JAKARTA, GRESNEWS.COM - Efektivitas Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengelola perusahaan pelat merah mulai dipertanyakan. Dalam Rencana Strategi Kementerian BUMN 2015-2016 terungkap bahwa lembaga Kementerian di bawah Menteri Rini Soemarno itu justru menilai bentuk yang paling ideal dalam pengelolaan perusahaan BUMN bukanlah berupa Kementerian BUMN melainkan berbentuk superholding.

Mengacu pada sejarah pembentukan Kementerian Negara Pemberdayaan BUMN yang dipimpin Menteri Negara Pemberdayaan BUMN Tanri Abeng, saat itu terbukti berhasil menyelesaikan sejumlah persoalan krusial seperti masalah PT Garuda Indonesia (Persero) yang nyaris bangkrut dan perbankan nasional yang didera krisis. Warisan dari Tanri Abeng adalah master plan reformasi BUMN yang merupakan dokumen autentik dalam pembinaan dan pengelolaan BUMN.

Terhitung sejak Tanri Abeng, Kementerian BUMN mengalami pasang surut yang hampir seluruhnya akibat proses politik. Institusi Kementerian BUMN bahkan sempat dihapuskan kembali dan dikembalikan sebagai Direktorat Jenderal di Departemen Keuangan. Pasang surutnya lembaga pengelola BUMN yang hampir seluruhnya akibat proses politik membuat pengelolaan BUMN tidak optimal. Perusahaan BUMN sebagai korporasi belum ditempatkan sebagaimana layaknya korporasi namun sebagai kepanjangan tangan atau bagian dari birokrasi pemerintah.

Keberadaan Kementerian BUMN selalu diperdebatkan. Apakah masih diperlukan lembaga pengelola BUMN setingkat Kementerian. Ataukah cukup setingkat eselon satu di bawah Kementerian Keuangan. Atau membentuk perusahaan holding induk (super holding company) BUMN yang menjadi payung pengelola perusahaan-perusahaan BUMN, agar dapat menciptakan nilai tambah (value creation process) bagi sebesar-besarnya kepentingan masyarakat.

Perusahaan holding BUMN tersebut berbentuk sebuah super holding yang akan membawahi perusahaan-perusahaan atau perusahaan holding dalam struktur korporasi modern. Perusahaan holding induk dipimpin oleh seorang Chief Executive Officer (CEO) yang melaporkan kinerja perusahaan kepada Presiden. Contoh, pengelolaan perusahaan milik negara semacam ini dapat dilihat dalam pengelolaan perusahaan-perusahaan grup Temasek (Singapura) atau Khazanah (Malaysia).

Konsep National Holding Company telah mulai diperkenalkan oleh Tanri Abeng yang kemudian dijadikan acuan dalam restrukturisasi BUMN. Baik dari sisi permodalan, manajemen dan konsolidasi. Setelah restrukturisasi dan BUMN untung baru dijual dengan harga tinggi. Kemudian, era Menteri BUMN Sofyan Djalil konsep tersebut dilanjutkan. Lalu melihat holding adalah satu-satunya strategi untuk mendongkrak kinerja BUMN dan meningkatkan level persaingan BUMN. Artinya, Kementerian BUMN akan bertransformasi menjadi organisasi pengelola korporasi modern dengan membentuk super holding.

ASET NEGARA MUDAH DIJUAL - Menanggapi hal itu, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Arif Poyuono menilai rencana holding yang diusung Kementerian BUMN justru mempermudah penjualan aset negara.  Sebab salah satu tujuan holding BUMN yaitu mencatatkan obligasi holding BUMN di pasar modal. Jika perusahaan BUMN mengalami default atau gagal bayar obligasi saham, maka perusahaan BUMN akan disita oleh pemegang obligasi saham terbanyak.

Dia justru meminta kepada pemerintahan Jokowi untuk melakukan reshufle kabinet terhadap menteri-menteri yang akan menjerumuskan Jokowi sebagai presiden penjual aset BUMN. Sebab rencana pembentukan holding BUMN dan beberapa proyek infrastruktur seperti kereta api cepat Jakarta-Bandung merupakan kedok yang justru akan merugikan negara hingga triliunan.

"Holding itu malah mempermudah untuk menjual BUMN dengan menerbitkan obligasi di pasar modal," kata Arif kepada gresnews.com, Jakarta, Selasa (10/5).

TRANSFORMASI FUNGSI - Pengamat BUMN Sunarsip mengatakan sebaiknya Kementerian BUMN bertransformasi secara fungsi dan tugasnya. Fungsi dan tugas BUMN seperti layaknya sebuah korporasi, kemudian Menteri BUMN berperan selayaknya CEO Holding Company. Dia mencontohkan seperti Temasek di Singapura dan Petronas di Malaysia. Kedua BUMN di negara tetangga tersebut merupakan perusahaan milik negara tetapi tidak dipimpin oleh seorang Menteri, hanya dipimpin oleh CEO yang langsung berhubungan dengan negara.

Kemudian, struktur perusahaan BUMN juga harus dipisah, dimana pemisahan tersebut antara perusahaan yang masih menerima PSO (Public Service Obligation) dengan perusahaan BUMN korporasi. Menurutnya dengan pemisahan tersebut BUMN yang masih menerima PSO memang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Artinya, perlu dibentuk lembaga khusus yang menaungi perusahaan BUMN yang masih menerima PSO.

Sedangkan untuk perusahaan BUMN Korporasi berada di bawah kendali CEO Holding Company, perusahaan BUMN korporasi ini memang ditugaskan untuk mencari untung. Artinya, perusahaan BUMN Korporasi sudah tidak lagi ada alasan untuk tidak untung. Menurutnya selama ini BUMN menjadikan PSO sebagai alasan ketika perusahaan mengalami kerugian.

"Kalau BUMN nonkorporasi dialihkan ke pemerintah. Pemerintah harus bikin badan khusus," kata Sunarsip kepada gresnews.com.

BACA JUGA: