JAKARTA - Harga minyak dunia belum juga merangkak naik seiring memanasnya hubungan Amerika Serikat dan China. Harga minyak dunia anjlok pada perdagangan Kamis (28/5/2020) untuk pengiriman Juli 2020 ke kisaran harga US$32 per barel.

Pengamat energi dan pertambangan Bisman Bachtiar menilai menurunnya harga minyak dunia yang sangat drastis saat ini seharusnya diiringi penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). "Pertamina sepatutnya menurunkan harga BBM," kata Bisman, Jumat (29/5/2020), kepada Gresnews.com.

Menurutnya langkah PT Pertamina (Persero) yang tak juga menurunkan harga BBM sangat tidak bijak, mengingat saat ini masyarakat sedang mengalami pandemi COVID-19 yang menyebabkan kelesuan perekonomian.

Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 4 Mei 2020 menyatakan, harga BBM nasional saat ini masih merupakan salah satu yang termurah di ASEAN sehingga belum perlu diturunkan. Pemerintah akan terus memantau perkembangan minyak dunia yang berfluktuasi. Terutama pada rencana OPEC+ memangkas produksi minyak sebanyak 10 juta barel per hari. "Namun pemerintah tetap memberikan subsidi minyak tanah dan LPG," katanya.

Ombudsman RI pun mempertanyakan hal ini dan berdiskusi dengan Direksi Pertamina secara virtual pada 19 Mei 2020. Anggota Ombudsman RI Laode Ida menyatakan saat itu Pertamina mengungkapkan alasan-alasan tak menurunkan harga BBM.

Laode menyebut Pertamina khawatir mengalami kerugian besar jika menurunkan harga BBM. Karena, harga pokok BBM yang berlaku saat ini telah ditetapkan sebelum turunnya harga minyak dunia. Sementara Pertamina sebagai BUMN tak mungkin melakukan itu. Apalagi kondisi ekonomi sedang tidak stabil dan kerugian BUMN akan berpengaruh kepada perekonomian nasional.

Selanjutnya Pertamina mengantisipasi kenaikan kembali harga minyak dunia. Sebab harga minyak dunia masih terus berfluktuasi selama dipengaruhi banyak faktor, seperti pengurangan produksi minyak oleh OPEC+, perang dagang AS-Tiongkok, sampai konsumsi masyarakat.

Anjloknya harga minyak saat ini lebih dipengaruhi oleh menurunnya konsumsi masyarakat dunia akibat pembatasan sosial yang diterapkan negara-negara dunia. Sementara ketika aktivitas sosial ekonomi berangsur normal maka harga minyak juga akan berangsur naik.

Alasan lain adalah mengantisipasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Pertamina. Laode menyatakan, Direksi Pertamina khawatir kerugian besar akibat menurunkan harga BBM akan menyebabkan gelombang PHK pegawai.

Laode pun mengapresiasi langkah Pertamina yang mementingkan pekerja di tengah pandemi dengan menghindari PHK. Karena sampai saat ini jumlah korban PHK sudah mencapai 2 juta orang di seluruh Indonesia.

Jika Pertamina melakukan PHK juga, akan menambah barisan pengangguran di negeri ini yang berdampak buruk bagi perekonomian nasional. Dalam kesempatan ini pula, menurut Laode, Direksi Pertamina menyatakan akan meniadakan BBM jenis premium di Pulau Jawa pada tahun ini.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menanggapi alasan Pertamina tak menaikkan BBM. "Alasan yang disampaikan Direksi Pertamina ke Ombudsman tentang penyebab harga BBM tidak turun adalah jauh dari kebenarannya, bahkan terkesan menyesatkan.," katanya kepada Gresnews.com, Jumat (29/5/2020).

Menurutnya kalau harga BBM diturunkan maka Pertamina akan terancam kolaps, itu bisa terjadi lebih disebabkan karena proses bisnisnya dari hulu ke hilir telah dikelola selama ini secara tidak efisien, bukan karena harga minyak murah.

"Karena kita sebagai negara net importir harusnya dengan harga minyak dunia murah merupakan berkah bagi rakyat Indonesia yang lagi kesulitan daya belinya akibat COVID-19, bukan malah jadi perdebatan kenapa harga BBM tidak turun turun," ungkapnya.

Sebagai contoh ineffisiensi ini adalah investasi Pertamina dihulu, seperti membeli Participacing interest (PI) beberapa blok migas di luar negeri penuh dengan dugaan mark up. Bahkan ada blok yang telah dibeli, namun belum setetes pun minyak buminya bisa dinikmati Pertamina sampai saat ini.

Padahal sejak 2016 hingga saat ini Pertamina telah mengeluarkan uang sekitar Euro 1 miliar untuk akuisisi dan capex serta opex. Begitu juga dengan soal pembelian PI dari Conoco Philips blok migas di Aljazair yang dugaan mark up cukup kental.

Selain itu, ternyata rerata biaya pokok produksi semua sumur minyak Pertamina berkisar sekitar US$26 per barel, sehingga ketika harga minyak dunia sdh berada dibawah US$30 per barel, tentu akan mengancam kondisi keuangan Pertamina secara keseluruhan.

"Sehingga kalau harga minyak murah itu berlangsung lama, maka Pertamina akan berpontensi kolaps adalah sebuah keniscayaan," kata Yusri.

Hal tersebut diperparah oleh kinerja kilang Pertamina yang sudah tua dan efisien, sehingga biaya pokok produksi BBM nya menjadi mahal. Kemudian, ternyata sampai proses pembelian minyak mentah, BBM dan LPG oleh ISC Pertamina belum transparan juga, sehingga masih membuka lobang adanya praktek kongkalikong.

Sehingga semakin sempurnalah harga dasar produk BBM Pertamina menjadi mahal telah disumbang oleh berbagai proses dari hulu sampai ke hilir yang tak efisien.

Kalau kemudian alasannya jika Pertamina menurunkan harga BBM akan bisa banyak PHK, sebaiknya dewan direksi dan dewan komisarisnya lempar handuk saja.

"Karena dia yang ternyata tidak mampu mengelola Pertamina dengan efisien, kenapa 250 juta rakyat Indonesia yang harus menanggung beban akibat ketidakefisienan itu?" ujarnya. (G-2)

BACA JUGA: