GRESNEWS.COM - Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) akan menerapkan pembatasan pelat kendaraan nomor ganjil genap. Kebijakan ini diambil oleh Jokowi bertujuan untuk mengurai kemacetan Jakarta. Sayangnya, kebijakan yang akan diambil ini dipandang akan banyak menimbulkan kerugian. Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak, misalnya, menilai kebijakan nomor ganjil genap sebagai langkah pembatasan kendaraan bermotor tidak efektif dan justru dapat menimbulkan moral hazard, dimana beberapa kalangan justru akan membeli nomor pelat palsu untuk ´mengakali´ kebijakan ini.

Kebijakan ganjil genap ini dapat menimbulkan kesulitan bahkan kerugian di beberapa kalangan masyarakat. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengungkapkan bahwa hal ini sangat menghambat bagi pelaku UKM yang kemampuannya terbatas, hanya punya satu atau dua mobil, kebetulan pelatnya sama-sama ganjil atau genap.

Namun Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut beberapa negara, seperti Athena, Meksiko City dan Beijing berdampak postif sementara yang mengurangi kemacetan sekitar 2,5 persen saat jam sibuk. Meskipun Meksiko City, Bogota dan Beijing masih menerapkan kebijakan ganjil-genap, namun mereka didukung oleh trasnportasi massal yang relatif bagus. Sementara untuk Jakarta justru akan meningkatkan pembelian kendaraan roda empat, yang mana dalam jangka panjang akan menambah kemacetan.

Hal-hal tersebut juga dapat merugikan pihak karyawan yang memiliki tempat tinggal jauh dari kantor dengan kesulitan akses kendaraan umum. Selain itu mobil angkutan kota (angkot) juga dapat kehilangan sebagian penghasilan apabila bagi mereka juga diterapkan pembatasan ganjil genap ini.

Jika kebijakan tersebut benar akan diberlakukan, apakah bagi mereka yang mengalami kerugian secara nyata, dapat menggugat kebijakan tersebut?

Ada celah bagi mereka yang akan menggugat kebijakan tersebut. Salah satunya adalah dengan menggunakan gugatan perwakilan kelompok (class action). Gugatan perwakilan kelompok menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.

Pengajuan surat gugatan sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 3 Perma tersebut, yaitu:

  1. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;
  2. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu;
  3. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan;
  4. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci;
  5. Dalam satu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;
  6. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.

Adapun sistem gugatan class action ini pada prinsipnya sama dengan mekanisme acara perdata, dimana yang dimintakan adalah sejumlah ganti rugi akibat kerugian yang diderita oleh kelompok yang mengajukan gugatan.

Alternatif kedua adalah gugatan warga negara (citizen law suit). Citizen law suit intinya merupakan mekanisme bagi warga negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaiannya dalam memenuhi hak-hak warga negara. Berbeda dengan class action yang meminta sejumlah ganti rugi, citizen law suit hanya meminta kebijakan yang mengatur umum agar kelalaian dalam pemenuhan hak warga negara tidak terjadi lagi. Yang digugat dalam citizen law suit ini bersifat pengaturan secara umum (regeling) yang berbeda dengan keputusan penyelenggara negara (KTUN).

Tentang citizen law suit ini memang belum ada pengaturannya. Hal ini dikarenakan sistem citizen law suit ini pada umumnya masih digunakan di negara-negara yang memiliki sistem hukum common law.

Velanti Anggunsuri
Analis Gresnews.com

BACA JUGA: