JAKARTA, GRESNEWS.COM - Setelah ditunggu berbulan-bulan, Bank Sentral Amerika Serikat alias The Federal Reserve Bank atau The Fed akhirnya memutuskan urung untuk meningkatkan nilai Fed Rate atau suku bunga mereka. Tadinya dikhawatirkan bila sampai The Fed menaikkan suku bunga mereka maka akan terjadi pelarian modal asing dari Indonesia yang akan semakin menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Sayangnya, keputusan The Fed ini sepertinya juga tidak berimbas positif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Berdasarkan data Bank Indonesia, kurs rupiah tetap melemah sampai 9 poin dari Rp14.452 per dolar AS menjadi Rp14.463 per dolar AS sehari setelah keputusan itu dikeluarkan.

Keputusan The Fed ini dinilai oleh mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri Sandiaga Uno sebagai masa-masa ketidakpastian bagi ekonomi Indonesia bertambah panjang. Menurut pengusaha yang bergelut di bidang investasi dan pertambangan ini, periode ketidakpastian tersebut akan berlangsung hingga akhir tahun mendatang, dimana The Fed akan mengadakan lagi rapat lagi untuk menentukan nilai suku bunga mereka.

"Akan ada periode ketidakpastian lagi sampai Desember nanti," ujarnya di Gedung Nusantara I Kompleks DPR RI, Kamis (16/9).

Sandi menilai, bila meningkatnya nilai kurs rupiah ini terus berlangsung pada masa-masa ketidakpastian ini maka akan berimbas langsung kepada dunia Industri. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra ini mengungkapkan, jika itu terjadi, biaya produksi dalam Industri akan tinggi dan akan menggerus marjin keuntungan dari para pengusaha.

"Hal ini karena dalam industri kita input US Dollar based sangat tinggi," ujar Sandi

Sandi mengakui, pengusaha di Indonesia memang banyak yang memiliki utang luar negeri dalam bentuk dolar AS, namun pendapatan yang mereka peroleh pun dalam dolar AS juga sehingga seimbang. Terlebih lagi mereka saat ini penguasa Indonesia lebih disiplin dengan melakukan hedging (lindung nilai) terhadap utang mereka.  

"Namun masalahnya hedging yang mereka lakukan itu hanya pada nilai 12 ribu rupiah hingga 14 ribu rupiah. Bagi pengusaha karena tidak pernah terbayang nilai dolar AS akan lebih dari 14 ribu. Pasalnya, selebih itu, hedging tidak berlaku lagi. "Ini yang dikhawatirkan," ujar Sandi.

Untuk itu, ujar Sandi, para pengusaha menunggu paket kebijakan dimana harus ada restrukturisasi dampak terhadap pelemahan dolar AS ini. Salah satunya, untuk melakukan penjadwalan ulang angsuran pembayaran.

PENGUSAHA TAK PERCAYA PEMERINTAH - Sandiaga Uno mengatakan, nilai rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS dan adanya situasi tak pasti karena dunia usaha masih terus menunggu keputusan pasti The Fed, akan menekan dunia usaha. Jika marjin keuntungan usaha terus tergerus akibat pelemahan rupiah ini, maka lama-kelamaan banyak pengusaha yang harus melakukan efisiensi jika tak ingin gulung tikar.

Salah satunya tentu dengan mengurangi jumlah pengeluaran salah satunya dari pos gaji pegawai alias melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Meski begitu, kata Sandi, pengusaha sebenarnya tak menginginkan adanya PHK bila keadaan ekonomi tidak kunjung membaik.

"Karena itu merupakan opsi yang sangat mahal bagi pengusaha. Karena untuk melatih pegawai yang baru mereka rata-rata harus melatih lagi mereka selama 12-18 kerja," ujarnya.

Karena itu, bagi pengusaha, PHK merupakan opsi yang terakhir. Sayangnya situasi ekonomi membuat pengusaha mengalami dilema. Misalnya, realisasi perumbuhan ekonomi di atas 5 persen yang dijanjikan oleh pemerintah di kwartal ketiga dan keempat tidak terbukti hingga hari ini.

"Saya jamin pertumbuhan tidak akan 5 persen. Sudah saya lihat dari angka-angkanya antara 4,7-4,8 persen. Perbaikan yang ditunggu tidak akan datang," tegasnya.

Saat ini psikologi pengusaha di Indonesia tengah mengalami siklus downward spiral. "Mental mereka sedang drop dan labil. Karena itu enggan untuk melakukan sesuatu karena tingkat kepercayaan mereka dalam hal ekonomi terhadap pemerintah rendah," tegas Sandi.

Saat ini, pengusaha yang seharusnya melakukan belanja modal dan investasi, tidak mereka lakukan. Pengusaha khawatir karena melihat indikator-indikator ekonomi yang angkanya turun. "Dalam situasi seperti ini semakin turun angka ekonomi maka kinerja para pengusaha juga akan semakin turun," ujar Sandi.

Oleh karena itu Sandi berharap pemerintah akan mampu mengembalikan nilai rupiah kembali kepada nilai fundamentalnya yang berada pada angka 13.500 rupiah per dolar AS. Hal ini penting untuk membangun kembali kepercayaan kepada ekonomi nasional dan kebijakan pemerintah.

"Nilai 14 ribu rupiah itu karena ada kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah dan beberapa kebijakannya," tandas Sandi.

Senada dengan Sandi, anggota Komisi XI DPR RI Ekky Awal Muharram mengungkapkan, tingkat kepercayaan terhadap pemerintah merupakan kunci dari melemahnya nilai rupiah saat ini. Menurut Ekky, sejak masa kampanye sudah dipersepsikan bahwa nanti bila Jokowi terpilih menjadi presiden, maka nilai dolar AS akan berada dibawah 10 ribu rupiah.

Namun apa yang terjadi, dari sejak dilantik menjadi presiden hingga hari ini, nilai rupiah bukannya menguat justru semakin jauh melemah dibandingkan sebelumnya. "Kenyataannya tidak ada trend penguatan sedikit pun yang ada adalah tren pelemahan rupiah," ujar Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini.

Ekky mencontohkan saat Presiden BJ Habibie yang mampu menurunkan nilai kurs rupiah terhadap dolar AS dalam tempo pendek dari 17 ribu rupiah menjadi rata-rata 7 ribu sampai 8 ribu rupiah hanya dalam tempo satu tahun. Menurut Ekky, faktor-faktor fundamental ekonomi tidak bisa berubah hanya dalam waktu hitungan bulan dan mampu menjadi faktor penentu dalam penurunan nilai kurs tersebut.

"Apakah bisa tiba-tiba current account jadi positif, cadangan devisa bertambah? Ada faktor di luar fundamental ekonomi, itulah masalah persepsi. Salah satu variabel yang membuat mata uang menjadi kuat atau tidak adalah persepsi dan itu terbangun dari trust," ujar Ekky

PEMERINTAH HARUS YAKINKAN PUBLIK - Di era Habibie, kata Ekky, saat itu para pelaku ekonomi dan stakeholder ekonomi, yakin dan percaya kepada presiden, sehingga dalam waktu sangat cepat, dan kemudian disertai dengan kebijakan-kebijakan ekonomi di dalamnya mampu untuk menguatkan rupiah.

"Sedangkan sekarang trust itu belum terbangun termasuk ke dalam kebijakan-kebijakannya, meski sudah dalam jangka waktu yang lama," kata Ekky.

Keberhasilan Presiden Habibie secara sederhana bisa diartikan merupakan pengaruh dari kepercayaan terhadap pemerintah. Untuk itu, menurut Ekky,  pemerintah harus bisa menumbuhkan kepercayaan termasuk kebijakan-kebijaknya yang berdampak terhadap penguatan rupiah.

Menurut Ekky, dalam situasi pelemahan ekonomi seperti ini pemerintah harusnya berfungsi sebagai pompa, bila perekonomian sudah overheat harus bisa mengerem, ketika sedang mengalami perlambatan, Pemerintah seharusnya mendorong.

Tetapi sayang sekali, meskipun secara politik sudah didukung oleh di komisi-komisi dan Badan Anggaran DPR untuk memperbanyak belanja modal dan transfer daerah. "Justru pemerintah yang serapannya sangat rendah sekali," kata Ekky.

Untuk itu DPR memahami kondisi ini dalam keadaan perlu sebuah sikap politik antara DPR dan pemerintah yang bisa ditangkap oleh stakeholder bahwa ada keseriusan untuk keluar dari krisis. "Itu harus tercermin dalam APBN 2016, dalam UU dan derivasi (turunan) UU dalam konteks kebijakan fiskal maupun kebijakan-kebijakan hilir dan perindustrian baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah," pungkas Ekky.

Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Leonard Tampubolon mengakui bila persepsi dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah. Leonard mengakui bila nilai equlibium rupiah itu antara 13 ribu sampai 13.500 rupiah per dolar AS. "Tetapi karena ada persepsi dia terdepresiasi menjadi 14.400 rupiah. Kalau kita mendorong persepsi lebih baik mungkin bisa lebih baik," ujarnya.

Untuk itu, menurutnya pemerintah harus membangun perspektif optimis. Karena begitu kita pesimis, maka persepsi pasar dan masyarakat itu langsung anjlok. "Misalnya begitu kita bilang dolar AS akan 16 ribu, maka orang akan menahan membeli dolar AS dan akan menjualnya begitu benar-benar sampai 16 ribu. Akibatnya depresiasi akan terjadi lebih parah," ujarnya.

Menurut Leonard persoalan keputusan The Fed memang mempengaruhi tidak saja perekonomian nasional tetapi juga global karena selama ini lantaran situasi tidak jelas, orang menahan uang dolar-nya sampai tahu tingkat bunganya jadi naik atau tidak.

Leonard sendiri mengungkapkan bila cadangan devisa Indonesia saat ini mencapai US$108 miliar yang kalau dikonversikan ke kebutuhan impor, masih bisa bertahan sampai 6-8 bulan impor, sehingga kondisinya masih aman. Leonard masih optimis bila di sisa waktu yang ada tahun ini perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh.

Hal itu bisa dilihat dari angka-angka indikator ekonomi yang mulai meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Meskipun itu belum mampu menolong perbaikan bagi nilai tukar rupiah.

"Di dalam perkembangan terakhir banyak faktor yang menunjukkan ada kecenderungan perbaikan yang sedikit positif di bulan Juli dan Agustus dari sisi sektor riil. Tapi dari sisi nilai tukar masih terus terdepresiasi," ujarnya.

ADA YANG SALAH - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eni Sri Hartati mengakui, tidak ada satu negara pun yang mampu melawan kondisi pelemahan ekonomi global yang menyebabkan depresiasi nilai uang, sehebat apapun pemerintahan dan presiden kita saat ini. Tetapi kalau rupiah terlalu melemah sehingga under value seperti saat ini, menurut dia, pasti ada yang salah.

"Secara fundamental memang nilai tukar demand lebih besar dari supply. Ini  karena neraca pembayaran kita defisit. Dipicu lagi Indonesia mempunyai porsi utang luar negeri yang terus meningkat termasuk utang pemerintah, utang swasta, maupun Surat Utang Negara (SUN) yang dalam denominasi valuta asing. Ini semakin menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar cukup tinggi," ujarnya

Hal ini diperparah lagi ada peluang para trader untuk melakukan spekulasi, yang salah satunya diberikan oleh pemerintah sendiri. Eni menjelaskan, dalam Nota Keuangan Negara, sudah diumumkan akan ada defisit itu dari penerimaan lebih dari 10 persen.

"Itu artinya risiko fiskal meningkat. Setelah itu juga tidak ada perbaikan dalam tata kelolanya. Ada defisit APBN, tetapi defisit primernya juga meningkat. Ini yang dibaca oleh para trader seberapa space mereka dalam melakukan spekulasi itu, dan berapa keuntungannya," ungkap Eni

Kredibilitas pemerintahan juga turut memperlemah nilai tukar rupiah. Menurut Eni tidak hanya dalam statement tapi dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak ada yang merespons kegelisahan masyarakat, baik konsumen maupun produsen dan ini jadi titik krusial. "Faktor kepercayaan ini yang semakin membuat pelemahan rupiah terlalu under value," tegas Eni

Ini semakin diperparah dengan komunikasi publik yang buruk. Pemerintah kurang berhati-hati dalam mengeluarkan statement yang berkaitan dengan ekonomi. "BI menyatakan stress test rupiah berada di 15 ribu. Tidak semua orang mengerti apa arti dari pernyataan itu. Itu dibaca oleh publik rupiah bisa sampai 15 ribu," ujar Eni

Eni menilai sekarang krisis nilai tukar tidak hanya ada pada sektor keuangan dan perbankan saja tetapi langsung menyentuh sektor perdagangan karena harga komiditi yang anjlok di pasar internasional, artinya sektor riil sudah terimbas.

Hal ini diperburuk dengan melemahnya daya beli masyarakat karena inflasi harga pangan yang sudah mencapai level 9,2 persen per bulan Agustus lalu. Oleh karena itu bagi masyarakat kecil maka mereka akan menahan belanja mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka terlebih dahulu ketimbang hal yang lain. Melemahnya daya beli ini langsung memukul para pengusaha.

Untuk itu, Eni mempertanyakan apa kebijakan yang konkret dari pemerintah ketika pengusaha menghadapi ancaman PHK dan masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhannya lagi. Paket kebijakan ekonomi yang baru saja dikeluarkan pemerintah dinilai justru tidak menjawab masalah konkret tersebut.

"Paket kebijakan pemerintah lebih banyak merupakan sebagai lebih banyak identifikasi masalah, masih general dan normatif tidak jelas kapan implementasinya dan bagaimana itu bisa menggaransi akan efektif dan sebagai solusi dari persoalan yang ada. ini masih menjadi pertanyaan besar," tandas Eni. (Gresnews.com/Lukman Al Haris)

BACA JUGA: