JAKARTA, GRESNEWS.COM - Melemahnya rupiah hingga level Rp13.000 terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diduga bukan hanya karena faktor eksternal melainkan juga dipengaruhi faktor internal. Salah satu faktor internal yang mempengaruhi melemahnya rupiah adalah berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akibat kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri.

Pengamat ekonomi Tony Prasetiantono menilai ketika kisruh KPK dengan Polri, muncul keraguan yang sangat tinggi bagi para investor kepada pemerintahan Jokowi. Pemerintahan Jokowi terkesan ragu-ragu dalam memberantas korupsi. Lantas belum ada kepastian hukum yang dapat menyelesaikan kisruh KPK dan Polri.

Menurutnya, keraguan tersebut secara garis besar akibat gaya kepemimpinan Jokowi yang sangat berbeda dengan para pemimpin dunia lain yang tidak serius dalam memberantas korupsi. Dia menambahkan, jika pemerintah ingin kembali menguatkan rupiah maka pemerintah harus berpihak kepada KPK.

"Menurut saya rupiah bisa kuat jika pemerintah kembali mengembalikan kepercayaan rakyat. Keberpihakan kepada KPK saya pikir akan cukup membantu," kata Tony, di Jakarta, Sabtu (28/3).

Kemudian, secara eksternal, Tony menilai kondisi ekonomi Amerika Serikat berangsur pulih. Hal itu tercermin dari terserapnya 200 ribu sampai 300 ribu tenaga kerja. Kemudian, inflasi Amerika Serikat saat ini cenderung terkendali dengan angka sebesar di bawah 2 persen, angka deflasi mencapai 0,1 persen. "Jadi ada beberapa hal yang bekerja secara simultan, ekonomi Amerika menunjukkan tanda-tanda membaik," kata Tony.

Sementara itu, Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Djony Darmawan mengatakan melemahnya rupiah karena Indonesia sangat bergantung dengan ekspor di sektor pertambangan barang mentah, sehingga tidak memikirkan substitusi, yaitu mengubah barang tambang mentah untuk diolah di dalam negeri menjadi barang jadi, lalu di ekspor ke luar negeri. Akibatnya angka ekspor di sektor manufaktur cenderung mengecil sekitar 25 persen.

Kemudian, untuk ekspor komoditas seperti CPO dan minyak pun cenderung menurun hingga 35 persen. Hal tersebut selalu terjadi selama 10 tahun terakhir sehingga menyebabkan neraca perdagangan Indonesia cenderung defisit. Padahal, jika melihat konteks geografis, Indonesia sangatlah kaya, baik kekayaan secara fundamental ekonomi maupun populasi.

Namun saking kayanya Indonesia tidak ada yang memikirkan dan tidak ada yang memanfaatkan potensi Indonesia. "Sehingga terjadi rentetan dampak ekonomi yang berkepanjangan selama 10 terakhir," kata Djony.

Oleh karena itu, Djony, yang juga staf ahli Menteri Perdagangan, itu menuturkan, untuk keluar dari pelemahan rupiah, dalam waktu jangka pendek pemerintah harus menggerakkan sektor ekonomi domestik. Kemudian menyelesaikan kegaduhan politik yang menghambat laju investasi yang masuk ke Indonesia. "Lalu, berbenah mengubah sektor manufaktur dengan mengolah barang tambah mentah menjadi barang jadi di dalam negeri," ujarnya.

Dengan demikian target jangka panjang pemerintah meningkatkan sektor ekspor manufaktur sebesar 55 persen, kemudian sektor komoditas 35 persen dan sektor pendukung 15 persen dapat terealisasi. "Yang paling penting menyelesaikan kegaduhan politik. Bagaimana menstimulus ekonomi domestik kalau kisruh politik belum selesai," kata Djony.

BACA JUGA: