JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo sudah melakukan pergantian menteri-menterinya yang dinilai tidak bekerja dengan baik. Perombakan khususnya terjadi di jajaran tim ekonomi dimana beberapa jabatan menteri ekonomi berganti atau digeser ke posisi lain.

Darmin Nasution menjadi Menko Perekonomian, menggeser Sofyan Djalil yang menduduki kursi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Rizal Ramli diangkat menjadi Menko Kemaritiman menggeser Indroyono Soesilo. Posisi Menteri Perdagangan dipegang Thomas Lembong menggantikan Rachmat Gobel. Sementara posisi Menteri Keuangan tetap dipegang Bambang Brodjonegoro.

Pergantian menteri-menteri khususnya di jajaran ekonomi ini memang sangat dinanti untuk mendongkrak kinerja tim ekonomi pemerintah yang harus mampu mengatasi kelesuan ekonomi. Selain itu, juga mengantisipasi pelemahan rupiah yang semakin parah dan kini sudah masuk zona merah.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, pelemahan nilai rupiah yang mencapai 10 persen terhadap dolar Amerika di tahun ini sudah masuk zona berbahaya alias sudah terlalu dalam. "Ini telah terlalu dalam, sehingga telah berada jauh di bawah nilai fundamentalnya," kata Agus Martowardojo dalam siaran persnya, Rabu (12/8).

Dia menilai, rupiah sudah memasuki fase undervalued. Karena itulah, untuk mengantisipasinya, Agus menegaskan, BI telah dan akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai rupiah. "Bank Indonesia akan mengoptimalkan bauran kebijakan dan terus berkoordinasi dengan Pemerintah dan otoritas lainnya," terangnya.

Nilai rupiah per hari ini memang mengalami koreksi terparah di tahun 2015 ini. Dalam setengah hari rupiah anjlok 1,33% terhadap dolar AS.

Jika dibandingkan awal tahun ini, rupiah sudah anjlok hingga 10,4%. Rupiah juga termasuk mata uang yang kinerjanya paling parah di Asia, di urutan kedua ada ringgit Malaysia.

Dolar AS yang kemarin sudah menguat, pagi tadi kembali perkasa. Mata uang negeri Abang Sam itu dibuka di Rp13.690 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan kemarin di Rp13.610 per dolar AS.

Secara perlahan tapi pasti, dolar AS terus menguat hingga menembus Rp13.825 yang merupakan posisi tertingginya hari ini, Rabu (12/8). Dolar AS ini setara dengan posisi pada Agustus 1998, alias saat Indonesia mengalami krisis moneter 1998.

MENANTI REAKSI PASAR - Pergantian kabinet kali ini memang sudah ditunggu-tunggu para pelaku pasar sejak lama. Para investor juga menanti reaksi pemerintah untuk melihat kebijakan apa yang akan diambil pemerintah di bidang ekonomi untuk mengantisipasi pelemahan ekonomi dunia.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, hasil reshuffle kali ini akan ada dua kemungkinan.

"Reshuffle kabinet kali ini bisa berdampak positif bisa juga berdampak negatif, apalagi di tengah kondisi ekonomi seperti saat ini di mana akibat pelemahan yuan rupiah dan IHSG kita turun," kata Enny Rabu (12/8).

Enny mengungkapkan, pelaku pasar akan berdampak negatif bila Presiden Jokowi salah memilih para menteri dalam reshuffle kabinet. Apalagi nama-nama seperti Thomas Lembong, Rizal Ramli, dan Darmin Nasution adalah orang-orang yang menurut pasar adalah orang lama dan diyakini tidak mampu membuat gebrakan.

"Karena nama-nama yang beredar saat ini adalah nama-nama lama mulai Lembong, Rizal Ramli, dan Pak Darmin, yang menurut pelaku pasar nggak akan ada gebrakan, itu yang harus dicermati Pak Jokowi," ungkapnya.

"Makanya saat ini pasar sedang menunggu dan melihat apakah orang yang dipilih Pak Jokowi ini kompeten, mampu membuat gebrakan yang mendorong perekonomian Indonesia dapat tumbuh," ucapnya.

Ia mengakui, pelaku pasar sendiri lama ingin ada perombakan kabinet kerja khususnya para menteri ekonomi, karena selama ini kebijakan yang diambil justru tidak pro pada pertumbuhan ekonomi.

"Rupiah kita makin melemah terhadap dolar, sementara tim menteri ekonomi tidak banyak melakukan gebrakan, justru pasar melihat masih ada ego sektoral di masing-masing kementerian. Intinya pasar akan melihat apakah reshuffle kabinet ini karena politik atau karena evaluasi kinerja menteri, kalau karena politik hati-hati rupiah dan IHSG makin turun," tutupnya.

Ekonom Standard Chartered Bank Eric Alexander Sugandi juga menyatakan pendapat senada. Menurutnya, sebenarnya tidak masalah soal waktu kapan perombakan kabinet dilakukan. Semua tergantung nama-nama yang ditempatkan oleh Jokowi.

"Kalau nama-nama yang diumumkan dikenal punya reputasi baik, respons pasar antara netral sampai sedikit positif, dan tidak sampai gegap gempita (euphoria) mengingat kinerja ekonomi yang kurang baik dan banyak janji dan target pemerintah yang meleset di semester I-2015," jelas Eric.

Soal positifnya perombakan kabinet, kata Eric, bukan berarti akan membuat IHSG dan rupiah langsung menguat. Namun perlahan akan mengembalikan kepercayaan pasar.

"Kalau nama-nama yang diumumkan ternyata tidak dikenal market players atau punya reputasi yang kurang baik, reaksi market akan negatif," jelas Eric.

MENANTI KEBIJAKAN BUKAN KONTROVERSI - Terkait pelemahan nilai rupiah sendiri, pemerintah selalu berdalih tidak akan banyak berpengaruh dan kerap mencoba meyakinkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat dan situasi kali ini berbeda dengan tahun 1998.

Menko Perekonomian Sofyan Djalil misalnya, beberapa waktu lalu, ketika rupiah berada di level Rp13.500 per US$1, mengatakan, tidak perlu mengaitkan kenaikan ini dengan situasi tahun 1998. "Pokoknya tidak usah khawatir, orang-orang mengait-ngaitkan dengan 1998. Nih saya ceritakan, dolar kita 1998 waktu itu Rp2.300, melemah ke Rp13.000 lebih, jadi berapa ratus persen naiknya. Sekarang melemah dari Rp11.700 jadi Rp13.400, jadi pelemahan sekitar sepuluh atau beberapa belas persen," katanya.

Hanya saja, setelah mencoba menenangkan pasar dengan pernyataannya itu, tetap saja pemerintah tidak melakukan langkah berarti untuk mengantisipasi atau setidaknya membuat rupiah tidak terus terpuruk ke angka psikologis yang disebut-sebut berada di angka Rp14.000 per dolar AS.

Alih-alih membuat kebijakan, pemerintah malah kerap saling tuding atau menyalahkan faktor eksternal terkait pelemahan rupiah ini. Menkeu Bambang Brodjonegoro misalnya, malah menyalahkan BI atas melemahnya rupiah.

"Terutama yang perlu saya sampaikan bahwa otoritas mengenai kebijakan moneter dan rupiah ada di BI. Saya tugasnya otoritas fiskal," kata dia di gedung BI, Jakarta, Selasa (4/8) lalu.

Dia mengatakan, tugasnya sebagai otoritas fiskal bukanlah menangani fluktuasi rupiah, melainkan menjaga agar kondisi fiskal tetap stabil dan sinkron dengan kebijakan moneter. "Tapi yang paling penting kita menjaga agar kondisi fiskal tetap stabil dan sinkron dengan kebijakan moneter. Menjaga pertumbuhan sekaligus menjaga kestabilan," ujarnya.

Belakangan, pemerintah juga terlalu menyalahkan faktor eksternal yaitu China yang sengaja melakukan devaluasi atau penurunan nilai mata uangnya, yang membuat pelemahan mata uang di Asia berguguran salah satunya rupiah.

Sudah begitu, Menko Perekonomian Sofyan Djalil juga malah bersikap seolah situasi ini tak berbahaya dan tak perlu diantisipasi. "Kalau kita sih oke-oke saja, selama ini sudah cukup undervalue rupiah kan," kata Menteri Perekonomian Sofyan Djalil, di Kementerian Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta, Selasa (11/8).

Dia mengatakan, langkah China menurunkan yuan ini tidak berpengaruh terhadap daya saing barang ekspor Indonesia. Untuk negara luar, barang Indonesia cukup murah dan bersaing dari segi harga, karena nilai rupiah yang rendah.

SIKAP PEMERINTAH RUGIKAN PEREKONOMIAN - Sikap pemerintah yang sepertinya lepas tangan terhadap kondisi perekonomian yang menurun inilah yang selama ini dinilai justru akan semakin merugikan perekonomian negara. Padahal dalam konteks devaluasi Yuan misalnya, Ekonom INDEF Enny Sri Hartati, ini merupakan kondisi yang berbahaya.

"Kondisi ini tentu bahaya loh bagi kita, pemerintah sama sekali tidak memprediksi bila Yuan dilemahkan, fokusnya pada suku bunga The Fed dari dulu," ungkap Enny.

Enny mengatakan, akibat lemahnya Yuan, akan membuat Indonesia bisa dibanjiri barang-barang impor dari China dalam jumlah besar, sementara pemerintah tidak bisa berbuat banyak.

"Kita itu punya perjanjian perdagangan bebas dengan China, mau naikin tarif bea masuk untuk tahan serbuan impor nggak akan bisa. Kita hanya bisa tahan dengan kebijakan non tarif," ungkapnya.

Ia memperkirakan, kondisi akan membuat defisit perdagangan dengan China semakin besar, dan tentunya akan memukul industri dalam negeri.

"Rupiah kita makin melemah, yuan makin murah, impor dari China makin besar, defisit perdagangan makin besar pula. Mau diterapkan kebijakan non tarif sulit, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI), karena harus pakai asas resiprokal, kenapa sulit karena kualitas barang kita juga belum banyak yang bisa SNI, apalagi yang diekspor ke luar negeri," jelasnya.

Melihat kondisi ini, dia menegaskan, pemerintah seharusnya mengambil langkah-langkah antisipasi. "Pemerintah kita beda dengan pemerintah negara lain, seperti China contohnya, dari kemarin kita mikirin The Fed melulu ya Bank Indonesia-nya ya Menteri Keuangannya, tak tahunya negara lain seperti China nggak disangka melakukan langkah devaluasi kita kena, kita kelabakan begini, namanya pemerintah itu punya strategi, plan A, plan B sampai E, kita kan kalau sudah kejadian baru diantisipasi, ujungnya terlambat," tegas Enny.

Menghadapi lemahnya rupiah ini, pernyataan "agak menyejukkan" justru malah datang dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pihak OJK justru terlihat mengambil langkah lebih nyata dengan membuat skenario menghadapi pelemahan rupiah

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengungkapkan, pihaknya selaku otoritas di industri keuangan terus memantau perkembangan gerak rupiah. OJK melakukan stress test terkait nilai tukar rupiah di level tertentu, membuat skenario terbaik dan terburuk.

"Kita selalu antisipasi. Skenario optimis, skenario pesimis. Bisa macam-macam, namanya juga skenario. Kita terus pantau," ujar Muliaman.

Dia menjelaskan, stress test dilakukan di level tertentu untuk menguji sejauh mana ketahanan sektor keuangan terhadap gejolak yang ada. Ini juga dilakukan untuk mengetahui sejauh mana ketahanan perbankan Indonesia.

"Secara individual satu per satu kita pantau termasuk mitigasi lembaga keuangan terhadap risiko, itu pekerjaan rutin pengawas, setiap hari, kita terus pantau, volatilitas rupiah termasuk tingkat suku bunga," jelas dia.

Muliaman mengatakan, saat ini kondisi perbankan Indonesia dinilai cukup aman termasuk dari sisi permodalan.

"Situasi permodalan bank cukup kuat, di ASEAN, Capital Adequacy Ratio (CAR) bank kita sudah paling tinggi, ibaratnya shock breaker-nya sudah kuat. Gejolak boleh terjadi, tapi banknya bisa tetap kuat karena shock breaker-nya bagus," imbuh Muliaman.

RESHUFFLE TAK BAKAL BERPENGARUH - Lantas bagaimana reshuffle yang dilakukan pemerintah ini bakal menolong rupiah dari kesuraman? Banyak pihak menanggapi pesimis reshuflle kali ini bakal berpengaruh positif bagi perekonomian termasuk nilai tukar rupiah.

Anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun menilai ditunjuknya Darmin Nasution sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, tak bakal membawa perubahan mengingat Darmin memiliki track record yang buruk. Sewaktu menjabat sebagai Dirjen Pajak, kata Misbakhun, ada beberapa permasalahan seperti dugaan pelanggaran prosedur dikabulkannya keberatan PT Halliburton Indonesia yang keberatannya sudah pernah ditolak oleh Dirjen Pajak sebelumnya, tetapi pada saat dipimpin oleh Darmin Nasution malah justru dikabulkan.

Kemudian, Darmin Nasution adalah orang yang menandatangani Surat Keputusan keberatan PT Surya Alam Tunggal terkait kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Dalam kasus tersebut semua sudah ada di hukum dan mempunyai kekuatan hukum tetap mulai dari Gayus sampai atasannya. Tetapi Darmin tidak termasuk yang tidak terkena dalam kasus tersebut.

"Dalam kasus tersebut kenapa Darmin Nasution sebagai orang tanda tangan SK keberatannya malah lolos dari kasus tersebut," kata Misbakhun ketika dihubungi gresnews.com, di Jakarta, Rabu (12/8).

Menurutnya kasus-kasus tersebut seharusnya menjadi perhatian oleh Jokowi karena permasalahan pajak ini termasuk lingkup Menko Perekonomian. Dia menambahkan jangan sampai ketika Darmin menjabat sebagi Menko Perekonomian malah mempermainkan kekuasaannya melakukan intervensi terhadap kasus-kasus pajak.

"Jangan sampai juga figur seperti Darmin Nasution menjadi beban bagi Kabinet Kerja karena permasalahannya di masa lalu," kata Misbakhun.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development Economy and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai selama ini menteri-menteri yang bekerja tidak ada panduan ekonomi makro yang benar-benar terarah. Dia menambahkan antara program kerja Jokowi yaitu Nawacita dengan RPJMN dan RKAP sangat berbeda dalam realisasinya.

Artinya, masalah yang terjadi selama ini lebih dikarenakan masalah kepemimpinan ditingkatan Menteri Koordinator. Apalagi, masih ada ego sektoral dan perbedaan visi antar Kementerian sehingga membingungkan pelaku usaha.

"Berarti ada kelemahan di Menko. Ini kelemahannya yang harus diperbaiki," kata Enny kepada gresnews.com, Rabu (12/8).

Enny mengatakan reshuffle kabinet harus didasarkan kriteria dan evaluasi kerja yang jelas dan terukur. Namun jika reshuffle kabinet didasarkan politik untuk memperkuat posisi pemerintah di tingkat parlemen maka akan menambah masalah baru.

Bahkan, kata Enny, hal ini akan memperbanyak masalah karena penyesuaian birokrasi akan lambat dan menjadi kontra produktif terhadap ekonomi. "Menteri-menteri yang bekerja bisa jadi tidak ada panduan makro yang benar-benar terarah," pungkas Enny. (dtc)  

BACA JUGA: