JAKARTA,GRESNEWS.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mengupayakan agar ada alokasi dana sebagai Dana Ketahanan Energi (DKE). Kementerian ESDM berharap pungutan DKE dapat terlaksana tahun ini dengan masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016.

Lantaran menimbulkan polemik di masyarakat, pada awal Januari lalu pungutan DKE resmi ditunda setelah Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet terbatas (ratas), Senin (4/1). Sedianya, pungutan DKE sebesar Rp 200 per liter premium dan Rp 300 per liter solar diterapkan mulai 5 Januari 2016 dan dibebankan pada konsumen.

Menteri ESDM Sudirman Said merasa optimis program pungutan DKE ini dapat berjalan tahun ini walaupun sebagian besar kementerian dan lembaga diminta Presiden Joko Widodo untuk melakukan evaluasi dan penghematan anggaran. "Saya realistis untuk tidak banyak-banyak meminta, yang terpenting lembaga disetujui, lembaga dibentuk dan uang berapapun mau Rp 1 triliun ataupun Rp 2 triliun kah," kata Sudirman dalam konfrensi persnya, di Gedung Ditjen Ketenagalistrikan, ESDM, Jakarta,Jumat (19/2).

Sudirman menegaskan saat ini masih terdapat cadangan-cadangan uang yang disisihkan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Sehingga cukup untuk dialokasikan untuk membentuk lembaga pemungut DKE.

Pungutan DKE sebenarnya merupakan amanat Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Undang-Undang tersebut mengharuskan negara memiliki keseimbangan dalam pengelolaan energi fosil menuju energi terbarukan. Salah satu caranya harus diwujudkan dengan kebijakan pengalokasian sumber daya.

Dana tersebut akan dialokasikan untuk pengembangan energi terbarukan. Kementerian ESDM sendiri yang mengelola dan bertanggungjawab atas dana itu. Diperkirakan dalam setahun ada Rp 16 triliun uang yang terkumpul dari pungutan tersebut.

Namun karena besarnya penolakan dari berbagai kalangan, termasuk dari Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah akhirnya membatalkan rencana pungutan DKE yang dibebankan kepada masyarakat. Sebagai gantinya DKE untuk pengembangan energi baru terbarukan akan dipungut dari badan usaha yang menjual BBM.

"Soal DKE, yang jelas pungutan kepada masyarakat itu tidak akan dilakukan karena reaksi publik negatif, padahal seluruh kebijakan publik harus memperhatikan pandangan masyarakat juga," kata Sudirman.

DKE akan segera dipungut pada saat kondisi ekonomi sudah memungkinkan. Bila situasi ekonomi masih buruk, DKE tidak akan dipungut agar tidak memberatkan. "Satu ketika harus ada pajak. Kapan itu (BBM) dipajaki tergantung nanti tergantung situasi ekonomi. Jadi harusnya begitu." tutupnya.


DASAR PUNGUTAN DKE -
Sejak akhir tahun lalu rencana pemerintah memungut dana ketahanan energi (DKE) memicu polemik di masyarakat. Masalah ini juga mendorong Dewan Energi Nasional (DEN) angkat bicara tentang masalah dana ketahanan energi itu.

Salah satu anggota DEN Andang D. Bachtiar mengatakan bila dana ketahanan energi yang dimaksud Menteri ESDM Sudirman adalah dana untuk menjamin ketersediaan energi (termasuk energi terbarukan). Sehingga pengambilan dana ini dari energi fosil yang dipakai sebagai ´premium pengurasan´ (depletion premium) sudah disebutkan juga dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang merupakan uraian dari Undang-Undang nomor 30/2007 tentang Energi.

Ia menjelaskan ayat 3 Pasal 27 di PP Kebijakan Energi Nasional menyebutkan pemerintah dan atau pemerintah daerah mendorong penguatan pendanaan untuk menjamin ketersediaan Energi, pemerataan infrastruktur Energi, pemerataan akses masyarakat terhadap Energi, pengembangan Industri Energi nasional, dan pencapaian sasaran Penyediaan Energi serta Pemanfaatan Energi.

Pada ayat 5 huruf b menyebutkan penguatan pendanaan yang dimaksud pada ayat 3 tersebut dilaksanakan paling sedikit dengan menerapkan premi pengurasan energi fosil untuk pengembangan energi. Sedangkan di ayat 6 menyebutkan, premi pengurasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b digunakan untuk kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi dan pengembangan sumber energi baru dan energi terbarukan, peningkatan kemampuan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, serta pembangunan infrastruktur pendukung.

"Mudah-mudahan uraian di atas ikut membantu memperjelas dasar-dasar hukum, peraturan, tentang dana ketahanan energi dan pemanfaatannya," kata Andang yang juga Ketua Komite Eksplorasi Nasional dalam keterangan tertulis, Sabtu (26/12/2015).

Sebelumnya politisi dan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah tidak bisa seenaknya menggunakan Pasal 30 UU Energi untuk memungut dana masyarakat dari penjualan BBM. Menurutnya, untuk kepentingan penelitian energi baru dan terbarukan, pasal tersebut menyebutkan dananya berasal dari APBN, APBD dan dana swasta, yang terlebih dahulu harus dianggarkan.

"Penganggaran tersebut dengan sendirinya harus dengan persetujuan DPR dan DPRD," kata Yusril.

Dia menegaskan, tidak ada norma apapun dalam Pasal 30 UU Energi yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pungutan langsung kepada masyarakat konsumen BBM. Tiap pungutan harus masuk dalam kategori PNBP yang lebih dulu harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30 UU Energi memang menegaskan bahwa ketentuan kebih lanjut tentang biaya riset untuk menemukan energi baru dan terbarukan harus diatur dengan PP. Namun, hingga kini PP tersebut masih belum ada. 

BACA JUGA: