JAKARTA - Upaya pemerintah untuk melibatkan lebih jauh peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme terus berjalan. Kini rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme telah sampai ke tangan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Namun cukup banyak tentangan dari masyarakat terhadap rencana ini. Bahkan sebagian juga mencemaskan dampak pelibatan tentara itu sebagai ancaman bagi demokrasi.

Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menjelaskan setidaknya ada dua hal yang terjadi bila tentara dilibatkan dalam pemberantasan terorisme di dalam negeri.

"Saya tidak berandai-andai tapi mengutip penelitian dari Tayfun Erban (2004)," kata Wahyudi dalam diskusi Hukum dan HAM yang diadakan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) bertajuk Kontroversi Rancangan Perpres Tentang Pelibatan TNI Dalam Mengatasi Terorisme, yang diikuti Gresnews.com, Jumat (14/8/2020).

Pertama adalah menurunnya kebebasan sipil; dan kedua meningkatnya kekuasaan eksesif pemerintah. Pelibatan militer justru meningkatkan legitimasi organisasi teroris itu sendiri. "Dampaknya pada menurunnya legitimasi dari pemerintah demokratis yang berkuasa," katanya.

Dampak lainnya adalah penerimaan warga terhadap penggunaan kekerasan semakin tinggi. Artinya kekerasan dianggap wajar. Ketika militer mengambil alih tanggung jawab keamanan yang seharusnya dilakukan polisi maka kepercayaan publik pada kemampuan polisi dan pemerintah demokratis menurun.

Efek lainnya adalah membatasi inisiatif masyarakat sipil untuk memobilisasi dan berpartisipasi dalam pemerintahan yang demokratis akibat ketakutan yang diciptakan dari pelibatan militer. "Ini yang mengerikan. Semakin besarnya praktik tidak demokratis yang didasarkan pada spekulasi atau ketakutan," ungkapnya.

Wahyudi pun menegaskan pelibatan milter dalam pemberantasan terorisme sesungguhnya justru merugikan dalam konteks pertahanan.

Yang perlu diperjelas dari rancangan perpres tersebut adalah paradigma apa yang diambil dalam menentukan tindakan terorisme.

Sejauh ini aturan yang ada di Indonesia menggunakan pendekatan penegakan hukum pidana dalam memandang aksi terorisme. Baik Perppu 1/2002, UU 15/2003 maupun UU 5/2018 tentang Terorisme menempatkan terorisme sebagai tindak pidana bukan pendekatan perang. "Masalahnya dalam rancangan perpres yang muncul adalah pendekatan perang," katanya.

Sementara itu menurut Diandra Megaputri Mengko, Peneliti Pertahanan dan Keamanan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), peran TNI menangani masalah terorisme di Indonesia memang sudah menjadi diskursus lama yang terus muncul setelah era Reformasi.

"Setidaknya dari tahun 2005 saat SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI ke-6) meminta secara informal TNI terlibat melalui komando teritorial melakukan operasi intelijen terhadap terorisme," kata Diandra dalam acara tersebut.

Kemudian pada 2010, saat pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Tahun 2016 operasi Tinombala di Sulawesi.

Kemudian pada 2018 pascaserangan bom Surabaya yang kemudian berbuntut pada revisi UU terorisme.

"Jadi ini muncul berkali-kali, dan memuncak berkali-kali," katanya.

Dari sisi legislasi, kata Diandra, dimulai ketika undang-undang terorisme tahun 2003 sebagai respons atas serangan bom Bali yang pertama. Di dalam undang-undang itu tidak ada mengenai peran TNI yang diatur.

Baru pada 2004 dalam UU TNI, peran TNI dinyatakan sebagai bagian dari operasi militer selain perang.

Kemudian 2018, UU terorisme direvisi dan mengakomodasi peran TNI dan pelibatan TNI yang tata caranya di atur dalam perpres yang muncul tahun ini.

Ada dua hal yang penting dicermati. Pertama, peran TNI sebagai bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Kedua, fungsi TNI dibagi tiga sebagai penangkalan, penindakan dan pemulihan.

Dia memproyeksikan bila rancangan perpres ini disahkan, setidaknya ada empat dampak. Fokus TNI akan terbagi, lalu minim dampak terhadap terorisme. Kredibilitas pemerintah dipertaruhkan dan degradasi peran pengawasan DPR.

"Saya sendiri berharap, saya nggak tahu update-nya bagaimana di DPR, tapi saya dengar sudah ke DPR. Dalam hal ini DPR bisa mengembalikan perpres itu ke pemerintah untuk memperbaiki draf tersebut dan lebih banyak lagi berdiskusi termasuk dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil yang sudah merancang dan mempertimbangkan ulang konten untuk diperbaiki," tandasnya.



Pegiat HAM Esti Nuringdiah mengatakan pendekatan terorisme dalam UU terorisme adalah pendekatan pidana.

"Begitu juga dalam dunia internasional, terorisme itu juga disebutkan adalah criminal offensive," kata Esti dalam diskusi tersebut.

Berbicara mengenai criminal offensive, ada prosedur atau syarat yang perlu dipenuhi.

Apabila TNI memiliki otoritas penindakan secara langsung terhadap terorisme dalam lingkup tertentu yang sudah disebutkan dalam pasal keluaran rancangan perpres tersebut, pertanyaannya adalah persiapan TNI sejauh mana?

"Kesiapan prosedural administratif, technical skill dari TNI untuk memastikan bahwa dalam proses penindakan ini dapat dijalankan. Mulai dari proses penangkapan, penahanan sampai penggalian informasi memastikan tidak ada pelanggaran dan lain-lain itu sejauh mana TNI kesiapannya. Saya kira ini akan menimbulkan kerepotan sendiri bagi TNI," jelasnya.

Selain itu, Esti menyatakan penanganan terorisme di Indonesia itu fokusnya lebih banyak pada program deradikalisasi.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengungkapkan Rancangan Perpres Tentang Pelibatan TNI Mengatasi Aksi Terorisme yang saat ini tengah menuai polemik belum dibahas oleh Pimpinan DPR RI hingga berakhirnya masa Persidangan IV 2019 sampai 2020 pada Juli lalu.

Biasanya jika pemerintah menyampaikan surat ke DPR maka surat tersebut akan dibahas oleh lima Pimpinan DPR.

Setelah itu lima Pimpinan DPR kemudian menyepakati tanggal untuk membawa surat tersebut ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR.

Kemudian, kata dia, Rapat Bamus akan menghadirkan lima Pimpinan DPR, pimpinan-pimpinan fraksi, dan komisi yang terkait dengan urusan dalam surat tersebut dalam hal ini Komisi I dan Komisi III DPR RI.

Menurutnya terorisme itu merupakan bagian dari masalah tindak pidana dan penegakan hukum yang merupakan tugas tupoksi Komisi lll DPR-RI sebagai Komisi hukum, HAM dan keamanan nasional.

"Kalau kembali kepada UU Nomor 5 Tahun 2018 maka memang pelibatan TNI diatur lebih lanjut dalam perpres," kata Arsul dalam diskusi.

Namun perpres ini agak unik karena itu wilayah untuk kompetensi absolut sepenuhnya presiden. Tapi dalam undang-undang itu diberikan keharusan untuk dikonsultasikan.

Bentuk konsultasi seperti apa? Proses konsultasi bagaimana? Dan apa saja yang harus dijalankan oleh DPR bersama dengan pemerintah?

"Kalau pertanyaan itu saya juga belum bisa menjawab pada saat ini. Karena ini adalah secara spesifik tidak diatur sebagaimana proses pembicaraan atau pembahasan suatu rancangan undang-undang baik yang diajukan oleh DPR maupun pemerintah," jelasnya.

Selain itu, kata Arsul, dalam konteks pencegahan yang dalam draf perpres itu diistilahkan dengan penangkalan juga perlu didalami lagi.

Menurutnya penangkalan masuk bagian pencegahan dan leading sector-nya adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

"Saya membaca sekilas di dalam draf perpres itu misalnya TNI akan berkoordinasi dengan BNPT. Menurut saya ini adalah paradigma yang agak terbalik. Harusnya BNPT yang berkoordinasi. Karena inisiatifnya itu harus datang dari BNPT atau kerja-kerja pencegahan," tandasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBHI Julius Ibrani mengatakan jangan sampai isi perpres ini justru bertentangan dengan UU 34 /2004 tentang TNI.

Ini perlu merujuk pada konsideran dari UU TNI. Dalam konsideran ini ada kata kunci yang penting perlu diketahui. Yakni Alat pertahanan, ancaman militer, menjalankan operasi militer perang dan selain perang, profesional, demokrasi, supremasi sipil, HAM, berbasis hukum yang transparan dan akuntabel.

"Ini kata-kata kunci yang sebenarnya tidak bisa dihindari, tidak bisa dilampaui, jika rancangan perpres itu ingin dibentuk," katanya.

Bila melihat peran dan fungsinya sudah jelas ada di Pasal 5 dan Pasal 6. Poin fungsi ini yang patut dijadikan pertimbangan dalam rancangan perpres.

(G-2)

 

 

BACA JUGA: