JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ekonomi Indonesia dinilai sudah dalam tahap lampu kuning alias terancam jatuh dalam krisis keuangan setelah dolar Amerika Serikat menembus level Rp14.000. Nilai tukar rupiah yang sudah menembus level psikologis ini dinilai bisa berdampak serius terhadap Indonesia.

Dampak ikutan dari terus melemahnya rupiah terhadap dolar ini dikhawatirkan akan membuat Indonesia terjebak dalam tiga jenis krisis yang bisa mengancam stabilitas perekonomian nasional. Hal tersebut diperparah dengan kinerja kabinet yang tidak maksimal dan tidak solid.

Kekhawatiran terhadap ancaman krisis ekonomi ini disampaikan oleh Komisi Keuangan DPR RI kepada Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku badan pemerintah yang berwenang dalam hal keuangan.

"Kami telah sampaikan kepada Gubernur BI dan Ketua OJK, meminta mereka jangan sampai dolar AS melambung pada angka tertentu, karena ini betul-betul psikologis masyarakat," kata Ketua Komisi XI Fadel Muhammad di Kompleks Gedung DPR RI, Senin (25/8).

Menurut Fadel, dalam rapat tersebut Gubernur BI menjelaskan, cadangan devisa milik Indonesia adalah sebesar US$107 miliar. Angka sebesar itu diyakini masih aman untuk melakukan impor untuk tujuh bulan ke depan.

"Mereka juga sulit untuk mengatasi keadaan pemain valuta asing di pasar karena yang mereka selalu mengatakan masalah global," ujar politisi Partai Golongan Karya ini.

Komisi XI pun meminta kepada menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) agar membentuk krisis center agar Indonesia tidak masuk ke dalam krisis ekonomi.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali Aburizal Bakrie juga menyarankan kepada pemerintah untuk membentuk krisis center. Menurut mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pemerintahan SBY ini, langkah tersebut diperlukan untuk mengatasi keadaan yang ekonomi yang tengah kritis, seperti pemerintah sebelumnya lakukan.

Ical menyarankan kepada pemerintah agar tidak menambah beban kepada pengusaha, misalnya menambah beban pajak-pajak baru, peraturan baru yang memberatkan dunia usaha meski pun tujuannya untuk memperkuat penerimaan dari APBN. Ical juga menyoroti kinerja kabinet yang tidak baik, yang bisa dilihat dari penyerapan APBN saat ini saat sangat rendah dan harus segera dibenahi.

"Untuk menangani dan menghadapi permasalahan yang begini sulit. Tidak bisa dibiarkan satu menteri bergerak ke kanan dan menteri lainnya bergerak ke kiri. Tidak bisa dibiarkan masalah penanganan yang sulit ini tidak ada di bawah satu komando. Seperti pengalaman pemerintahan tahun lalu. Penanganan dari masalah-masalah yang berat harus dilakukan oleh satu orang yang dipercaya oleh presiden, dan dia yang membuat suatu matriks yang harus dikerjakan oleh para menteri," ujar salah satu pemilik kelompok usaha Grup Bakrie ini, Senin (24/8).

PASAR BUTUH KEPASTIAN - Salah satu penyebab rontoknya rupiah terhadap dolar AS ditengarai adalah rendahnya serapan anggaran pemerintah. Sampai semester I tahun 2015, realisasi belanja negara baru mencapai Rp913,5 triliun. Realisasi tersebut hanya mencapai 46 persen dari pagu belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 yang sebesar Rp1.984,1 triliun.

Menanggapi situasi nilai tukar rupiah yang memburuk ini, Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Ismed Hasan Putro meminta kepada pemerintah untuk segera menstabilkan nilai rupiah di pasaran. "Ini penting bagi kalangan pengusaha dan investor untuk melakukan kalkulasi bisnisnya. Untuk itu harus ada policy yang berani dari Presiden Jokowi untuk mendorong anggota kabinetnya bekerja dengan solid dan mencari terobosan agar nilai rupiah itu bisa stabil," ujarnya, (23/8).

Mantan Direktur perusahaan BUMN Rajawali Nusantara Indonesia ini mengingatkan, penting bagi pemerintah untuk mengurangi frekuensi kegaduhan politik, karena hal tersebut dipantau oleh investor, pelaku usaha dan fund manager dari negara-negara yang akan melakukan investasi.

Pasar membutuhkan kepastian untuk membuat langkah-langkah kebijakan terkait dengan langkah-langkah bisnis mereka. Pasar sekarang melihat betapa lemahnya soliditas kabinet.

"Kalau kegaduhan politik ini tidak menurun itu bukan hal yang positif bagi pasar. Menunjukkan pemerintah tidak ada koordinasi yang baik dan tidak ada soliditas," ujar Ismed

Ismed menyarankan kepada pemerintah untuk melibatkan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) untuk mencari solusi atas krisis ekonomi yang mengancam ini. Ismed menuturkan mulai tingginya tingkat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di pelbagai sektor menunjukkan gejala mulai matinya sektor riil.

"Pemerintah tidak boleh semata-mata menyerahkan urusan pelemahan rupiah ini kepada BI," ujarnya.

MASUK FASE TANGGAP DARURAT - Pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengatakan, posisi Indonesia saat ini sebenarnya bukan lagi tahap menuju krisis ekonomi, melainkan sudah masuk fase tanggap darurat krisis ekonomi. Kedaruratan ekonomi Indonesia ini terlihat dari tiga indikasi yang tengah terjadi di Indonesia.

"Pertama ancaman langsung terhadap sektor pemerintah dan sektor swasta yang berkaitan dengan utang luar negeri. Saat ini utang luar negeri swasta lebih tinggi dari utang pemerintah. Utang pemerintah sendiri sudah sangat besar. Jika diakumulasi beban keuangan itu terhadap perekonomian nasional maka itu besar sekali. Kalau itu dikonversikan dengan kurs saat ini nilainya berarti sudah meningkat dua kali lipat," ujar Daeng.

Sebagai informasi hingga Juli 2015, total utang pemerintah pusat tercatat sebesar Rp2.911,41 triliun. Naik Rp46,47 triliun dibandingkan posisi bulan sebelumnya, yaitu Rp2.864,18 triliun.

Dari jumlah itu, utang swasta mencapai US$153,22 miliar. Utang itu terdiri atas utang jangka pendek (kurang dari setahun) sebesar US$43,98 miliar dan jangka panjang sebesar US$109,24 miliar.

Utang swasta tersebut mencapai sekitar 55 persen dari keseluruhan total utang luar negeri Indonesia. Saat itu kurs rupiah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) dipatok pada nilai Rp12.500.

Sektor keuangan dan perbankan pun tidak luput dari krisis. Menurut Daeng, Indonesia mewaspadai bank-bank yang menanggung utang luar negeri yang besar yang mereka harus tebus dengan dolar AS. Akibatnya akan semakin memperlebar defisit daripada transaksi berjalan nasional. Saat ini defisit transaksi berjalan sudah mencapai US$29 miliar.

"Itu ada defisit pendapatan primer artinya jumlah uang yang keluar dari ekonomi kita jauh lebih besar dari yang masuk. Defisitnya bisa mencapai 29 miliar dolar. Kalau dikalikan dengan kurs sekarang itu sudah sangat parah sekali," ungkap Daeng.

Dampak dari hal tersebut akan semakin memperburuk kondisi di dalam negeri. Pemerintah akan menggenjot pajak, karena penerimaan dari sektor minyak dan gas bumi akan drop karena turunnya harga minyak. Kebijakan tersebut akan langsung memukul industri dan wirausaha. Bank pun akan terdorong untuk menaikkan suku bunganya.

"Dengan begitu akan semakin memukul daya beli masyarakat dan sektor-sektor yang berkaitan dengan kredit perbankan. Sementara itu industri sendiri sudah terkena beban kenaikan beban listrik dan harga BBM," ujar Daeng.

DAMPAK LEBIH PARAH - Daeng meyakini kondisi ini tidak seperti krisis tahun 2008, yang hanya yang merusak di sektor moneter. Krisis saat ini, kata dia, sudah membahayakan. PHK yang terjadi di pelbagai sektor merupakan implikasi hukum besi dari hancurnya sektor riil.

"Sekarang moneter terjadi krisis, keuangan terjadi krisis, dan sektor riil juga habis akibat beban pencabutan subsidi. Sektor ekonomi rakyat yang biasanya jadi penyelamat sekarang juga sedang sekarat," ujarnya.

Untuk menghadapi keadaan ini, Daeng menyarankan kepada Pemerintah untuk mengubah orientasinya kepada ekonomi yang benar-benar bertumpu pada kekuatan ekonomi domestik.

"Maksimalkan anggaran pemerintah untuk membangun kembali industri, pertanian, dan agroindustri tidak usah bertumpu pada investor luar," ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga harus memperbaiki kinerja kabinetnya yang terkesan jalan sendiri-sendiri. Daeng menilai buruknya kinerja kabinet makin memperparah kondisi ini.

Bukan hanya serapan anggaran yang hanya 46 persen tetapi masalah yang berkaitan dengan pelaku usaha terhadap pemerintah sudah sampai pada tingkat yang paling rendah.

"Kabinetnya berantakan membuat dunia usaha gusar. Indonesia tidak ada lagi kepastian yang ada hanya kesemrawutan," pungkasnya. (Gresnews.com/Lukman Al Haries)

BACA JUGA: