JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kendati diakui ekonomi nasional pengalami pertumbuhan, namun pertumbuhan yang ada dinilai masih dibawah ekspektasi. Hal itu terlihat dari melambatnya industri pengolahan dan perdagangan. Konsumsi rumah tangga juga hanya tumbuh 4,95 persen.

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan berpendapat pemerintah harus bekerja ekstra keras, jika ingin  pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen yang dipatoknya terealisir. "Selain itu

angka konsumsi juga harus dinaikkan di atas 5 persen, investasi harus di atas 6,5 persen, dan kredit perbankan di atas 15 persen,"  katanya melalui rilisnya, Selasa (12/9).

Keputusan pembahasan asumsi makro RAPBN 2018 antara pemerintah dengan Komisi XI DPR, ditetapkan bahwa pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 3,5 persen, nilai tukar Rp13.400, dan suku bunga SPN 5,2. Namun menurut Heri, angka pertumbuhan yang paling realistis dengan kondisi saat ini ada dikisaran 5,3 persen. Hal itu, kata dia,  dengan asumsi pemerintah kurang punya etos kerja yang kuat dan perlu jaminan jika pertumbuhan tersebut tidak tercapai. "Jangan sampai ada lagi pemotongan alokasi anggaran daerah," ujarnya.

Politisi Partai Gerindra ini menilai patokan pemerintah pertumbuhan di 5,4 persen, dinilai sebagai bentuk prudent pemerintah. "Ada beberapa risiko yang hampir permanen yang perlu diwaspadai, antara lain proteksionisme perdagangan, rebalancing ekonomi Tiongkok, dollar AS yang cenderung menguat yang memicu pembalikan arus modal di negara berkembang, harga komoditas yang lemah, risiko geopolitik, serta isu-isu struktuktural seperti penuaan populasi," beber Heri, seperti dikutip dpr.go.id.

Heri sediri menilai, pertumbuhan ekonomi harus memiliki multiplier effect. Namun jika melihat indek gini ratio sebesar 0,38, maka pertumbuhan yang ada masih dinikmati oleh segelitir orang. Sementara inflasi yang dipatok 3,5 persen juga dinilai terlampau optimis.

Sementara itu nilai tukar rupiah yang semula diajukan sebesar Rp13.500 dan akhirnya disepakati Rp13.400 juga dipandang Heru masih terlalu tinggi. Menurutnya angka yang dinilai ideal adalah Rp13.300. Begitu juga SPN yang semula diusulkan 5,3 persen dan ditetapkan 5,2 persen dengan asumsi semakin meningkatnya investment grade pemerintah, dapat berpotensi mengakibatkan ketatnya likuiditas.
 
"Menjadi pertanyaan, saat BI Rate berada di kisaran 4,5 persen, belum berbanding signifikan terhadap pertumbuhan kredit. Jika itu masih terjadi, maka akan berdampak negatif pada sektor riil. Padahal, pemerintah sedang dalam tahap memperdalam sektor keuangan sebagai tulang punggung pembangunan," tambah Heri.

Lebih jauh Wakil Ketua Komisi VI DPR ini menyoroti soal target ketimpangan ekonomi sebesar 0,38, dinilainya masih terbilang besar dalam RAPBN 2018. Angka tersebut masih tetap lampu kuning. Dengan angka tersebut berarti ketimpangan masih tetap lebar, yaitu 1 persen orang menguasai sekitar 38 persen pendapatan nasional. "Dampaknya kemiskinan masih tetap jadi momok," pungkasnya. (rm)

BACA JUGA: