang terbukti. Dan akhirnya, Syahrul divonis 8 tahun penjara dan denda Rp800 juta subsidair 6 bulan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa yang meminta hukuman 10 tahun penjara.

Selanjutnya, Bihar Sakti Wibowo juga telah divonis Majelis Hakim bersalah dalam perkara ini dan dihukum 3 tahun kurungan. Hukumannya hanya sedikit lebih rendah dari koleganya yaitu Sherman Rana Krishna yang divonis 3 tahun 4 bulan oleh Majelis Hakim Tipikor.

Sebenarnya ada satu nama yang cukup menarik dalam perkara ini yaitu Fatur Raheem Ruki yang tidak lain adalah adik dari Taufiequrrachman Ruki, pucuk pimpinan KPK saat ini.

Dalam persidangan Syahrul pada Rabu 17 September 2014 lalu, ia mengaku menerima US$20 ribu dari mantan Ketua Bappebti tersebut. Tetapi ia berdalih bahwa uang itu merupakan imbalan dari jasanya sebagai penasehat hukum Syahrul.

"Jumlahnya US$20 ribu. Diberikan dua tahap US$10 ribu dan US$10 ribu. Yang pertama kira-kira 1 Mei 2013, kedua kira-kira tidak lama setelah itu, bulan itu juga," ujar Fatur kala itu.

Keterlibatan adik Taufiequrrahman Ruki ini berawal ketika Syahrul memintanya jadi penasehat hukum seusai Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Direktur Utama PT Garindo Perkasa Sentot Susilo terkait dengan penerbitan izin lokasi Tempat Pemakaman Bukan Umum di Bogor. Bisa jadi lantaran itu pula Fatur sama sekali tak disentuh KPK meski sempat mengaku menerima duit dari Syahrul.

Hanya saja, KPK sebenarnya perlu mendalami peran Fatur. Pasalnya, kasus ini adalah kasus korupsi yang ditangani KPK. Posisi Ruki ketika Fatur menangani kasus ini adalah mantan pimpinan KPK yang cukup disegani dan berpengaruh. Apalagi belakangan, Ruki kembali menjadi pimpinan KPK meski hanya selaku pelaksana tugas.

Bisa jadi ada conflict of interest ketika seorang tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK mengambil seorang pengacara yang punya kaitan dengan KPK. Meski Syahrul tetap dihukum berat, KPK sendiri diminta tegas soal masalah semacam ini. 

BACA JUGA: