JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sempat menguat dengan pesat dari kisaran Rp14.700 per dolar Amerika Serikat ke angka Rp13.600, rupiah sempat menerbitkan harapan adanya perbaikan fundamental ekonomi. Penguatan rupiah ini disebutkan akibat adanya banyak dana asing yang masuk ke dalam negeri.

Selain itu, dolar AS juga melemah akibat tak ada lagi spekulasi The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga tahun ini. Pemerintah juga cukup optimis trend penguatan rupiah ini bisa terus berlanjut.

Menko Perekonomian Darmin Nasution menilai, posisi nilai tukar sekarang masih berada di bawah fundamentalnya. Dengan demikian, masih berpeluang terus menguat terhadap dolar AS, tergantung dari kondisi ekonomi global dan dalam negeri.

"Kita melihat kalau kita ukur sebenarnya rupiah masih under value, terlalu rendah nilainya. Jadi rupiah arahnya akan bergerak menguat, nah sampai kapan? tergantung juga kondisi dunia seperti apa bergeraknya, berkembangnya," ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Rabu (7/10).

Menurut Darmin, penguatan rupiah dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, dari kondisi perekonomian global, khususnya dari kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) yang tidak menaikkan suku bunga acuan pada September lalu.

Kedua adalah faktor dari dalam negeri, yaitu setelah dikeluarkannya beberapa kebijakan oleh pemerintah, berupa paket September I dan II. Investor melihat ada tekad pemerintah untuk menjalankan reformasi struktural.

"Dengan berbagai alasan, bisa karena ekonomi AS tidak terlalu baik, bisa karena perbaikan-perbaikan, deregulasi kebijakan. Ini sebenarnya bergerak ke arah normalisasi kurs itu sendiri. Kita kembali ke arah mendekati nilai fundamental, belum tapi kira-kira itu. Itu susah mengukur-ukurnya, tetapi dua-duanya bekerja," paparnya.

Dengan diluncurkannya paket kebijakan yang ketiga, pemerintah berharap setimen positif di pasar keuangan terus berlanjut. Sehingga mampu mendorong rupiah kembali pada level fundamentalnya.

"Mudah-mudahan, kita berharap begitu, paket ketiga pun bisa berharap mendorong lebih lanjut rupiah," tegas Darmin.

PENGUATAN SEMU - Meski pemerintah optimis, banyak pakar ekonomi memprediksi penguatan rupiah ini hanyalah penguatan semu sebelum kemudian melemah kembali. Per hari ini misalnya, dolar AS menguat kembali ke angka Rp13.800. Padahal kemarin dolar masih berada di posisi Rp13.754.

Pengamat ekonomi politik Kusfiardi menilai penguatan ini bersifat temporer karena fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih bermasalah. Misalnya soal Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang sebagian besar berasal dari industri asing yang beroperasi di Indonesia.

Selain itu, sektor-sektor perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti pertambangan juga dikuasai asing. Basis andalan ekspor Indonesia juga masih berasal dari bahan mentah.

"Indonesia memang mengeskpor bahan jadi tetapi komponennya bahan bakunya masih 80 persen, artinya situasi tersebut tidak akan mendorong fundamental ekonomi menuju perbaikan," kata Kusfiardi kepada gresnews.com, Kamis (8/10).

Dia menilai pemerintah sudah salah alamat dalam mengeluarkan paket kebijakan ekonomi karena pemerintah tidak mempunyai ´sense of crisis´, sehingga paket kebijakan ekonomi tersebut tidak berdampak jangka panjang. Paket kebijakan ekonomi tersebut hanya menyelesaikan masalah jangka pendek yang sekarang dihadapi.

Misalnya, daya beli menurun, biaya produksi mahal dan hal-hal lain yang menyebabkan perekonomian Indonesia tidak berjalan dengan normal. "Nah disitu perlu keputusan diskresi dari pemerintah," kata Kusfiardi.

Menurut dia, dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi tersebut karena terkait dengan kepentingan asing, investasi asing yaitu dengan mengurangi pajak, pemberian tax amnesty (pengampunan pajak), dan tax holiday. Jika pemerintah menjanjikan kepada investor asing dengan perizinan dikeluarkan dalam waktu tiga jam, hal itu bisa saja terjadi.

"Tetapi, untuk proses running industrinya memakan waktu selama dua sampai tiga tahun," ujar Kusfiardi.

Dia mengatakan, seharusnya untuk memperbaiki fundamental ekonomi, pemerintah harus memprioritaskan perealisasian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sudah ada. Jika diperlukan perubahan alokasi, maka pemerintah harus segera mengubah alokasinya karena kucuran dana APBN sampai sejauh ini baru terealisasi 40 persen sampai 50 persen.

Terkait paket stimulus, seharusnya pemerintah fokus untuk menstimulus kebijakan fiskal. Sebab akan sia-sia jika pemerintah berencana untuk membangun proyek-proyek tetapi tidak direspons positif oleh investor asing.

Menurutnya pemerintah harus fokus untuk peningkatan dan pemanfaatan fiskal karena lebih terukur. Misalnya, belanja infrastruktur, pertanian dan energi dari APBN.

"Cuma Presiden kita ini kan suka populis dan suka tidak strategis. Kemudian isu penurunan harga BBM, padahal momentumnya sudah lewat. Penurunan harga BBM saat ini tidak banyak membantu," kata Kusfiardi.

KEBIJAKAN PRO RAKYAT - Kusfiardi menilai, kebijakan pemerintah seharusnya lebih pro rakyat jika benar ingin membangun fundamental ekonomi yang kuat. Misalnya, menurunkan jumlah komponen pajak yang ditanggung oleh rakyat seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi barang-barang konsumsi.

Menurutnya banyak sekali barang-barang konsumsi yang dikenakan PPN, seperti susu dan gandum. Artinya jika pajak tersebut dikurangi maka secara otomatis harga barang-barang konsumsi juga menurun.

Kemudian, untuk menaikkan daya beli masyarakat, pemerintah harus menghapuskan kebijakan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) yang diberlakukan semula untuk pendapatan Rp3 juta menjadi Rp10 juta. Menurutnya pajak memiliki aspek redistribusi yaitu mengambil wajib pajak yang memiliki penghasilan lebih kemudian dimanfaatkan untuk pembangunan.

Jika pemerintah ingin membantu rakyat, maka pemerintah harus mengubah PTKP di atas pendapatan Rp10 juta. Maka penghasilan di bawah Rp10 juta tidak terkena potongan pajak. "Lumayan lho potongan pajaknya sekitar Rp300 ribu sampai Rp500 ribu," kata Kusfiardi.

Pengamat ekonomi dari INDEF Enny Sri Hartati menambahkan, jika pemerintah ingin penguatan rupiah ini berlangsung ajek, maka pemerintah harus memiliki kredibilitas sehingga berdampak kepada keyakinan para pelaku pasar.

Menurutnya pemerintah jangan mengandalkan bank sentral dalam upaya menstabilkan mata uang. Tetapi, yang paling signifikan adalah mempengaruhi orang agar tidak berspekulasi kepada rupiah. Dan itu hanya bisa dilakukan jika pemerintah memiliki kredibilitas.

Dia menambahkan ketika para pelaku pasar mempunyai keyakinan dan optimisme terhadap kebijakan pemerintah, maka optimisme tersebut akan berdampak pelaku pasar tidak berspekulasi. Itu bisa terjadi selama pemerintah bisa memberikan penjelasan secara akurat terhadap paket kebijakan ekonomi yang salah satunya menurunkan harga BBM.

Jika pemerintah tidak mampu menjelaskan secara akurat, maka kebijakan tersebut hanya dianggap sekadar mencari popularitas sehingga akan kontraproduktif. "Kalau ada planning dan perhitungan harga. Kemudian konsistensi kebijakan energi tentunya akan menumbuhkan optimisme pelaku pasar," kata Enny kepada gresnews.com.

Berbeda dengan Kusfiradi dan Enny, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir mengatakan, kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah dalam merespons perlambatan ekonomi ini sudah tepat. Dia mengatakan, paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah memang bertujuan menyelesaikan masalah ekonomi jangka pendek.

"Jadi memang bukan untuk menyelesaikan masalah jangka menengah dan jangka panjang," kata proa yang akrab disapa Sonny itu kepada gresnews.com.

Menurutnya paket kebijakan ekonomi pemerintah ini tidak hanya berhenti sampai jilid III saja, tetapi nantinya pemerintah akan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi lainnya. Komisaris BNI ini mengatakan, pemerintah terus berupaya untuk membuat fundamental ekonomi Indonesia menjadi lebih kuat dan lebih kompetitif dalam waktu jangka panjang.

Karena itu untuk paket kebijakan ekonomi yang disusun untuk jangka panjang, menurutnya harus mengacu kepada visi misi presiden yaitu Nawacita. Artinya, akan ada kebijakan yang dikeluarkan agar Nawacita dapat terealisasi setelah lima tahun.

"Ya jadi saya kira masih ada paket-paket lain yang masing-masing mempunyai rentan waktu. Ini memang targetnya jangka pendek," kata Sonny.

DAMPAK POSITIF - Sementara itu, Bank Indonesia selaku otoritas moneter Indonesia menilai, paket kebijakan ekonomi yang telah diluncurkan pemerintah dalam tiga tahap ini, telah memberikan dampak positif.

"Kami sangat mengapresiasi komitmen pemerintah untuk terus melakukan reformasi di structural reform, dan kami juga melihat kebijakan di paket kedua yang untuk menambah suplai valas di pasar spot dan suplai valas di pasar forward ini juga sudah berdampak positif kepada ekspektasi orang, dengan mulai menjual dolar-dolar yang mereka mungkin kemarin berspekulasi menumpuknya," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityawarman, kepada wartawan di kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu (7/10) petang.

Mirsa menjelaskan, bahwa membaiknya situasi pasar keuangan dalam beberapa hari terakhir sebagaimana terlihat dari menguatnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS, merupakan gabungan dari faktor eksternal dan faktor domestik.

Faktor eksternalnya, jelas Mirza, adalah angka-angka ekonomi Amerika Serikat (AS) yang menunjukkan agak sedikit melemah, terutama di angka unemployment-nya sehingga konsensus dari kenaikan suku bunga AS sekarang ini mulai bergeser.

Yang tadinya dikhawatirkan kenaikannya mungkin bulan Oktober mungkin bulan Desember sekarang bergeser mungkin di kuartal satu bahkan mungkin di kuartal dua.

"Nah, ini membuat di pasar keuangan terjadi pembalikan ya beberapa investor, dan juga mungkin beberapa spekulan yang tadinya beli dolar lebih awal mereka melakukan cut loss di, di pasar keuangan. Ini juga terjadi, kita lihat selain di Indoensia juga di Malaysia di negara-negara emerging market yang lain," tutur Mirza.

Sementara faktor internal, menurut Deputi Gubernur Senior BI itu, tentu adalah respons positif pasar melihat dari komitmen pemerintah melakukan deregulasi. Ia menjelaskan, paket pertama, paket kedua, paket ketiga, memang disambut positif yang menunjukkan bahwa kita serius melakukan structural reform.

"Nah, structural reform ini mulai dari pariwisata, juga dari bagaimana perizinan-perizinan di berbagai sektor, ini tentu dalam jangka menengah panjang akan menurunkan inflasi, dan juga dalam jangka menengah panjang akan menambah suplai valas di Indonesia," kata Mirza.

Mirza juga menunjuk sambutan positif pasar atas paket kebijakan ekonoi pemerintah itu, selain pasar valuta asing rupiah yang menguat cukup signifikan tiga hari ini, juga pasar obligasi negara yang menyambut sangat positif.

"Yield obligasi negara yang rate-nya sempat naik mendekati 10% per hari ini sekitar 8,4%. Artinya, kalau rate-nya turun, ongkos pembiayaan pemerintah untuk membiayai APBN itu juga artinya turun ya membaik," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: