JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah telah menyampaikan laporan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2018. Dalam laporan yang dibacakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani itu, pemerintah mematok angka pertumbuhan ekonomi pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2018 sebesar 5,4-6,1 persen.

Atas penetapan target itu, anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan menilai, penetapan angka pertumbuhan sebesar 6,1 persen terlalu ambisius. Selain itu, kat dia, pemerintah terlalu fokus pada mengejar target pertumbuhan dan bukan pemerataan ekonomi. "Bagi rakyat, tidak soal berapapun pertumbuhan ekonomi. Yang terpenting adalah apakah pertumbuhan itu bisa membebaskan rakyat dari jeratan pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi harus berkualitas,” tegas Heri dalam rilisnya, Jumat (19/5).

Target pertumbuhan 6,1 persen, menurut Heri juga patut dipertanyakan, pasalnya selama ini pemerintah kerap menerapkan target tinggi namun kemudian realisasinya jauh dari target. Pada tahun 2015 misalnya, proposal pertumbuhan ekonomi yang diajukan pemerintah di atas angka 5 persen, namun kenyataannya pertumbuhan ekonomi hanya ada di angka 4,7%.

"Tahun 2016 realisasi pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen, dan tahun 2017 diprediksi mencapai 5,2 persen. Sayangnya, pertumbuhan itu kurang berkontribusi besar terhadap persoalan bangsa, yaitu pengangguran cenderung naik, kemiskinan yang makin dalam, dan ketimpangan yang masih menganga," paparnya.

Politisi Gerindra ini menyerukan, Menkeu harus menghadirkan ekonomi yang tidak saja tumbuh tinggi, tapi juga bisa berkontribusi bagi masalah bangsa. Misalnya, seberapa besar dampak pertumbuhan tersebut terhadap pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan. Pemerintah juga harus realistis mematok pertumbuhan ekonomi. Sejak krisis 1998, belum ada capaian ekonomi yang berkualitas dan sesuai dengan tugas konstitusionalnya.

Demikian juga investasi yang harus mendapat perhatian serius. Saat ini, rasio tabungan terhadap PDB yang berada di level 34 persen, adalah salah satu cara untuk menopang kebutuhan investasi. "Tapi, yang diperlukan sekarang adalah bukan sekadar angka-angka di kertas, tapi eksekusi yang konkret. Selanjutnya pemecahan atas masalah investasi harus sungguh-sungguh seperti penyederhanaan izin dan fasilitasi penyelesaian permasalahan yang dihadapi investor," tegas Heri.

Ditambahkannya, pemerintah pusat harus mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Koordinasi dan sinergi yang baik antara pusat dan daerah harus terbangun dengan baik. Masih banyak daerah-daerah yang belum mengadopsi langkah-langkah debirokratisasi di pusat. Selain itu, masalah konektivitas infrastruktur dan mahalnya biaya logistik harus tetap menjadi perhatian paling penting dari pemerintah.

"Sebuah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas harus ditopang oleh postur APBN yang kredibel. Jangan sampai justru pertumbuhan itu ditopang oleh utang. Ingat, kita belum lepas dari ancaman defisit fiskal yang makin kemari, makin tinggi," pungkasnya.

Berbeda dengan Heri, Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan menilai, angka pertumbuhan ekonomi yang diusulkan pemerintah masih cukup moderat. Menurutnya, situasi ekonomi pada tahun 2018, dinilai tak jauh berbeda dengan kondisi pada tahun ini. Situasi ketidakpastian masih menjadi tren di tahun mendatang, sehingga pemerintah pun bisa melakukan adjustment angka pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN-Perubahan, seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Pemerintah sendiri menyampaikan saat ini Indonesia berada di tengah ketidakpastian ekonomi global, tentunya kita pun harus mengerti dan pahami. Ini tidak semata-mata urusan politik dalam negeri. Tetapi juga ada faktor ekonomi global, seperti kondisi ekonomi Amerika, Tiongkok, situasi Korea Selatan dan Korea Utara, termasuk masalah sentral di Eropa. Ini semua sedang wait and see, baik dari kondisi keterbukaan perbankan, kemajuan teknologi informasi, maupun dinamisasi proses keseimbangan baru," kata Taufik.

Taufik tak memungkiri, kondisi politik tanah air pun berpengaruh cukup besar dalam situasi ekonomi. Menurutnya, transformasi kultural jangan sampai mengganggu situasi ekonomi, politik, budaya, bahkan sosial. Karena jika hal itu dibiarkan, dikhawatirkan terjadi potensi mengurangi performance di sektor politik dan ekonomi. Isu-isu anti toleransi, dinilai terlalu membahayakan dan merusak potensi pertumbuhan ekonomi. Situasi ekonomi dan politik seharusnya diciptakan dalam suasana kondusif.

"Kita harapkan semuanya bisa berjalan sesuai dengan keinginan DPR dan pemerintah. Tidak ada program yang tidak kita setujui, manakala itu terkait dengan program yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat ataupun program mengurangi disparitas atau kesenjangan ekonomi antara masyarakat yang mampu dan tidak mampu. Termasuk program pemerataan pembangunan," kata politisi Partai Amanat Nasional itu.

Taufik dalam kesempatan itu juga mengingatkan agar pemerintah lebih memprioritaskan pada program sektor riil yang bersifat padat karya, meningkatkan ekonomi masyarakat, dan mengurangi pengangguran. Ia pun berharap, konsep riil itu khususnya di infrastruktur dijadikan prioritas. Kemudian program lain seperti kesehatan dan pendidikan, maupun program lain yang langsung menyentuh masyarakat, pasti akan mendapat dukungan dan persetujuan DPR.

"Untuk di sektor lain, tinggal kita optimalkan. Kalau peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kemudian meningkatkan pendapatan pajak, itu hal-hal klasik yang sudah otomatis menjadi bagian tugas dari lembaga-lembaga pemerintah maupun Kementerian Keuangan," ujarnya.

KONDISI PEREKONOMIAN MEMBAIK - Seperti diketahui, dalam laporannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah secara bertahap telah menjalankan program pembangunan nasional seperti yang digariskan dalam Nawacita. Ditengah kondisi perekonomian global yang penuh ketidakpastian, kinerja ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir masih terjaga dan tumbuh dalam tingkat yang cukup baik. Tingkat kemiskinan dan pengganguran telah berhasil diturunkan. Namun demikian, beberapa tantangan sosial ekonomi masih perlu diperhatikan.

Sri Mulyani mengatakan, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu sendiri ditetapkan justru untuk menciptakan pemerataan. "Tantangan yang paling utama adalah pengentasan lebih dari 27 juta saudara kita yang saat ini masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan modal sosial, ekonomi dan sumber daya manusianya, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi negara maju, adil dam sejahtera. Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang besar, kelas menengah yang meningkat jumlahnya, dan didukung sistem politik yang demokratis," jelas Sri Mulyani.

Sementara itu, Bank Indonesia menilai, perekonomian Indonesia mengalami perbaikan. Mulai dari pertumbuhan ekonomi kuartal I 2017 yang mencapai 5,01% dan perbaikan pada nilai ekspor impor.

Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara mengatakan, saat ini pertumbuhan ekonomi nasional masih diproyeksikan pada kisaran 5%-5,4% hingga akhir tahun. "Sesuai polanya, kuartal II akan lebih baik, bisa dilihat dari investasi yang sudah membaik, aliran modal ada peningkatan, ekspor impornya sudah membaik kontribusinya ke produk domestik bruto (PDB)," kata Mirza di gedung BI, Jumat (19/5)

Dia mengungkapkan, aktivitas ekonomi nasional memang belum optimal kuartal I, ini sesuai pola tahunan. Kemudian kuartal II ekonomi membaik. "Apalagi di Jakarta sudah selesai pilkada, ini ada pergerakan yang lebih baik," ujarnya.

Perekonomian nasional kuartal I 2017 tumbuh 5,01% ditopang oleh pertumbuhan ekonomi di pulau Jawa yang mencapai 5,66% naik dibandingkan kuartal IV 2016 5,45%. Kemudian pertumbuhan ekonomi Kalimantan yang tercatat 4,92% naik dari kuartal IV tahun lalu 2,22%. Penopang pertumbuhan wilayah ini adalah perbaikan kinerja ekspor dan nvestasi.

BI memprediksikan tingkat inflasi Mei 2017 diperkirakan mencapai 0,27%. Masih sejalan dengan target BI. Indikator yang perlu diwaspadai adalah peningkatan harga pada bawang putih, daging ayam, telur ayam dan kenaikan tarif dasar listrik (TDL).

Sedangkan komoditi seperti bawang merah, cabai merah itu menyumbang deflasi. April lalu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi tercatat 0,09%. Secara tahun kalender inflasi mencapai 1,28% dan tahunan 4,17%. (dtc)

BACA JUGA: