JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah mengakui hampir 50 persen kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri berasal dari impor. Produksi bahan bakar minyak dalam negeri hanya mampu memasok separuh dari kebutuhan bahan bakar nasional yang mencapai 1,6 juta barel perhari. Hanya saja ditengarai selama ini terdapat aturan  impor yang justru memboroskan anggaran negara. Sehingga pemerintah diminta untuk meninjau kembali aturan tersebut.

Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik dan Pariwisata Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Edwin Hidayat Abdullah mengungkapkan kebutuhan bahan bakar yang hanya dipenuhi 50 persen tersebut disebabkan oleh cadangan minyak bumi dalam negeri yang semakin menurun. Selain itu kapasitas kilang yang ada saat ini hanya mampu menampung sebesar 850 ribu barel per hari. Jauh dari kebutuhan masyarakat Indonesia yang mencapai 1,6 juta barel per hari.

Untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri dan menekan impor BBM, pihak Kementerian ESDM telah meminta PT Pertamina (Persero) mencari cadangan minyak baru, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga mencari cadangan minyak di luar negeri. Menurutnya untuk mencari cadangan minyak baru tersebut, Pertamina berencana mengakuisisi blok migas baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Dituturkan Edwin, Pertamina telah menganggarkan biaya untuk mengakuisisi blok migas sebesar Rp10 triliun dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2016. Rencananya, Pertamina akan mengakuisisi blok migas di wilayah Timur Tengah dan Afrika. Sedangkan di dalam negeri, Edwin belum bersedia mengungkapkannya.

Menurutnya saat ini Pertamina sudah selesaikan melakukan kajian untuk mengakuisisi blok-blok migas tersebut. Selain itu, pemerintah juga menjalankan program mandatori biodiesel 20 persen yaitu dengan mencampur BBM dengan 20 persen dari minyak sawit yang diproduksi di dalam negeri.

"Jadi ketika harga turun, Pertamina harus mencari sumber-sumber migas. Kita mendorong semua program itu," kata Edwin, Jakarta, Jumat (26/2).

Edwin menuturkan selain rencana itu, Pertamina juga berencana meningkatkan kapasitas dari yang sudah ada (existing) dengan membangun kilang minyak baru. Rencananya kilang baru itu akan dibangun di daerah Bontang dan Tuban. Disamping empat kilang yang sudah ada,  yang akan ditingkatkan kapasitas refinerynya. Seperti Kilang Cilacap, Kilang Balongan, Kilang Dumai dan Kilang Balikpapan.

"Itu semua sudah dianggarkan oleh Pertamina di dalam RKAP. Bahkan pembangunan kilang baru sudah dibahas hingga ketingkat atas (high level)," kata Edwin.

CABUT ATURAN IMPOR MINYAK - Menanggapi kondisi itu, Direktur Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean berpendapat untuk mengurangi beban impor minyak dan gas, pemerintah harus segera mencabut Peraturan Menteri Perdagangan No 03/MDAG/I/2015 tentang Ketentuan Ekspor Impor Minyak Bumi, Gas Bumi dan Bahan Bakar Lain.

Peraturan itu menurut Ferdinand, sangatlah aneh dan mengakibatkan pemborosan keuangan negara. Khususnya Pertamina yang menjadi importir utama minyak untuk kebutuhan nasional.

Selain mengakibatkan pemborosan keuangan negara, peraturan tersebut juga berakibat terhadap komponen biaya harga jual BBM yang lebih tinggi. Sementara masyarakat menginginkan harga jual BBM lebih rendah.

"Ini peraturan yang paling aneh," kata Ferdinand kepada gresnews.com.

Menurutnya Permendag tersebut haruslah dicabut karena di dalam peraturan itu terdapat point yang mewajibkan impor minyak harus diinspeksi terlebih dahulu di negara asal impor. Menurutnya cara tersebut sangatlah berlebihan dan prosedural dalam tata kelola migas.

Padahal berdasarkan informasi yang diperolehnya, petugas yang ditunjuk oleh Kementerian Perdagangan untuk menginpeksi sering tidak mendapatkan akses ke loading port di negara asal dan harus meminta bantuan Pertamina untuk memasukkan petugas inspeksinya ke pelabuhan asal. Sementara Pertamina harus mengeluarkan biaya rata-rata sekitar Rp50 miliar pertahun untuk inspeksi tersebut.

"Apa dasar hukumnya dan apa urgensinya Menteri Perdagangan melakukan inspeksi loading port di negara asal ? Apakah Menteri Perdagangan menganggap dokumen impor dari negara asal itu bohong?" Kata Ferdinand.

Ia berpendapat peraturan tersebut harus dicabut atau direvisi sebab jika dipertahankan akan timbul pemborosan keuangan negara. Sementara dalam kondisi saat ini efisiensi sangat dibutuhkan untuk menghemat pengeluaran.

Dia juga meminta Presiden Jokowi membentuk tim khusus untuk mengkaji semua regulasi yang ada. Tim tersebut berkewajiban memilah seluruh peraturan tentang migas. Regulasi yang sulit dan boros bagi keuangan negara harus dicabut atau direvisi pemerintah.

"Presiden harus fokus disini, jangan cuma membuat paket-paket kebijakan yang malah tidak menyelesaikan masalah," kata Ferdinand.

BACA JUGA: