JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah dan DPR untuk membentuk status baru Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) masuk ke dalam draft Revisi Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 masih belum menemukan titik temu. SKK Migas mengharapkan agar status baru tersebut tidak dibawah Kementerian terkait.

Kepala Humas SKK Migas Elan Biantoro menjelaskan alasan SKK Migas tidak dibawah kementerian  karena pengawasan lembaga ini tidak cukup hanya dilakukan oleh kementerian. Menurutnya harus ada pengawasan baik dari tingkat kementerian ataupun DPR. Sebab sektor energi sifatnya strategis dan memiliki nilai ekonomis yang sangat besar bagi negara.

Menurutnya saat ini status lembaga SKK Migas sifatnya masih sementara karena belum ada payung hukum berupa undang-undang yang mengatur, SKK Migas saat ini masih dipayungi oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013. "Kalau dibawah kementerian apa itu cukup? Harus ada counter part antara pemerintah dan wakil rakyat untuk mengawasi. Kalau dibawah kementerian, hanya diawasi Kementerian saja. Tidak bisa langsung mengawasi," kata Elan, Jakarta, Rabu (11/3).

Maka dari itu, Elan mengaku menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan DPR. Beberapa opsi sejatinya sempat muncul terkait masalah status SKK migas ini. Awalnya, pemerintah punya tujuh pilihan. Akan tetapi, setelah dikaji mendalam, mengerucut menjadi dua pilihan.

Opsi pertama, SKK Migas digabung dengan PT Pertamina. Kedua adalah SKK Migas menjadi BUMN khusus dan Pertamina tetap menjadi operator.

Selain itu, lanjutnya, dalam mengambil dua opsi tersebut, ada lima kriteria yang dipertimbangkan oleh pemerintah. Dia menjelaskan, yang pertama, setiap keputusan politik dan sosial harus bisa diterima (acceptable).

Sementara untuk kedua, harus bersifat menguntungkan (profitable) secara ekonomi dan bisnis. Ketiga, harus legal secara hukum dan keempat, harus bisa dilaksanakan secara birokrasi (workable). Kelima, secara internasional, harus bisa dipahami (adjustable).

Sebenarnya ada satu opsi lagi yakni SKK Migas digabung dengan Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH) Migas. Namun opsi itu sulit terlaksana mengingat tupoksi yang berbeda antara kedua lembaga ini.

Kendati demikian, Elan mengaku tidak mempermasalahkan status dari SKK Migas, namun hal yang terpenting SKK Migas harus diisi oleh sumber daya manusia yang kredibel, profesional dan independen. Kemudian bentuk pengawasan oleh negara harus ketat agar tidak terjadi penyelewengan.

"Kami serahkan ke pemerintah dan DPR. Bagaimanapun bentuknya harus ada yang mengontrol dengan ketat," kata Elan.

Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika mengaku masih belum menemukan konsep terkait status baru dari SKK Migas. Sebab selama ini baik pemerintah maupun DPR memiliki studi banding di berbagai negara baik SKK Migas akan digabung dengan Pertamina maupun dibentuk BUMN Khusus.

Dia mencontohkan seperti Norwegia, dimana lembaga seperti SKK Migas digabung dengan Pertamina. Kemudian Brazil dimana lembaga seperti SKK Migas, dibentuk BUMN khusus dan sekarang BUMN khusus milik Brazil menjadi acuan dunia. Menurutnya setelah Brazil membentuk BUMN khusus, produksi minyak Brazil melonjak dengan pesat.

Menurutnya jika SKK Migas kembali digabung dengan Pertamina, harus diperhitungkan tingkat kemampuan perusahaan. Dia mencontohkan pada saat kewenangan SKK Migas digabung dengan Pertamina pada tahun 2000, produksi migas hanya 30 ribu barel per hari. Namun ketika dipisah, Pertamina mampu meningkatkan produksi migasnya karena Pertamina fokus untuk memproduksi migas.

"Kalau dulu SKK Migas digabung dengan Pertamina, gaji karyawan kecil. Ketika dipisah, gaji karyawan jadi lebih besar," kata Kardaya.

Sebagai informasi, SKK Migas sebelumnya bernama Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang bertugas sebagai pembina dan pengawasan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran migas Indonesia. Dengan didirikannya lembaga ini melalui UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta PP No 42/2002 tentang BPMIGAS, masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerja Sama yang sebelumnya dikerjakan oleh PERTAMINA selanjutnya ditangani langsung oleh BPMIGAS sebagai wakil pemerintah.

Badan ini dibubarkan Mahkamah Konstitusi melalui putusannya pada 13 November 2012 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengubah nama BP Migas menjadi SKK Migas.

BACA JUGA: