JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bak ada dinding tebal, setiap upaya penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu selalu terbentur tanpa penyelesaian. Padahal kasus HAM masa lalu menjadi beban sejarah setiap rezim pemerintahan. Kini pada masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, kembali ada upaya untuk menuntaskan tunggakan kasus HAM masa lalu.

Setelah hampir 10 tahun lebih terkatung-katung antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, kini tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah diselidiki Komnas HAM akan segera dituntaskan. Komitmen pemerintah tersebut terlihat dari tiga kali pertemuan lembaga penegak hukum dan Komnas HAM di Kejaksaan Agung.

Telah ada titik terang dari tiga kali pertemuan itu. Yakni akan dibentuknya komite pengungkap kebenaran yang terdiri dari 15 orang dari berbagai unsur.

Tim akan bekerja di bawah koordinasi langsung Presiden Joko Widodo. Orang-orang yang mengisi pos terdiri dari unsur korban atau masyarakat, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, purnawirawan TNI, purnawirawan Kepolisian, dan sejumlah tokoh yang dianggap kredibel menangani penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Hari ini kami semua sepakat dan berkesimpulan bahwa sudah ada titik terang agar penyelesaian HAM segera di selesaikan. Agar Indonesia terlepas dari sengsara masa lalu," kata Jaksa Agung H.M Prasetyo usai pertemuan ketiga yang dilakukan tertutup di Kejaksaan Agung, Kamis.

Selain Prasetyo, pertemuan juga dihadiri Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laolly dan Komnas HAM Nur Kholis.

Ada optimisme pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM berat dengan dengan cara non yudisial atau rekonsiliasi ini. Komnas HAM telah melakukan pendekatan kepada korban dan telah ada hasilnya. Kejaksaan Agung dan Komnas HAM akan menjadi pihak yang akan menuntaskan kasus-kasus tersebut dan melaporkannya langsung kepada Presiden Jokowi.

Sejumlah kasus pelanggaran berat HAM yang telah diselidiki Komnas HAM di antaranya adalah kasus pembantaian massal 1965, penembakan misterius, kasus Talangsari (Lampung), kerusuhan Mei 1998, dan penculikan sejumlah aktivis.

UNGKAP KESALAHAN NEGARA - Terbentuknya komite pengungkap kebenaran akan menjadi pintu masuk untuk mendapatkan pola kesalahan yang dilakukan negara sehingga terjadi pelanggaran HAM. Jaksa Agung Prasetyo mengatakan, tugas dan fungsi komite nantinya untuk mempersiapkan tahapan menuju penyelesaian non-yudisial. Banyak hal yang akan dilakukan menuju penyelesaian non-yudisial. Sehingga komite perlu memberikan penjelasan kepada masyarakat khususnya keluarga korban agar memahami tujuan rekonsiliasi tersebut.

Karenanya komite terdiri sejumlah unsur yang mewakili semua kepentingan. "Jadi komite yang mempersiapkan penyelesaian secara non-yudisial," kata Prasetyo.

Dalam rekonsiliasi nantinya akan ada pengakuan dari pemerintah telah terjadi pelanggaran HAM berat. Lalu pemerintah akan membuat komitmen pelanggaran serupa tidak akan terjadi di masa yang akan datang. Terakhir akan ada permintaan maaf dari negara kepada pihak yang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat tersebut.

Komisioner Komnas HAM Nur Kholis mengatakan pendekatan penyelesaian tidak berfokus pada kasus per kasus, melainkan lebih mengarah pada pengungkapan suatu pola kesalahan negara atau suatu pola tertentu yang menimbulkan korban di masyarakat. Mencari kesalahan di balik pelanggaran HAM berat masa lalu dianggap penting lantaran bisa menjadi pintu masuk mencari tahu bagaimana kesalahan itu terjadi dan mengapa kesalahan itu bisa berujung pada pelanggaran HAM.

Bukan berarti langkah komite akan mudah. Belum lagi terbentuk dan bekerja, banyak pihak yang mempertanyakan kesungguhan pemerintah menuntaskan. Hingga saat ini Komnas HAM mengaku belum mendengar apa yang diinginkan korban.

SUARA KORBAN  - Pembentukan komite pengungkap kebenaran disebut akan dapat menjadi terobosan kebuntuan penyelesaian kasus HAM berat masa lalu. Namun LSM yang konsen mengawal kasus pelanggaran HAM ini melihat penyelesaian yang ditawarkan pemerintah masih satu arah. Pemerintah belum mendengar suara korban.

Wakil Ketua Kontras Chris Biantoro juga menilai upaya rekonsiliasi yang ditawarkan pemerintah seperti ujug-ujug dan mengabaikan suara korban. Hal terpenting dari inisiasi  pemerintahan Jokowi menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu adalah mendengar suara korban.

"Harusnya ada semacam forum mendengarkan keterangan saksi dengan korban, komite yang dibentuk harus melakukan public hearing, diselesaikan lewat pengadilan atau bagaimana," kata Chris kepada gresnews.com, Jumat (3/7).

Komite harus bisa menjelaskan kepada korban dan keluarga langkah non yudisial yang ditempuh pemerintah. Padahal sudah ada infrastruktur untuk menyelesaikannya seperti UU HAM, lembaga Kejaksaan Agung dan kepolisian. Jokowi harus jujur menyampaikan alasan rekonsiliasi tersebut. Jangan sampai ada pandangan langkah pemerintah ini hanya menenangkan korban.

Kontras mengaku ada koordinasi dengan Komnas HAM membahas solusi kasus HAM berat ini. Namun suara korban tidak didengar. Usulan Komnas HAM untuk menempuh rekonsiliasi diprotes korban dan menolak cara tersebut.
Karenanya Chris mendesak pemerintah melalui komite untuk melakukan public hearing untuk mendengar suara korban.

Koordinator Riset Imparsial Gufron Mabruri juga mempertanyakan tugas dan fungsi komite yang akan dibentuk nanti. Gufron melihat dengan cara ini ada kepentingan yang akan menutup ruang bagi korban untuk menyelesaikan dengan mekanisme pengadilan HAM.

Harusnya yang dilakukan akan mendorong Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti hasil penyilidikan Komnas HAM. Sebab alasan Kejaksaan Agung yang mengatakan hasil penyelidikan Komnas HAM tidak lengkap hanya mengada-ada.

"Jangan sampai pembentukan komite nanti hanya untuk menutup ruang korban untuk menempuh mekanisme lain yakni lewat pengadilan," jelas Gufron kepada gresnews.com.

SUSUNAN KOMITE DIRAGUKAN - Keberadaan komite pengungkap kebenaran yang akan dibentuk dan bekerja atas Keputusan Presiden tersebut juga diragukan kinerjanya. Unsur-unsur yang masuk dalam komite harusnya tidak terikat dengan birokrasi. Namun unsur dalam komite ada unsur Kejaksaan Agung dan sejumlah purnawirawan TNI dan Polri yang diragukan independensinya.

"Idealnya harus berintegritas, sehingga menghasilkan rekomendasi dan tidak berpihak dan tidak merugikan siapapun," jelas Chris.

Anggota komite pengungkap kebenaran sejatinya diisi oleh tokoh yang berintegritas dan tidak ada konflik kepentingan. Pembentukan tim 9 oleh Presiden Jokowi menengahi kasus Komjen Budi Gunawan salah satu contohnya.

Senada dengan Chris, Gufron menilai dari unsur yang terlibat dalam komite sangat diragukan akan berpihak pada kepentingan korban. Keterlibatan purnawirawan TNI dan Polri dikhawatirkan akan menutup ruang korban untuk menempuh mekanisme lain selain rekonsiliasi.

"Dari susunannya saya meragukan, tersirat upaya menutup upaya lain korban lewat pengadilan HAM," kata Gufron.

SIKAP KORBAN - Penyelesaian lewat non-yudisial memang sejak awal ditolak korban. Sejumlah korban bahkan melakukan hearing dengan pihak Kejaksaan Agung pada 21 Mei 2015 lalu. Para korban tetap meminta keadilan melalui mekanisme pengadilan HAM.

Ayah korban peristiwa Semanggi I Sigit Prasetyo, Asih Widodo, tetap menuntut Jaksa Agung menuntaskan kasus yang menyebabkan anaknya meninggal pada 13 November 1998. Menurutnya upaya rekonsiliasi maupun rehabilitasi melalui ganti rugi uang oleh negara yang ditempuh Kejaksaan Agung lewat komite rekonsiliasi, tidak akan mengembalikan nyawa anaknya yang meninggal. Widodo hanya meminta kasus tersebut diusut hingga tuntas dan menuntut pelaku-pelaku yang memiliki jabatan waktu itu untuk bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan.

"Memangnya kalau sudah dikasih duit anak saya kembali lagi. Masak bunuh orang cuma minta maaf saja," kata Widodo saat audensi dengan Kejaksaan Agung, di Kompleks Kejaksaan Agung.

Adapun korban pengasingan akibat peristiwa tahun 1965, Tumiso, meminta Kejaksaan untuk segera menuntaskan kasus yang telah memakan banyak korban itu, karena sampai saat ini ia melihat tidak ada itikad baik dari Kejaksaan untuk menangani kasus yang menyebabkan dirinya dipenjara selama 15 tahun di Pulau Buru.

Menurutnya, bukti-bukti dan saksi-saksi kasus 1965 masih ada hingga saat ini, sehingga tidak masuk akal Kejaksaan mengatakan susah mencari alat bukti dan saksi-saksi.Tidak hanya penuntasan kasus, Tumiso pun meminta rehabilitasi nama baiknya, karena sampai saat ini dirinya masih terbebani dengan status mantan PKI. Dalam dokumen negara pun nama yang ia sandang bukanlah Tumiso, melainkan A 366 saat ia diasingkan ke Pulau Buru.

"Anak saya masuk PNS tidak bisa, saya butuh rehabilitasi nama baik," ujarnya.

Paian Siahaan, orang tua Ucok Munandar Siahaan, korban penculikan 1998, juga mengungkapkan kekecewaannya dengan sikap Kejaksaan yang akan menempuh cara rekonsiliasi tanpa mengusut dahulu kasus yang menimpa mereka. "Padahal Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan, DPR juga sudah merekomendasi kepada negara untuk mencari orang-orang yang hilang tersebut, Kejaksaan harus melakukan itu dulu, bukan langsung rekonsiliasi," tuntutnya.

BACA JUGA: