Muhammad Zulfikar Rakhmat, Universitas Islam Indonesia (UII)

Pada saat dunia masih disibukkan dengan adanya pandemi COVID-19, armada penangkap ikan dengan dukungan kapal bersenjata penjaga pantai milik Cina terus saja menembus ke wilayah Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.

Tindakan yang dilakukan oleh Negeri Tirai Bambu ini adalah bagian dari upaya militerisasi Cina yang semakin meningkat signifikan di Laut Cina Selatan.

Melihat langkah Cina yang tidak kunjung mundur dari wilayah sengketa Laut Cina Selatan tersebut, pemerintah Indonesia baru-baru ini mulai mengganti sikap lunak mereka terhadap Cina dengan mengambil keputusan strategis yang lebih agresif.

Bulan ini, misalkan saja, dalam upaya menunjukkan kekuatan dan keseriusannya, Angkatan Laut Indonesia melaksanakan latihan militer empat hari di dekat Kepulauan Natuna, sebuah wilayah Indonesia di dekat “nine-dash-line”, wilayah Laut Cina Selatan yang diklaim Cina.

“Nine-dash-line” meliputi sekitar 90% dari perairan yang diperebutkan dan terbentang sepanjang 2.000 kilometer dari daratan Cina. Klaim sepihak ini sangat kontroversial dan tidak sesuai dengan aturan yang diakui secara global.

Pada Mei, Indonesia, mengirimkan kembali surat diplomatik dengan menggunakan bahasa yang lebih tegas kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang berisi penolakan atas klaim Cina, menggarisbawahi bahwa hak dan kepentingan maritim Indonesia di Laut Cina Selatan telah dijamin oleh PBB.

Walau ini bukan pertama kalinya Indonesia menegaskan posisinya di Laut Cina Selatan, Direktur Asia Maritime Transparency Initiative Gregory Poling mengatakan bahwa Indonesia berhasil menorehkan sejarah sebagai negara ASEAN pertama yang berani menantang klaim Cina secara tegas.

Namun demikian, sebagai pengamat hubungan Indonesia-Cina, timbul keraguan bahwa keberanian dan keagresifan Indonesia tidak akan berlangsung lama karena ketergantungan negara ini pada Cina yang semakin hari semakin kuat di sektor ekonomi dan militer.

Tumbuhnya hubungan militer

Peristiwa di atas sebenarnya bukan yang pertama kalinya terjadi. Dalam kurun waktu setahun belakangan ini angkatan militer Indonesia juga telah mengambil langkah agresif melawan invasi Cina ke wilayah Indonesia.

Insiden yang paling baru terjadi pada Januari tahun ini, kapal-kapal Indonesia dan Cina terlibat dalam perselisihan setelah kapal penangkap ikan Cina terlihat beroperasi di dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Pemerintah Indonesia merespons dengan meningkatkan status siaga tempurnya serta mengerahkan pesawat tempur F-16 dan kapal laut ke pulau-pulau di dekat perbatasan.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo secara fisik juga turut mengunjungi langsung di wilayah perbatasan dalam rangka demonstrasi kekuatan dan keseriusan Indonesia dalam menyikapi keagresifan Cina di Laut Cina Selatan.

Pasca peristiwa tersebut, angkatan bersenjata Indonesia kemudian mendirikan Pusat Informasi Maritim di pulau-pulau perbatasan untuk melacak dan mencegat setiap kapal yang dianggap berlayar melanggar batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Akan tetapi langkah agresif Indonesia mungkin berakhir sia-sia mengingat hubungan bilateral Indonesia-Cina yang semakin menguat dalam bidang pertahanan dalam beberapa tahun terakhir.

Keraguan tersebut muncul sebagai akibat dari beberapa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Salah satunya yaitu pada Desember 2018, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Jokowi menempatkan seorang jenderal sebagai atase pertahanan di Kedutaan Besar Indonesia di Bejing.

Menyusul pelantikan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan pada 2019, Cina juga merupakan negara pertama yang dikunjungi Prabowo dalam posisinya sebagai menteri.

Pada kunjungan pertamanya tersebut, Prabowo bertemu dengan Jenderal Wei dan Wakil Ketua Komisi Militer Pusat Cina, Jenderal Xu Qiliang, untuk membahas kerja sama pertahanan kedua negara.

Selama pandemi COVID-19 yang sedang melanda dunia saat ini, Indonesia juga berupaya mempertahankan kerja sama militernya dengan Cina dengan menerima bantuan dan pasokan medis.

Pesawat Hercules C-130 milik Angkatan Udara Indonesia membawa sekitar 8 ton peralatan dan alat media dari Cina pada 23 Maret lalu.

Selanjutnya, pada 12 Mei, sebuah pesawat militer Cina yang membawa persediaan medis mendarat di Jakarta.

Pada akhir 2019, Indonesia juga ramai diberitakan berencana untuk membeli kapal patroli Angkatan Laut senilai US$200 miliar atau sekitar RP2.939 triliun dari Cina, meski pada akhirnya dibatalkan karena mendapat tekanan dan kecaman dari Amerika Serikat.

Langkah-langkah agresif yang ditempuh oleh Indonesia mengenai isu Laut Cina Selatan seperti yang telah dijelaskan di bagian awal sangat berpotensi untuk dapat membalikkan arah positif merekatnya kerja sama pertahanan dengan Cina.

Hal inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan, apakah strategi agresif tersebut akan terus dipertahankan atau hanya sementara saja?

Telah menjadi informasi umum bahwa Cina memiliki kekuatan militer modern terbesar dan tercepat serta anggaran pertahanan terbesar kedua di dunia. Berhadapan langsung dengan negara adidaya seperti Cina tentu bukan langkah yang dapat diambil dengan mudah. Sementara di sisi lain, Indonesia juga merasa perlu mempertahankan kemitraan strategisnya dengan Cina sebagai negara dengan hegemoni terbesar di kawasan Asia.

Ketergantungan Ekonomi

Faktor penting lainnya yang dapat mengurungkan langkah agresif Indonesia terhadap Cina adalah karena ketergantungan dari segi ekonomi.

Cina saat ini merupakan negara investor terbesar kedua dan mitra dagang terbesar bagi Indonesia.

Investasi Cina sangat dibutuhkan untuk membantu menghidupkan kembali perekonomian Indonesia, yang diperkirakan tahun depan akan mengalami kelesuan karena pandemi COVID-19.

Banyak proyek Cina yang diprakarsai di bawah payung Belt and Road Initiatives (BRI) sedang dalam tahap proses pembangunan, seperti kereta api berkecepatan tinggi yang menghubungkan Jakarta dan ibu kota Jawa Barat, Bandung.

Meski tidak ada data pasti yang tersedia, masuknya investasi Cina berbanding lurus dengan meningkatnya rasio utang Indonesia ke Cina, yang berada pada sekitar angka US$17,75 miliar.

Angka tersebut menempatkan Cina pada posisi keempat negara yang paling banyak memberikan utang kepada Indonesia.

Kerja sama bilateral ekonomi yang mulai meningkat intensif antara Indonesia dan Cina membuat pemerintah Indonesia memiliki opsi terbatas untuk bertindak agresif di Laut Cina Selatan, kecuali jika memang Indonesia sudah bersiap akan adanya potensi hilangnya mitra dagang terbesar dan salah satu debitur terbesarnya.

Strategi lainnya

Indonesia mungkin perlu melihat sudut pandang lain untuk menghadapi Cina di Laut Cina Selatan.

Salah satunya adalah dengan menyadari bahwa meski Indonesia membutuhkan Cina secara ekonomi, Cina juga mempunyai kepentingan yang membutuhkan peran Indonesia untuk mewujudkannya.

Sebagai contoh, apabila kita melihat peta resmi BRI yang dikeluarkan oleh Cina, Indonesia memegang andil yang sangat penting karena posisinya berada tepat di salah satu titik strategis yang dilalui oleh inisiasi proyek BRI tersebut.

Ini menandakan bahwa pemerintah Indonesia memiliki pengaruh penting dalam realisasi BRI. Dengan demikian, Indonesia dapat memberikan tekanan ekonomi pada Cina jika negara itu tetap bersikeras menempuh langkah militer di Laut Cina Selatan.

Selain itu, hal ini dapat menjadi titik balik bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungannya pada Cina dengan mencoba memperluas kerja sama dengan negara-negara lain, seperti negara-negara Timur Tengah, guna mempertahankan posisi saat ini dan memiliki kedudukan yang lebih kuat ketika berhadapan dengan Cina.

Dikanaya Tarahita menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris.The Conversation

Muhammad Zulfikar Rakhmat, Lecturer in International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: