JAKARTA - Gaji pekerja migran Indonesia (PMI) di Jeddah, Arab Saudi, diduga dikemplang oleh majikannya. Sebagian besar pekerja adalah Asisten Rumah Tangga (ART). Jumlahnya selama Januari-Juli 2019 mencapai 2,07 juta Riyal Saudi (Rp7,6 miliar) dari 105 pekerja, dengan masa tunggakan terlama 15 tahun. Konsul Jenderal (Konjen) Republik Indonesia Jeddah Mohamad Hery Saripudin menyatakan tunggakan upah yang menumpuk membuat majikan di sana mencari cara supaya terhindar dari kewajiban membayar upah bulanan bagi pekerjanya.

"Ada yang nyuruh ART-nya cap jempol atau tanda tangan. Padahal  ART itu tidak mengerti isinya. Ada pula yang melaporkan pekerjanya kabur, sehingga dia tidak perlu bayar gajinya setelah pekerjanya itu dideportasi. Macam-macam. Tapi, tetap kami kejar dia sampai bayar," kata Hery kepada Gresnews.com, Selasa (6/8), tertulis.

Hery menambahkan pengurusan gaji menjadi rumit di pengadilan dan maktab amal (kantor tenaga kerja) ketika pekerja menandatangani atau membubuhkan cap jempol pada lembaran yang dia sendiri tidak mengerti isinya. “Ternyata terungkap kemudian kertas tersebut berisi pernyataan serah-terima gaji,” ujarnya.

Sementara itu, Konsul Tenaga Kerja Mochamad Yusuf mengungkapkan proses persidangan di pengadilan dan maktab amal (kantor tenaga kerja) jadi berbelit-belit karena pekerja membubuhkan cap jempol atas permintaan majikan tanpa mengerti apa isinya. Namun, ketika diwawancarai dalam sesi berita acara pemeriksaan (BAP) oleh petugas, pekerja tadi baru mengaku belum digaji oleh pengguna jasa hingga tahunan lamanya. “KJRI memberlakukan SOP wawancara dengan pemohon pelayanan di ruang khusus, tanpa kehadiran atau pendampingan pengguna jasa atau pihak yang mewakilinya,” kata Yusuf.

Informasi yang diberikan oleh KJRI Jeddah, pascamoratorium pengiriman PMI tak-berkeahlian (unskilled), supir rumahan dan asisten rumah tangga, permasalahan masih saja bermunculan. Tidak sedikit WNI perempuan yang direkrut perusahaan untuk bekerja sebagai tenaga kebersihan di kantor-kantor dan instansi di Arab Saudi, tapi kemudian disalurkan ke sektor rumah tangga. Sebagian dari mereka diberangkatkan dengan visa ziarah (kunjungan) tapi diberikan iqamah (kartu izin menetap dan bekerja). Tidak betah karena merasa tertekan dengan beban pekerjaan dan besaran upah tidak sesuai kesepakatan, mereka memilih kabur ke KJRI. (G-1)

BACA JUGA: