JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menghadapi kondisi ekonomi yang masih morat-marit akibat resesi ekonomi dunia, Presiden Joko Widodo bakal mengambil sejumlah langkah strategis demi memperbaikinya. Salah satu langkah yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini adalah melakukan pemangkasan berbagai peraturan yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi.

"Apapun seperti yang saya sampaikan pada rapat kabinet yang lalu, diperlukan deregulasi besar-besaran dan pembuatan regulasi yang baru yang betul-betul memberikan iklim yang baik pada ekonomi kita dalam waktu yang secepat-cepatnya," kata Jokowi saat memberikan pengantar pada Sidang Kabinet Paripurna, di kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu (2/9) seperti dikutip setkab.go.id.

Pemerintah, kata Jokowi, sudah mendata sejumlah peraturan yang bakal dipangkas. "Saya mendengar kemarin sudah dikumpulkan, kira-kira terkumpul hampir 100-110 lebih regulasi kita yang tidak memberikan iklim usaha yang baik," papar Jokowi.

Presiden berharap, dalam minggu ini sudah bisa diambil keputusan untuk memangkas berbagai regulasi yang tidak menciptakan iklim kondusif bagi perekonomian itu. "Mana yang tidak langsung potong, mana yang masih diproses juga perlu diproses, mana yang masih perlu kajian, ya kajian, tetapi ini harus segera keluar," tuturnya.

Jokowi mengatakan, pemerintah akan mengambil langkah yang pasti agar pergerakan dunia usaha tidak terhambat agar dunia usaha bisa mengeluarkan modalnya untuk investasi. Selain itu agar arus uang dari luar ke dalam negeri tidak terhambat.

"Saya ingin juga agar secepatnya revisi UU yang menghambat apapun baik dalam pengadaan barang dan jasa, baik yang berkaitan dengan iklim usaha itu segera direvisi. Saya harapkan UU yang baru agak direm tapi revisi-revisi yang diperlukan itu agar dimajukan," pinta Presiden.

Pemerintah, kata Jokowi, saat ini berkejaran dengan waktu untuk segera memperbaiki keadaan. Meski demikian, menurut Presiden, kondisi ekonomi Indonesia masih baik. Indikasinya, rasio kecukupan modal, capital equity ratio perbankan Indonesia saat ini masih di atas 20%.

Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lain, Indonesia juga termasuk yang paling baik di Asia. "Kemudian juga cadangan devisa kita sampai hari ini masih 107 miliar dolar AS, ini mencukupi untuk 7,5 bulan impor kita," ujar Presiden Jokowi.

Adapun rasio utang luar negeri Indonesia sebesar 34%, menurut Presiden Jokowi, juga masih sangat jauh dari rasio yang ada di tahun 1998 yaitu di atas 120%. Hanya saja, kata Jokowi, meski kondisi baik, Indonesia tetap harus berhati-hati.

"Kita harus hati-hati, harus jaga-jaga, kita harus waspada dan semua jurus harus dikeluarkan," tegas Presiden Jokowi.

Karena itu, Presiden berharap, bulan ini sudah ada keputusan soal peraturan mana yang diajukan ke Dewan (DPR) untuk direvisi, dan mana yang harus dipercepat. Misalnya UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). "Itu sangat diperlukan untuk payung," tegas Jokowi.

STRATEGI COUNTER CYCLICAL - Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi memang meminta gara masyarakat tetap tenang menghadapi situasi ekonomi yang masih buram yang ditandai melemahnya rupiah. Rupiah masih saja belum bisa bangkit menghadapi tekanan dolar AS dan depresiasi Yuan sehingga kembali menembus level Rp14.100 per US$1 dalam pembukaan perdagangan hari ini setelah sebelumnya sempat menguat beberapa poin.

Presiden Jokowi sendiri menjamin pemerintah memiliki strategi untuk menghadapi kondisi ekonomi agar membaik. Jokowi menyampaikan, pemerintah sudah memiliki instrumen kebijakan yang bisa digunakan untuk menghalau dampak tekanan ekonomi tersebut.

"Yang paling penting kita tetap tenang menghadapi setiap masalah. Sudah ada instrumen yang dikeluarkan BI (Bank Indonesia). Banyak juga instrumen yang diatasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Ada kebijakan fiskal oleh pemerintah," kata Jokowi, di Batang, Jawa Tengah, Jumat (28/8).

Salah satu strategi yang disiapkan, seperti yang dikatakan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution adalah kebijakan yang disebut sebagai counter-cyclical. Lewat kebijakan ini, pemerintah akan membalik siklus ekonomi yang tengah menurun ke arah yang lebih positif.

Secara umum, kata Darmin, teori ini pernah dipraktikkan ketika masa krisis 2008 lalu. "Dalam situasi ekonomi melambat satu-satunya jawaban yang jitu adalah counter-cyclical. Jangan ikuti iramanya, tetapi ambil posisi lawannya," kata Darmin Nasution di Istana Bogor, Jakarta, Senin (24/8).

Bagian pertama dari kebijakan ini adalah percepatan belanja modal pemerintah. Dana yang disiapkan mencapai Rp280 triliun dalam APBN Perubahan 2015. Namun sampai sekarang baru terealisasi 20%. Sehingga semua masalah yang menghambat pencairan itu harus segera diselesaikan.

"Kita meningkatkan pengeluaran pemerintah terutama belanja modal. Kalau belanja rutin berjalan ya, gaji kan mau nggak mau dibayar ya kan. Tapi belanja modal memang masih sedikit 20%-an sampai saat ini," katanya.

Kedua, adalah dengan mendorong investasi, dari dalam dan luar negeri. Poin yang dijanjikan pemerintah adalah melakukan deregulasi berbagai peraturan yang menggangu dunia usaha.

"Presiden juga menyampaikan itu sudah dicanangkan sejak empat lima hari lalu, yaitu melakukan deregulasi besar-besaran di setiap departemen agar investasi bisa lebih lancar dan pasar ekonomi bisa bergerak. Tidak sekedar hanyut mengikuti pelambatan ekonomi. Itu dia garis besarnya," kata Darmin.

LIMA JURUS ANTI KRISIS - Selain kebijakan deregulasi yang akan diambil pemerintah demi mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga sudah mengumpulkan berbagai masukan dari para ekonom untuk bisa memperbaiki kondisi ekonomi yang tengah terpuruk ini.

Salah satu masukan itu datang dari ekonomi Didik J Rachbini. Didik mengatakan, pemerintah bisa menerapkan lima jurus untuk memperbaiki kondisi ekonomi agar bisa terhindar dari jebakan krisis ekonomi 1998.

"Kondisi saat ini haru segera direspons dengan kebijakan yang cepat dan tepat. Ada 5 cara. Pertama, kondisi psikologis, politis harus dibenahi mulai dari presiden dan kabinet," kata Didik di kantor Indef, Selasa (2/9).

Kedua, menurutnya, pemerintah perlu mengantisipasi fluktuasi kondisi ekonomi global supaya imbasnya tidak terlalu besar ke Indonesia.

"Ekonomi global saat ini mengalami anomali, fluktuasi, tidak ada kepastian. Minyak dulu harga US$100 per barel jadi US$38 per barel. Pemerintah harus bisa mengamati dan paham fluktuasi serta anomali. Harus paham krisis ekonomi global tapi tidak menyalah-nyalahkan kondisi ekonomi global," tuturnya.

Jurus ketiga, lanjut Didik, pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan pertanda industri sudah merasa berat dengan kondisi saat ini. Sebaiknya pemerintah meminimalisir PHK di dalam negeri.

"Jangan sekali-kali biarkan PHK terus terjadi. Di Jerman Barat, atasi kondisi krisis ada BUMN bangkrut silakan ambil tanahnya, asetnya, tapi jangan lakukan pemutusan hubungan kerja. Satu kuartal ini pengangguran nambah 300.000 orang. Ini pertanda industri sudah berat," tambahnya.

Keempat, kata Didik, dia melihat RI perlu mengarahkan pembangunan industri pengolahan agar tidak lagi ekspor bahan mentah.

"Ekspor berbasis sumber daya alam kita separuhnya masih berupa bahan mentah seperti komoditas sawit dan karet, itu harus diperbaiki industrinya. Krisis sumbernya dari industri. Harga komoditas semua merosot. Separuh ekspor komoditas kita berupa bahan mentah. Ekspor kita persis seperti kondisi ekonomi 2008," tuturnya.

Terakhir, Didik menegaskan pemerintah harus bisa memangkas impor yang tidak perlu. "Kelima, pangkas impor yang tidak ada gunanya. Kosmetik yang berbahaya, mainan anak mengandung racun, itu pangkas," pungkasnya.

INDONESIA BISA BANGKIT - Managing Director International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde dalam acara Joint IMF-Bank Indonesia Conference di Gedung BI, Thamrin, Jakarta, Rabu (29/8) mengatakan keyakinannya Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi. Keyakinan itu muncul karena Indonesia pernah melewati berbagai tahapan krisis ekonomi dengan baik.

"Mereka tahu dari pengalaman masa lalu yang pahit. Dalam beberapa tahun terakhir, gubernur, para pembuat kebijakan telah menggunakan pengalaman krisis untuk bisa menghadapi ke depan," ujar Lagarde.

Syarat agar Indonesia bisa selamat dari krisis ini dan terus bisa bertumbuh di tengah perlambatan ekonomi, kata Lagarde, pemerintah dan otoritas harus sepenuhnya memahami apa yang perlu dilakukan dan mengambil tindakan lebih lanjut. Kebijakan harus disesuaikan untuk bisa menjadikan ekonomi tetap berjalan dengan baik.

Dia mengatakan, ada 4 hal yang perlu diperhatikan pengambil kebijakan yaitu memperkuat kebijakan fiskal, mendorong pertumbuhan kredit, menyelaraskan nilai tukar, menjaga cadangan devisa, dan membangun berbagai regulasi baik di sektor keuangan, dan lain-lain.

"Hal sederhana yang bisa juga didorong yaitu inovasi, integritas, infrastruktur, dan inklusivitas," kata Lagarde.

Lebih lanjut, Lagarde mengatakan, infrastruktur merupakan kunci masa depan pertumbuhan ekonomi Asia. Karena itu, perlu dibangun berbagai proyek seperti perbaikan jalan, kereta api, pelabuhan, dan pasokan baru dari air dan listrik untuk mendukung pertumbuhan tersebut.

"Untuk pasar negara berkembang, kota layak huni dengan transportasi umum yang layak dan jaringan IT canggih dapat membantu menghindari ´middle income trap´," ujarnya.

Lagarde menyebutkan, Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan, kebutuhan infrastruktur di Asia mencapai US$8,3 triliun selama satu dekade ke depan. Hal ini memerlukan dana pemerintah yang cukup besar, sehingga langkah pertama adalah investasi publik. 

Dengan kata lain, belanja infrastruktur yang efisien, dengan memperkuat kebijakan fiskal. "IMF dapat membantu, termasuk dengan perencanaan yang matang, kontrol pengeluaran yang efektif dan peningkatan mobilisasi penerimaan pajak," kata Lagarde.

Namun, lanjut dia, kebutuhan dana yang besar itu tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah untuk pembiayaan. Dibutuhkan peran swasta. "Tapi uang publik tidak cukup. Infrastruktur juga membutuhkan pasar modal untuk menyediakan sumber-sumber baru swasta, sehingga bisa dijual kepada investor jangka panjang. Hal ini membutuhkan asuransi kredit," kata Lagarde.

Selain itu, perlu juga dibangun lingkungan bisnis yang menarik. Pemerintah harus merancang kebijakan yang transparan dan anti korupsi. "Hal ini dapat memperkuat harapan bahwa risiko dan pengembalian dana akan dapat mencapai keseimbangan yang tepat," pungkas Lagarde. (dtc)

BACA JUGA: