JAKARTA, GRESNEWS.COM - Buruh migran secara umum dipahami sebagai orang yang akan, tengah atau telah melakukan pekerjaan di luar tempat asal dan dibayar oleh suatu negara di mana ia bukan merupakan bagian dari warga negara tersebut.

Buruh migran merupakan salah satu profesi yang mendapat pengakuan internasional melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Aturan ini menegaskan pentingnya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.

Pasal 25 ayat (1) Konvensi tersebut menegaskan secara mendasar perlakuan adil negara terhadap Buruh migran dan anggota keluarganya dalam hal penggajian dan kondisi-kondisi kerja lainnya menurut hukum dan praktek nasional.

Kendati telah diserukan prinsip dan standar perlindungan, pada kenyataannya keberadaan buruh migran acapkali masih mengalami masalah. Sebagaimana dalam konteks pelaksanaannya di tingkat Asia Tenggara, hak-hal buruh migran belum diakui secara memadai.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan salah satu kondisi yang dihadapi negara-negara Asia Tenggara adalah sistem pengupahan bagi para buruh migran.

"Sementara ini masih jadi permasalahan di kalangan negara ASEAN," kata Iqbal kepada gresnews.com, Kamis (3/12).

Hal ini dikarenakan minimnya penguatan aspek tata kelola migrasi ASEAN dan belum terbentuknya sebuah konvensi untuk memperkuat hak-hak buruh migran.

Kondisi ini, kata Iqbal, membuat banyak buruh migran sering berpindah dari negara low cost ke high cost. Pergerakan para buruh ini, lanjutnya, menimbulkan berbagai persoalan hukum seperti undocumented atau tidak memiliki kelengkapan dokumen kerja.

Saat ini jumlah penduduk ASEAN 650 juta. Dari jumlah tersebut 148 juta di antaranya berpendapatan kurang dari US$ 2 per hari dan 28,8 juta lagi berpendapatan kurang dari US$ 1. Situasi di ASEAN mengindikasikan bahwa tenaga kerja irregular dan tidak berdokumen sangat dominan. Dengan wanita sebagai buruh migran yang paling rentan.

Dari sekitar 1.254.991 buruh migran yang tidak berdokumen, 1.250 ribu di antaranya berada di Malaysia. Dan dari sekitar 14 juta buruh migran yang ada di ASEAN, lima juta di antaranya berasal dari Indonesia.

Dokumen yang mengikat itu sangat penting apalagi mengingat berbagai permasalahan masih merundung para buruh migran. Tantangan yang ada mulai dari perekrutan di desa-desa, kabupaten hingga provinsi, dan penempatannya, yang rawan terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia.

MEMPERSOALKAN UPAH BURUH MIGRAN - Berbagai upaya telah ditempuh negara-negara ASEAN untuk merumuskan perlindungan dan pengakuan hak pekerja migran.

ASEAN telah membentuk suatu komisi membahas tentang konvensi buruh migran melalui ASEAN Committee on the implementation of ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ACMW) tanggal 13 Januari 2007 di Cebu, Filipina.

Pembentukan ACMW ini merupakan mandat dari Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi Hak-hak Buruh Migran. Artikel 22 dalam Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak Buruh Migran yang disahkan di Cebu, Filipina, tersebut menyatakan pentingnya mengharmonisasikan hukum tenaga kerja di tingkat nasional dengan standar internasional menurut Badan Tenaga Kerja Internasional (ILO). Standar internasional tersebut meliputi kondisi kerja dan kehidupan, penegakan standar tenaga kerja, kontrak tenaga kerja, dan lain-lain.

Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia Karsiwen menyayangkan, perundingan yang sudah berjalan hampir sepuluh tahun itu tak kunjung memberikan dampak nyata bagi nasib pekerja.

Ia menerangkan, justru dalam beberapa pertemuan sudah berulang kali dilakukan dan sampai saat ini masih membahas seputar draft antara negara penerima dan negara pengirim menyangkut status buruh migran.

Kedua negara penerima seperti Malaysia dan Singapura bersikeras menolak buruh migran undocumented sementara pada pandangan lain mengharapkan sebaliknya.

Persoalan upah menjadi hal serius dan menurut Karsiwen perlu didorong di tingkat ASEAN mengingat posisi Indonesia sebagai negara pengirim yang sebagian besar ke Malaysia, Singapura dan Brunei Darusalam. Perbandingan jumlah buruh migran Indonesia relatif cukup besar di Malaysia dan Singapura yang mencapai sekitar 2,5 juta.

"Sampai saat ini, gaji buruh migran Indonesia yang ada di Asean khususnya Malaysia dan Singapura masih sangat rendah. Sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT), konstruksi dan perkebunan rata-rata cukup minim Rp 1,5 sampai Rp 2,2 juta," sebut Karsiwen kepada gresnews.com, Sabtu (5/11).

Rendahnya pemberian gaji di negara penempatan, lanjut dia, tidak sebanding dengan biaya hidup di Singapura yang relatif tinggi. Untuk itu, permasalahan ini sepatutnya didorong pemerintah dan negara ASEAN untuk mencapai kesepakatan standar penentuan yang layak.

Standar pengupahan, menurut Iwen, dapat dikatakan layak ketika kebutuhan hidup normal seperti sandang, pangan, papan hingga keluarga para migran terpenuhi. "Kalau dihitung gaji tergantung negara penempatan dimana gaji pokok semestinya harus mencukupi kebutuhan hidup buruh migran," kata dia.

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN - Pada acara Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia pada 21-22 November lalu, salah satu agenda penting yang dibahas adalah kesepakatan mengenai capaian pembentukan konvensi tentang perlindungan buruh migran.

Hal ini dianggap penting dan strategis karena akan membahas ulang dan menegosiasikan elemen-elemen yang akan tercakup dalam instrumen dimaksud berdasarkan usulan masing-masing negara anggota ASEAN.

Direktur Mitra Wicara dan Antar Kawasan Kementerian Luar Negeri Derry Aman menyampaikan agenda pembentukan konvensi penguatan hak-hak pekerja migran merupakan kerangka penting bagi Indonesia.

"Pemerintah berupaya mendorong pembentukan konvensi buruh migran di ASEAN melalui pembahasan dan kerjasama," kata Derry ditemui gresnews.com.

Permasalahan yang terjadi saat ini adalah tantangan mewujudkan sikap perlindungan kepada para pekerja migran seperti yang telah dirundingkan negara anggota Komite ASEAN dalam Declaration On The Protection And Promotion Of The Rights Of Migrant Workers yaitu Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja.

Komite tersebut dibentuk atas hasil pertemuan pembahasan Implementasi Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak Pekerja Migran pada 2013 lalu dalam rangka memperkuat instrumen hukum melalui pelaksanaan konvensi perlindungan pekerja migran di kawasan Asia Tenggara.

BACA JUGA: