Jakarta - Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestate Indonesia (DPP REI) menilai telah terjadi malapraktik kebijakan di sektor perumahan sehingga ancaman ketaktersediaan rumah (backlog) secara nasional diperkirakan bakal makin parah.

"Kalau dalam istilah dunia medis, kondisi sekarang ini sudah setara dengan malapraktik. Alih-alih mengurangi backlog perumahan nasional yang angkanya dibawah 10 juta beberapa tahun lalu, saat ini malah sudah sekitar 14 juta," ucap Wakil Ketua DPP REI Bidang Rusunami, Muhammad Nawir, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Pernyataan Nawir itu terkait kisruh program penyaluran Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan (FLPP) yang hingga kini tak berujung. Hal itu seiring ketentuan dalam Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP) yang peruntukannya hanya bagi pengembang perumahan yang membangun rumah tipe 36.

Padahal, hingga kini masih banyak pengembang yang menyediakan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di bawah tipe 36. "Kebijakan ini tentu tidak berpihak kepada pengembang. Akibatnya, ribuan rencana akad kredit rumah terpaksa ditunda. Ironisnya, FLPP pun dihentikan," tukas Nawir.

Di sisi lain, gebrakan pemerintah untuk menyediakan rumah susun murah milik (rusunami) beberapa tahun lalu, hingga kini juga makin tak tentu arah. "Peraturan Gubernur DKI Nomor 19 2012 juga sudah menghentikan anggaran untuk proyek rusunami," ujar Nawir.

Sebelumnya, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) secara terbuka menolak ketentuan bahwa penyaluran kredit FLPP hanya diperuntukan bagi pengembang perumahan yang membangun rumah dengan tipe 36 seperti yang tercantum dalam Pasal 22 Ayat (3), UU PKP. "Kami menolak ketentuan itu karena tidak realistis. Peminat rumah di daerah didominasi untuk mencicil rumah di bawah tipe tersebut seperti tipe 30, 21, dan sebagainya," kata Ketua Umum Apersi, Eddy Ganefo.

Di sisi lain, anggota Dewan Penasehat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Lukman Purnomosidi menyatakan, ada tiga pilar utama dalam program pemenuhan kebutuhan hunian di Indonesia. Ketiga pilar itu yakni Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), REI, serta PT Bank Tabungan Negara Tbk. "Dalam penyediaan hunian di Indonesia, harus ada keselarasan di antara ketiga pilar. Jika itu tidak jalan, maka bisa dipastikan akan timbul persoalan seperti yang terjadi belakangan ini," ucap Lukman. 

Menurut Lukman, industri perumahan nasional terbagi dua segmen yakni rumah bersubsidi dan nonsubsidi. "Untuk hunian nonsubsidi akan berlaku mekanisme pasar. Ada sekelompok masyarakat yang membutuhkan dorongan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan rumah sehingga harus ada intervensi kebijakan. Yang terjadi akhir-akhir ini, hal itu tidak berjalan, terbukti FLPP pun terhenti," pungkas Lukman.

BACA JUGA: