Jakarta - Kalangan pengembang hunian menengah atas mengeluhkan rencana pemberlakuan kebijakan pelaporan transaksi minimal Rp500 juta kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), diyakini berdampak terhadap industri properti terutama di subsektor apartemen kelas menengah atas.

Pasalnya, meskipun transaksi pembelian properti untuk kalangan menengah atas masih didominasi oleh skema kredit perbankan, tetap saja ada segelintir calon konsumen yang menggunakan pola pembayaran tunai. Kepada segmen konsumen seperti inilah, PPATK menyasar kebijakan yang bertujuan mengantisipasi kejahatan ekonomi berupa pencucian uang.

"Meskipun jumlah konsumen yang memanfaatkan skema KPA (kredit pemilikan apartemen), tetap saja akan ada dampaknya. Apalagi, kami tahu bahwa calon konsumen properti terutama apartemen relatif terbatas," ucap Direktur Marketing PT BroadBiz Asia, Firman Musirwan, kepada gresnews.com, di Tangerang, Sabtu (25/2).

Menurut Firman, sebanyak 80% hingga 85% transaksi pembelian unit apartemen yang dikembangkan oleh BroadBiz Asia masih mengandalkan skema kredit dari perbankan.

Dengan aturan baru itu, pengembang maupun agen properti wajib menyampaikan data transaksi jual beli unit properti. Aturan itu dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pihak pelapor bukanlah si pembeli properti melainkan perusahaan atau agen properti.

Teknis dan tata cara pelaporan sudah diatur dalam Peraturan Kepala PPATK Nomor 12 Tahun 2011.

PPATK menilai, transaksi properti berupa tanah maupun bangunan, atau barang-barang mewah seperti kendaraan, perhiasan dan barang antik, banyak dimanfaatkan sebagai sarana menyamarkan asal-usul harta kekayaan hasil tindak pidana.

BACA JUGA: