JAKARTA, GRESNEWS.COM - Apa kabar penanganan kasus dugaan korupsi dalam pemberian surat keterangan lunas (SKL) terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)? Dua tahun sudah berlalu sejak mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menyatakan tekadnya untuk mengungkap kasus yang merugikan negara sebesar ratusan triliun rupiah itu. Namun hingga kini, tak ada kemajuan apapun yang bisa dicapai KPK untuk mengungkapnya, meski sudah ada beberapa saksi yang diperiksa.

Pelaksana tugas pimpinan KPK Johan Budi Sapto Pribowo bahkan tanpa malu-malu mengakui bahwa perkara SKL BLBI ini tengah mandek alias tidak ada perkembangan. "Belum ada perkembangan, masih penyelidikan," kata Johan saat dikonfirmasi gresnews.com, Rabu (19/8).

Bahkan saking lamanya perkara ini tidak berjalan, Johan sendiri sampai lupa mengenai jumlah saksi yang telah dimintai keterangan terkait kasus penerbitan SKL BLBI tersebut. Sama halnya ketika ditanya apa kesulitan yang menyebabkan perkara ini mengendap terlalu lama. "Waduh, aku enggak tahu," ucap Johan singkat.

Saat ditanya apakah dalam perkara ini KPK juga akan mendalami keterlibatan Megawati Soekarnoputri yang ketika itu menjadi Presiden RI, Johan dengan cepat membantahnya. "Sampai saat ini tidak ada," ujar Johan.

Keterangan Johan ini jelas berbeda dengan pernyataan pimpinan sebelumnya, Abraham Samad, yang dengan tegas mengatakan akan memanggil Megawati untuk dimintai keterangan dalam perkara ini. Bahkan, Samad mengaku tidak takut untuk memeriksa Megawati, meskipun Megawati merupakan Ketua Umum PDI Perjuangan, partai pemenang Pemilu 2014 dan juga pengusung utama pasangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Abraham Samad yang ketika itu masih menjabat sebagai Ketua KPK mengatakan pihaknya akan memanggil Megawati untuk dimintai keterangan dalam perkara ini. Menurutnya, tidak ada alasan KPK untuk takut memanggil putri Proklamator RI Soekarno itu dalam kasus SKL BLBI.

"Megawati kan bukan presiden. Presiden pun kalau diperlukan kita akan panggil. KPK nggak ada kendala panggil presiden," kata Samad pada 24 Juli 2014.

Samad pun menyatakan pihaknya tidak ragu untuk memanggil siapapun bila keterangannya diperlukan. Ia mencontohkan KPK pernah memanggil Wakil Presiden ketika itu dan mantan Wakil Presiden dalam kasus Century.

"Tidak ada kendala psikologis bagi KPK untuk memeriksa siapa saja, ini sudah dibuktikan pada pemeriksaan Boediono dan JK (Jusuf Kalla-red)," terang Samad.

Namun, di masa kepemimpinan Samad, penyelesaian kasus BLBI juga timbul tenggelam alias tak ada kemajuan berarti. Juga seiring lengsernya Samad, di periode kepemimpinan transisi ini, kasus BLBI seolah malah membeku.

Johan Budi juga tak bisa memastikan apakah di masa kepemimpinan transisi ini, KPK akan meneruskan kasus BLBI ataukah akan diserahkan kepada kepemimpinan periode berikutnya. "Belum ada perkembangan," ucap Johan yang hanya mengulang jawaban dari pertanyaan sebelumnya.

KPK TAK HENTIKAN PENYELIDIKAN - Meski kasus pemberian SKL kepada obligor BLBI ini jalan di tempat, KPK sendiri tak pernah menyatakan akan menghentikan kasus tersebut. Bambang Widjojanto yang kala itu masih menjadi Komisioner memastikan perkara ini masih berjalan. Bambang mengatakan KPK tidak berencana untuk menghentikan penyelidikan ini. "Belum sampai putus akhir, sekarang masih berjalan," ujar Bambang.

KPK memang pernah membuat gebrakan dengan meminta keterangan sejumlah mantan menteri yang kala itu diduga mengetahui perkara ini. Mereka adalah Laksamana Sukardi, mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto, mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, serta suksesornya, Rizal Ramli.

Laksamana Sukardi yang ketika itu menjabat Menteri Negara BUMN mengatakan penyelidik KPK mengajukan sejumlah pertanyaan termasuk soal rapat kabinet di era Megawati terkait pembahasan SKL BLBI. Ia mengaku bahwa penerbitan tersebut hanyalah mengikuti Amanat MPR yang memerintahkan Presiden memberi kepastian hukum kepada para pengutang BLBI.

Sebagai mandataris, Megawati pun melaksanakan perintah tersebut. "Waktu itu zaman Bu Mega, presiden masih mandataris MPR. Jadi ada Tap MPR yang kalau beliau melanggar, beliau bisa dimakzulkan," ujar Sukardi usai diperiksa pada 11 Juni 2013.

Sedangkan Rizal Ramli saat itu mengaku ditanya mengenai ada tidaknya kejanggalan dalam penerbitan SKL BLBI. Ia pun mengklaim selama menjabat sebagai menteri tidak pernah mengeluarkan surat keterangan tersebut. "Kami tidak pernah mengeluarkan SKL. SKL diberikan setelah kami, karena banyak (utang) yang belum lunas," ujar Rizal ketika itu.

Namun, Rizal enggan mengungkap siapa yang bertanggung jawab dalam penerbitan SKL. Menurut Rizal, salah satu orang yang menentang pemberian itu adalah Kwik Kian Gie. "Pak Kwik sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sama sekali tidak terlibat, sama sekali tidak setuju dengan pemberian SKL," pungkas Rizal.

Johan Budi yang ketika itu masih menjadi Juru Bicara mengatakan KPK mulai mengusut kasus ini karena diduga ada kesalahan dalam pemberian SKL melalui Kementerian Keuangan. SKL itu berisi pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada yang belum menyelesaikan berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, dikenal dengan Inpres (Instruksi Presiden-red) tentang release and discharge.

AKAL BULUS OBLIGOR BLBI - Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI diterbitkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002. Inpres tersebut memuat ketentuan tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya.
 
Sementara, kepada para obligor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan jumlah kewajiban pemegang saham (JPKS) akan dikenakan tindakan hukum. Kepada para obligor BLBI yang sudah mendapatkan DKL dari BPPN, Kejaksaan Agung akan menindaklanjutnya dengan menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan).

Terbitnya Inpres yang beken dengan nama Inpres release and discharge itu menjadi sorotan dan mengundang kontroversi. Seperti dikatakan Rizal Ramli, ketika itu banyak pihak yang menentang terbitnya beleid tersebut, salah satunya adalah Kwik Kian Gie.

Pasalnya, ketentuan lunas dalam Inpres itu dinilai sangat ringan yaitu hanya melunasi 30 persen kewajiban dari JKPS dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dngan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Ketika itu ada 10 obligor besar BLBI yang ditetapkan sudah melunasi kewajibannya dan mendapatkan SP3 dari Kejaksaan Agung. Diantaranya adalah Sjamsul Nursalim dan The Nin King.

Pemberian SKL dan kemudian SP3 oleh Kejagung ini, khususnya kepada Sjamsul Nursalim, belakangan mengundang kontroversi. Pasalnya diduga para obligor ini menjalankan aksi muslihat dalam melakukan pelunasan yaitu tidak sesuai aturan dalam Inpres.

Mengaku tak mampu melaksanakan kewajiban, mereka melunasi dengan cara menyerahkan aset kepada negara lewat BPPN. Hanya saja, aset-aset itu belakangan diketahui bodong lantaran oleh BPPN diobral murah.

Juga dicurigai aset-aset yang diobral murah BPPN itu dibeli kembali oleh para obligor tersebut melalui perusahaan miliknya yang berdomisili dan beroperasi di luar negeri. Alhasil obligor diuntungkan dia kali, aset tetap dikuasai si obligor, sementara yang bersangkutan sudah dinyatakan bebas dari kewajiban mengembalikan dana BLBI.

SKL BLBI RUGIKAN NEGARA - Salah satu aset yang diduga diobral murah adalah tambak Dipasena yang bernilai Rp19,961 triliun, namun oleh BPPN malah dilelang hanya sebesar Rp448 miliar kepada konsorsium Neptune (CP Prima) anak usaha charoen Pokphand yang belakangan juga tak melaksanakan kewajibannya melakukan revitalisasi.

Kasus ini sudah dilaporkan para petambak eks Dipasena ke KPK, namun hingga kini juga belum ada perkembangan berarti apakah kasusnya akan ditangani oleh KPK.

Ada juga kasus terkait aset Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang juga milik Sjamsul Nursalim. Pada 1997 Bank Indonesia mengucurkan kredit kepada BDNI sebesar Rp39 triliun dengan pemegang saham pengendalinya ialah Sjamsul Nursalim. Jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) adalah Rp28,4 triliun.

Kewajiban JKPS diselesaikan dengan pembayaran secara tunai sebesar Rp1 triliun dan sisanya Rp27,4 triliun dibayar dengan menyerahkan aset sesuai perjanjian Master Settlement and Agreement Acquisition (MSAA). Namun, berdasarkan hasil penghitungan Lehman Brother pada 1998, jumlah nilai saham perusahaan atau aset Sjamsul hanya Rp22,56 triliun.

Sedangkan menurut penghitungan ulang oleh Ernst & Young pada 2003, aset Sjamsul yang sudah diserahkan kepada BPPN sebesar Rp22,65 triliun. Namun diduga, nilai aset yang diserahkan Sjamsul Nursalim dalam kasus ini ditengarai jauh dari nilai sebenarnya.

Di kemudian hari, dugaan ketidakjujuran Sjamsul Nursalim terendus, ketika mantan jaksa Urip Tri Gunawan (kini berstatus terpidana), ditangkap KPK di pekarangan rumah Sjamsul Nursalim di Jakarta Selatan.

Jaksa Urip adalah anggota tim penyelidik untuk kasus penyerahan aset obligor BLBI. Di pengadilan, Urip terbukti menerima suap dari Artalyta Suryani, orang kepercayaan Sjamsul Nursalim. Kasus ini kemudian ditangani KPK namun berhenti pada masalah suap saja dan tak menyentuh Sjamsul Nursalim dan kasus BLBI.

Tentu ini menjadi tanggung jawab besar bagi KPK sebagai lembaga dengan kekuatan luar biasa untuk mengungkap kasus korupsi besar. Kasus BLBI sangat ditunggu penuntasannya mengingat besarnya duit negara yang hilang dalam kasus tersebut.

Berdasarkan laporan Audit Investigasi penyaluran dan pengunaan BLBI oleh BPK pada tahun 2000, total dana BLBI yang disalurkan kepada 48 Bank mencapai Rp144,5 triliun. Dari audit yang sama, ditemukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam penyaluran BLBI, yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp138,4 triliun, atau setara 96 % dari total BLBI.

BACA JUGA: