Jakarta - Penundaan akad kredit perumahan bersubsidi oleh perbankan menimbulkan gelombang protes dari kalangan pengembang berskala kecil. Pasalnya, akibat terhentinya program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) selama kurun dua bulan terakhir, pengembangan sejumlah besar proyek rumah sejahtera tapak (RST) macet.

Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo menyebutkan, akibat macetnya penyaluran FLPP oleh perbankan, per akhir Januari 2012 saja sedikitnya ada 11 ribu unit rumah yang mangkrak karena tak bisa akad kredit.

"Angka itu baru berdasarkan laporan per Januari dari tiga wilayah saja yakni Banten, Jawa Barat, serta Jawa Timur. Dengan asumsi harga per unit RST di bawah tipe 36 sebesar Rp80 juta, bisa dihitung berapa total proyek yang tak bisa digulirkan. Paling tidak, di tiga lokasi itu pengembang harus menderita kerugian sebesar Rp4,4 miliar dari beban bunga kredit konstruksi untuk pasokan rumah selama Januari 2012 saja," keluh Eddy Ganefo, di Jakarta, Rabu (1/2).

Menurut Eddy, pihaknya sudah bertemu Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz pada 16 Januari lalu untuk mendesak agar penyaluran kredit berbasis FLPP dibuka kembali. "Menpera meminta kami untuk menunggu satu dua pekan lagi karena Kemenpera masih melakukan negosiasi dengan perbankan untuk menurunkan tingkat bunga KPR bersubsidi," ujar Eddy.

Eddy menegaskan, pelaku properti sepakat apabila bunga kredit itu diturunkan karena itu akan membantu meningkatkan daya beli masyarakat. "Yang tidak bisa diterima justru penghentian secara mendadak tanpa adanya solusi dalam proses transisi yang sudah berlangsung dua bulan ini. Ini sama artinya membunuh pengembang secara perlahan-lahan. Jadi, tidak benar anggapan bahwa bisnis perumahan sederhana tidak bermasalah dengan penundaan penyaluran FLPP," kata Eddy.

Ancam demo
Sekjen Apersi, Anton R Santoso menegaskan, pihaknya akan melakukan aksi turun ke jalan apabila Kemenpera tidak segera menuntaskan persoalan penyaluran kredit rumah bersubsidi. Aksi demo itu akan dilakukan jika berbagai upaya lobi yang ditempuh terbukti gagal mengurai persoalan tersebut.

"Saat ini praktis pengusaha properti RST yang tercatat sebagai anggota Apersi tak mampu melaksanakan pembangunan. Tentunya ini akan menimbulkan multiplier effect yang luar biasa, tidak hanya bagi calon konsumen properti, juga dari sisi ketenagakerjaan di Indonesia," kata Anton.

Anton mengatakan, saat ini setidaknya ada empat orang tukang bangunan terpaksa menganggur untuk setiap unit rumah sederhana yang terhenti pembangunannya dari rata-rata 6 ribu hingga 8.000 unit rumah yang dibangun oleh anggota Apersi setiap bulannya. Itu artinya, ada 24 ribu orang tukang bangunan yang kini terpaksa menjadi pengangguran akibat FLPP tak tersalurkan. 

"Jika dalam waktu dekat ini tidak ada perubahan yang signifikan, kami akan turun ke jalan guna mendesak pemerintah mencari solusi yang terbaik," pungkas Anton.

BACA JUGA: