JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelemahan nilai tukar rupiah serta lemahnya kinerja perbankan dan ketidakstabilan ekonomi lain diduga terjadi akibat imbas dari benturan-benturan politik yang terjadi akhir-akhir ini. Untuk menstabilkan ekonomi Indonesia, pemerintah harus lebih dulu menstabilkan benturan politik yang ada.

Ekonomi Indonesia dinilai akan membaik apabila konsolidasi politik dapat terselesaikan. Sebab benturan politik berpengaruh pada penataan sistem pemerintahan yang juga berimbas pada stabilitas ekonomi.

"Jadi sesungguhnya ekonomi Indonesia bisa baik kalau konsolidasi politiknya selesai," kata pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamuddin Daeng kepada Gresnews.com, Senin (6/4).

Konsolidasi politik yang berujung pada penataan sistem otomatis akan membawa pada konsolidasi partai-partai. Juga konsolidasi dengan rakyat sebagai basis dukungan politik untuk mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang sedang berjalan.

Pemerintahan saat ini diharuskan belajar pada pemerintahan orde baru. Stabilitas ekonomi Indonesia pernah terguncang namun dengan cepat stabilitas politiknya dijaga. Setelah dingin, baru pemerintahan saat itu melompat memikirkan pembangunan infrastruktur, harga kebutuhan dasar, pangan, energi, air dan sebagainya.

"Tahapannya begitu, jadi sekarang kalau konsolidasi politiknya tidak jalan bagaimana mau melakukan penataan ekonomi," katanya.

Penataan ekonomi juga tak luput dari penataan sistem di mana kebijakan pemerintah membutuhkan dukungan undang-undang. Untuk itu, penataan ekonomi juga harus dikonsolidasikan ke dalam partai politik agar tidak mendistorsi rencana-rencana pemerintah.

Namun sayangnya benturan politik saat ini sangat kompleks dan tidak sejalan dengan tujuan-tujuan ekonomi. Sebut saja mulai dari pemerintah dengan DPR, kemudian benturan di antara lembaga-lembaga negara, polisi dan KPK, benturan internal parpol. "Benturan ini pasti berlawanan dengan stabilitas ekonomi, kalau benturan ini meluas maka tak akan tercapai stabilitas politik dan ekonomi," katanya.

Ditambah lagi konflik permanen, antara Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang tidak terselesaikan. Di mana OJK mengawasi perbankan sedangkan BI mengawasi lintas keuangan. Padahal antara perbankan dan lalu lintas moneter tidak bisa dipisahkan dan semestinya kedua lembaga ini ditambah Kementerian Keuangan dan LPS bersatu.

Apabila konflik terus berlangsung maka pemerintah tak punya kesempatan mewujudkan rencana-rencana besarnya. Sebab terlampu sibuk mengurus konflik lembaga negara. Ia berharap pemerintah dapat dengan cepat menyelesaikan konflik politik yang ada untuk menstabilkan ekonomi negara.

Konsolidasi pemerintah harus dimulai dari elite sampai rakyat, baru kemudian bisa menyusun pondasi untuk menata sistem. "Jika tidak melakukan penyelesaian politik maka tak mungkin ekonomi bisa baik," katanya.

Sebelumnya pemerintah mengeluarkan enam paket penguatan rupiah yakni memberi insentif pajak kepada perusahaan yang melakukan ekspor dan yang melakukan reinvestasi di dalam negeri dari keuntungan yang didapatnya. Kedua, melindungi produk dalam negeri melalui bea masuk antidumping dan bea masuk. Ketiga, penerapan bebas visa pada 45 negara. Keempat, penggunaan biofuel 15% dari konsumsi solar. Kelima, kewajiban bagi pengusaha menyerahkan L/C ekspornya. Dan keenam, penggabungan dua perusahaan reasuransi.

Selain itu, Bank Indonesia juga mengeluarkan paket penanganan fiskal dan moneter yang mencakup strategi pendalaman pasar keuangan. Misalnya, melalui diversifikasi instrumen, perluasan produk, hingga menggaet lebih banyak pelaku pasar keuangan.

Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin menyatakan, dalam kondisi ada potensi guncangan dari eksternal, kekompakan pemerintah di sisi fiskal dan bank sentral di sisi moneter memang sangat dibutuhkan. "Sejauh ini, respons pemerintah dan BI sudah cukup bagus," ujarnya.

Berbagai paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah maupun BI merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek dan menengah. Apalagi paket kebijakan ekonomi pemerintah sebenarnya merupakan strategi reformasi struktural yang akan menjadi solusi menyeluruh untuk memperbaiki fundamental perekonomian Indonesia.

Sementara, untuk mengatasi tekanan terhadap Rupiah dalam jangka pendek, pemerintah akan lebih tegas mendorong penggunaan Rupiah untuk transaksi di dalam negeri. Kewajiban tersebut juga telah diatur dalam undang-undang sehingga tinggal memperketat pengawasan. "Fakta menunjukan, lebih dari 50 persen transaksi valas dilakukan untuk transaksi yang tidak terkait dengan ekspor impor," katanya.

BACA JUGA: