JAKARTA, GRESNEWS.COM - Enam paket kebijakan strategi penguatan rupiah tak akan berdampak signifikan terhadap penguatan nilai rupiah yang ambruk belakangan ini, bila tak diikuti penghapusan perjanjian perdagangan bebas yang meningkatkan nilai impor akibat proteksi pasar dalam negeri dihapus. Di sisi lain pemerintah kesulitan meningkatkan nilai ekspor karena terganjal proteksi yang dilakukan oleh negara-negara tujuan ekspor.

"Kebijakan pemerintah itu hanya bersifat temporer dan tidak cukup," kata Manajer Riset dan Monitoring Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti kepada Gresnews.com, Sabtu (21/3).

Penerapan perjanjian perdagangan bebas dianggap telah merugikan Indonesia dan menjadi satu faktor penghambat perbaikan nilai tukar rupiah. Selama ini penerapan perjanjian perdagangan bebas sangat tidak adil untuk Indonesia. Indonesia membuka pasar tanpa proteksi, tetapi di sisi lain negara-negara tujuan ekspor menerapkan proteksi begitu tinggi, sehingga aktivitas ekspor terhambat.

"Jika mereka tidak membuka pasar maka untuk apa ada perjanjian perdagangan bebas," katanya.

Proteksi pasar yang paling sering digunakan negara tersebut terkait perlindungan kesehatan manusia yang banyak diatur dalam ketentuan tentang Sanitary and Phitosanitary (SPS). Negara-negara mitra Free Trade Agreement (FTA) Indonesia, seperti Australia, Korea Selatan dan India sering mendapat komplain terkait penerapan proteksinya di World Trade Organization (WTO).

Berdasar data WTO, dari total 42 komplain yang masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO akibat penerapan proteksi terkait dengan SPS. Paling banyak ditujukan kepada Amerika Serikat sebanyak delapan kasus, Uni Eropa sebanyak sembilan kasus, Australia sebanyak enam kasus, Korea Selatan lima kasus, dan India tiga kasus.

"Penerapan Bea Masuk Anti Dumping Sementara, tidak akan mampu membendung agresifitas pembukaan akses pasar," katanya.

Apalagi ketika ASEAN RECP berlaku maka kembali membuka 10 ribu pos tarif. Berdasar catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag) terdapat beberapa perjanjian perdagangan bebas yang masih dalam proses negosiasi. Diantaranya Indonesia-EU FTA, ASEAN+6 dalam Regional Comprehensive Economic Partnership, dan Indonesia-Korea FTA.

Dalam upaya menyelamatkan rupiah, Pemerintah Indonesia harus segera membatalkan perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatangani. "Pemerintah juga harus menghentikan proses perundingan perjanjian perdagangan bebas yang masih berjalan tersebut," katanya.

Sebelumnya pemerintah mengeluarkan enam paket penguatan rupiah. Yakni, pertama memberi insentif pajak kepada perusahaan yang melakukan ekspor dan yang melakukan reinvestasi di dalam negeri keuntungan yang didapatnya. Kedua, melindungi produk dalam negeri melalui bea masuk anti dumping sementara dan bea masuk tindakan pengamanan sementara.

Ketiga, penerapan bebas visa pada 45 negara. Keempat, penggunaan biofuel 15persen dari konsumsi solar. Kelima, kewajiban bagi pengusaha menyerahkan L/C ekspornya. Dan keenam, penggabungan dua perusahaan reasuransi.

Selain itu, Bank Indonesia juga mengeluarkan paket penanganan fiskal dan moneter. Dimana akan mencakup,  strategi pendalaman pasar keuangan. Misalnya, melalui diversifikasi instrumen, perluasan produk, hingga menggaet lebih banyak pelaku pasar keuangan.

Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin menyatakan, dalam kondisi adanya potensi guncangan dari eksternal, kekompakan pemerintah di sisi fiskal dan bank sentral di sisi moneter memang sangat dibutuhkan. "Sejauh ini, respons pemerintah dan BI sudah cukup bagus," ujarnya.

Berbagai paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah maupun BI merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek dan menengah. Apalagi paket kebijakan ekonomi pemerintah sebenarnya merupakan strategi reformasi struktural yang menjadi solusi menyeluruh untuk memperbaiki fundamental perekonomian Indonesia.

Sementara, untuk mengatasi tekanan terhadap Rupiah dalam jangka pendek, pemerintah akan lebih tegas mendorong penggunaan rupiah untuk transaksi di dalam negeri. Kewajiban tersebut juga telah diatur dalam undang-undang sehingga tinggal memperketat pengawasan. "Fakta menunjukkan, lebih dari 50 persen transaksi valas dilakukan untuk transaksi yang tidak terkait dengan ekspor impor," katanya.

BACA JUGA: