JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perseteruan antara PT Pertamina (Persero) dan Kementerian Perhubungan terkait pembangunan pelabuhan Cilamaya kian meruncing. Pasalnya Kementerian Perhubungan bersikeras untuk membangun pelabuhan Cilamaya dan Pertamina tetap mempertahankan jalur pipa minyak dan gas di area Cilamaya. DPR pun meminta kepada pemerintah agar memindahkan proyek pembangunan pelabuhan di luar Cilamaya.

Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika mengatakan jika pembangunan pelabuhan Cilamaya terealisasi akan berpengaruh terhadap daerah perminyakan lepas pantai Utara Jawa Barat, dimana terdapat daerah sebelah barat akan berpengaruh yaitu Banten, Jakarta, Indramayu dan Karawang. Sebab daerah perminyakan lepas pantai Utara terkenal dengan aktivitas yang sangat sibuk.

Kemudian, untuk bagian Barat ke Jakarta dari Cilamaya daerah pertambangan tersebut dikerjakan oleh operator perusahaan China yaitu China National Offshore Oil Corporation (CNOOC). Kemudian sebelah timur dari Cilamaya, dikelola oleh PT Pertamina Hulu Energi Offshore Nort West Java (PHE ONWJ).

Dia mengungkapkan saat ini sektor migas di kawasan Cilamaya memproduksi minyak sebesar 40 ribu barel per hari, sedangkan untuk gas memproduksi sebesar 200 juta kaki kubik per hari. "Kalau pertanyaannya 40 ribu barel per hari, besar atau kecil? Dewasa ini cari 5000 barel per hari saja susah," kata Kardaya, Jakarta, Selasa (10/3).

Kardaya mengatakan wilayah Cilamaya juga memproduksi gas sebesar 200 juta kaki kubik per hari dan dimanfaatkan oleh pabrik pupuk dengan kapasitas penggunaan gas sebesar 50 juta kaki kubik. Artinya jika produksi gas Cilamaya sebesar 200 juta kaki kubik maka bisa dimanfaatkan sebanyak 4 pabrik pupuk. "Kemudian, produksi gas Cilamaya juga dialirkan ke Jakarta untuk kebutuhan listrik. Sekitar 60 persen kebutuhan listrik di Jakarta berasal dari Cilamaya," kata Kardaya.

Jika pembangunan pelabuhan Cilamaya terealisasi, Kardaya khawatir, produksi minyak dan gas di Cilamaya yang juga dialirkan ke kilang minyak di Balongan akan terhenti. Lalu, untuk kebutuhan industri yang menggunakan gas juga akan terhenti dan dampaknya akan meluas, selain terjadi krisis energi, juga ada ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di perusahaan yang terancam tak bisa berproduksi jika pasokan gas terputus. Dia mencontohkan seperti industri keramik, dimana untuk memproduksi keramik harus menggunakan gas. "Jika tidak menggunakan gas, maka keramik tersebut tidak akan jernih dan tidak laku di pasar," tegasnya.

Krisis pasokan gas itu juga dikhawatirkan akan mengancam Jakarta. "Kalau pelabuhan Cilamaya dibangun, maka sekitar 60 persen wilayah Jakarta seperti Jakarta Timur, Jakarta Selatan bahkan Jakarta Utara akan padam," kata Kardaya.

Dampak pembangunan pelabuhan Cilamaya juga akan terasa pada penerimaan pendapatan negara di sektor migas yang terancam berkurang.

Sebelumnya, Pengamat energi dari ReforMiner Institute Pri Agung mengatakan pembangunan Pelabuhan Cilamaya akan mengganggu ketahanan energi nasional. Menurutnya, anak usaha PT Pertamina (Persero), Pertamina Hulu Energi ONWJ dan negara berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp130 triliun. Sementara, anak usaha Pertamina lainnya, Pertamina EP bakal kehilangan pendapatan sebesar Rp1,4 triliun. Padahal, anak usaha tersebut bergerak di sektor hulu migas yang secara holding menyumbang sekitar 70% pendapatan Badan Usaha Milik Negara tersebut.

Kerugian, kata Pri Agung, juga akan dialami oleh BUMN lainnya, yakni PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang bakal kehilangan pendapatan sebesar Rp5,54 miliar per hari karena pasokan gas ke Pembangkit Muara Karang dan Tanjung Priok terhenti. Selain itu, PT Pupuk Kujang Cikampek juga akan kehilangan pendapatan sekitar Rp6,1 miliar per hari sehingga bisa mengakibatkan kelangkaan pupuk yang bisa menghambat produksi pertanian.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan masyarakat tentunya tidak menolak adanya pembangunan pelabuhan tetapi masyarakat tidak mau pembangunan pelabuhan di Cilamaya. Hal itu dikarenakan pembangunan pelabuhan di Cilamaya akan mengganggu aspek-aspek sosial masyarakat seperti nelayan, pangan dan ada aspek energi migas.

Menurutnya pembangunan pelabuhan tersebut harus dipindah dan jangan dibangun diatas aliran pipa minyak dan gas. Maka dari itu, pemerintah harus mengkaji secara kompherensif dengan tata ruang yang layak dan sesuai dengan peraturan untuk pembangunan pelabuhan Cilamaya. "Kita mau pemerintah berfungsi secara benar dalam mengelola negara. Pembangunan pelabuhan di Cilamaya," kata Marwan.

Sebagai informasi PHE ONWJ memiliki 223 platform, dimana setiap platform terdiri dari 4 sampai 6 sumur migas. Panjang pipelines PHE ONWJ jika direntangkan akan sepanjang hampir 2000 kilometer dan tiap hari pipa-pipa tersebut menyalurkan 8000 barel minyak, serta 448 juta kaki kubik gas. Untuk tinggi platform PHE ONWJ maksimal 12 meter, sedangkan tinggi kapal bagian bawah saja sudah mencapai 15 meter. Karena itu dikhawatirkan jika pelabuhan Cilamaya beroperasi, maka pipa-pipa sauran minyak dan gas ini akan terancam mengalami kerusakan akibat benturn dengan lambung kapal.

Sementara, produksi PHE ONWJ sangat vital karena dapat memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan gas DKI Jakarta dan wilayah Jawa bagian Barat. Saat ini produksi migas PHE ONWJ mencapai 42 ribu barel per hari. Selain itu PHE ONWJ juga mengalirkan gas ke Balongan, pupuk Kujang, Krakatau Steel dan pemasok bahan bakar gas untuk Transjakarta.

BACA JUGA: