JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pertemuan tahunan ke-14 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berlangsung di Bangkok, Thailand, pekan ini banyak mendapat sorotan dari kalangan stakeholder sawit di Indonesia. Pasalnya, RSPO yang didirikan pada 2004 dan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan penggunaan produk minyak sawit berkelanjutan lewat standar-standar global yang kredibel, serta melibatkan stakeholder seluas-luasnya, ternyata belum menjalankan standar tersebut.

Padahal, untuk mewujudkan tujuan tersebut, sejak 2005, RSPO telah mengadopsi Prinsip dan Kriteria (P&C). "Namun, meski memasuki umur 14 tahun, RSPO belum memiliki kemajuan yang signifikan atas minyak sawit berkelanjutan  yang menjadi jargon dari inisiatif ini," kata peneliti dari Insitute for Policy Research and Advocacy (ELSAM) Andi Muttaqien dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Rabu (9/11).

Andi mengatakan, berdasarkan mandat pendirian dan standar operasional bagi anggota RSPO tersebut seharusnya kasus-kasus yang diadukan melalui mekanisme RSPO dan kasus yang melibatkan anggota RSPO dapat diselesaikan secara cepat dan efektif. Namun sampai saat ini, kasus-kasus yang masuk untuk diselesaikan melalui mekanisme pengaduan RSPO belum juga memenuhi rasa keadilan korban, apalagi memulihkan hak-hak korban yang terampas. "Hal ini tentu saja akan semakin menghilangkan kredibilitas RSPO," terang Andi.

Hal itu terbukti dari banyaknya kasus yang sudah masuk dalam mekanisme pengaduan RSPO, namun sampai kini tidak tuntas penyelesaiannya. Kasus-kasus yang melibatkan anggota RSPO diantaranya, kasus PT Mitra Austral Sejahtera (Sime Darby Plantation). Perusahaan ini diketahui memasuki wilayah Sanggau, Kalimantan Barat pada 2006 dengan cara melakukan konsultasi  dengan masyarakat untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit.

Masyarakat menerima kesepakatan tersebut dengan persyaratan wilayah yang dijadikan kebun sawit dapat dikelola melalui sistem pinjam pakai selama 25 tahun. Kemudian, apabila perusahan hendak memperpanjang kebun harus melakukan renegosiasi. Berikutnya, perusahaan juga harus membangun sarana prasarana umum seperti rumah sakit, sarana olah raga, gedung sekolah, tenaga listrik  untuk masyarakat. "Namun kesepakatan yang dihasilkan belum terlaksana sampai saat ini," jelas Andi.

Walhi Sulawesi Tengah juga melaporkan adanya pelanggaran oleh PT Wiramas Permai (Kencana Agri Group) di Luwuk, Sulawesi Tengah yang sebagian sahamnya dimiliki oleh  Wilmar Group sebesar kira-kira 30%. Budi Siluet dari Walhi Sulteng mengatakan, perusahaan tersebut mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mengelola perkebunan kelapa sawit, termasuk membangun kebun  bagi masyarakat dan merekrut masyarakat setempat sebagai pekerja (buruh).

Namun dalam perkembangannya, kebun yang dijanjikan tidak pernah terealisasi, bahkan perusahaan ini malah merampas tanah masyarakat yang telah bersertifikat. Masyarakat setempat memang direkrut menjadi pekerja, namun upah mereka dibawah upah minimum regional (UMR). Meskipun mayoritas pekerja PT Wiramas Permai adalah perempuan, namun mereka tidak dilindungi hak-hak reproduksinya seperi cuti haid dan cuti melahirkan.

Berkaitan dengan pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan, masyarakat telah mengadukan permasalahan tersebut kepada Pemerintah Daerah namun tak ada tanggapan. "Terhadap kasus ini, RSPO harus bisa mengevaluasi PT Wiramas Permai karena telah melanggar hukum dan melanggar hak asasi manusia," tegas Budi.

Pelanggaran berikut adalah pelanggaran oleh PT Bangun Nusa Mandiri anak perusahaan Sinar Mas Grup yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak Masyarakat Adat Dayak di daerah Silat Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat. Krissusandi Gunui dari Institut Dayakologi mengatakan, kasus ini bermula saat perusahaan masuk tanpa persetujuan masyarakat dan tokoh masyarakat pada 2008.

Pada saat membuka kawasan perkebunan, perusahaan ini langsung menggusur pekuburan leluhur, ladang masyarakat, dan pedukuhan masyarakat Silat Hulu seluas sekitar lebih dari 600 hektare. Berdasarkan pelanggaran tersebut, sesuai dengan tradisi Masyarakat Dayak, maka mereka melakukan mengajukan tuntutan hukum adat kepada Sinar Mas Group, yang telah dipenuhi perusahaan pada November 2009.

Namun, ternyata perusahaan ini justru melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang dikenal dengan kasus Andi-Japin. "Selain, itu, Sinar Mas Grup juga masih melakukan penggusuran dan tanah yang dikuasai perusahaan sampai saat ini belum juga dikembalikan kepada masyarakat," kata Krissusandi.

Walhi Bengkulu juga melaporkan adanya pelanggaran PT Sandabi Indah Lestari yang menjadi pemasok bagi Wilmar dan Sinar Mas Grup. Beni Ardiansyah dari Walhi Bengkulu mengatakan, perusahaan tersebut telah melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi masyarakat di wilayah operasional mereka karena melakukan intimidasi. Intimidasi ini dilakukan perusahaan ketika masyarakat mengadukan permasalahannya melalui mekanisme RSPO.

Selain kasus ini, perusahaan juga telah mengambilalih tanah para transmigran dan melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang melakukan perlawanan. Kasus lain di Bengkulu adalah PT Agri Andalas yang sampai saat ini belum menyediakan kebun untuk masyarakat sesuai dengan janjinya. "Masyarakat telah mengadukan tindakan PT Agri Andalas kepada Pemerintah Daerah, namun belum ada tanggapan," kata Beni.

"Dalam konteks ini, patut untuk diajukan gugatan terhadap prinsip dan kriteria produksi kelapa sawit yang berkelanjutan, jika CPO yang dihasilkan oleh para pemasok melakukan banyak pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia," tambahnya.

Di Papua, PT Nabire Baru yang merupakan anak perusahaan dari Goodhope Asia Group dan beroperasi di dalam kawasan hutan kecamatan Yaur, kabupaten Nabire, Papua, telah melanggar wilayah ulayat dari masyarakat adat Yerisiam Gua karena menggarap wilayah mereka tanpa kesepakatan. PT Nabire Baru juga telah menghancurkan sistem ekologi di Nabire karena menyebabkan deforestasi, hilangnya sumber makanan dan pendapatan masyarakat Yerisiam Gua.

Selain itu, PT Nabire Baru menjalin kerjasama dengan Brimob untuk menjaga wilayah operasional perusahaan. Atas nama perusahaan, Brimob melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat. Masyarakat Yerisiam Gua telah berulang kali menyuarakan protes dan ketidaksetujuan terkait dengan  pelanggaran hak asasi mereka, namun  tidak satupun direspons secara serius oleh perusahaan atau pemerintah daerah.

MEKANISME PENGADUAN RSPO GAGAL - Kasus-kasus di atas menunjukkan secara empirik bahwa mekanisme pengaduan yang dibangun RSPO gagal menyelesaikan kasus-kasus secara efektif. Sebaliknya mekanisme RSPO malah memproduksi ketidakadilan, karena pemulihan yang menjadi hak korban justru dinegasikan.

"Kasus-kasus di atas juga menunjukkan bahwa dalam menjalankan operasionalnya anggota RSPO masih saja melanggar prinsip dan kriteria yang seharusnya dipatuhi oleh seluruh anggota RSPO untuk mencapai  produksi kelapa sawit yang berkelanjutan," kata Edi Sutrisno dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia.

Kasus-kasus di atas hanyalah puncak gunung es dari beragam kasus pelanggaran hukum, perusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan anggota RSPO dan tidak diproses RSPO meski sudah diadukan sejak lama. Misalnya kasus Kasus-kasus anggota RSPO yang beroperasi di Kalimantan Tengah seperti Sinar Mas, Wilmar Grup dan Bumitama Gunanjaya Agro (BGA)

Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota RSPO terlihat pada dua kasus yang melibatkan perusahaan milik BGA, yaitu PT ASMR dan Bumitama Gunanjaya Agro. PT ASMR membakar hutan dan lahan  pada 2015 yang mengakibatkan bencana asap di Indonesia. Pembakaran hutan juga dilakukan oleh Bumitama Guna Jawa. Bahkan perusahaan ini melakukan manipulasi melalui kriminalisasi terhadap masyarakat dengan bantuan dan kerja sama dengan polisi dan militer.

Selain itu, juga terdapat kasus yang melibatkan 5 dari 7 perusahaan yang dimiliki oleh Wilmar Grup. Kasus ini berkaitan dengan pembakaran hutan yang dilakukan oleh PT KSI dan PT Rimba Harapan Sakti pada 2015. Sementara itu PT KKPS, Mentaya berkonflik dengan masyarakat.  

Edi mengatakan, meskipun kasus-kasus ini sudah diadukan dan masuk dalam mekanisme RSPO namun belum ditanggapi secara serius. Sebagaimana di kasus yang melibatkan perusahaan milik Sinar Mas, meskipun sudah masuk sejak Juni 2015, namun hingga kini belum mendapat tanggapan serius.

"Apabila melihat respon RSPO yang sedmikian lambat, maka dapat dikatakan RSPO justru berkontribusi terhadap produksi konflik dan kerusakan hutan di Indonesia," ujarnya.

Beberapa kasus belum diadukan secara resmi ke RSPO, karena bercermin dari kasus-kasus komplain yang sudah masuk dalam mekanisme yang di bangun oleh RSPO baik melalui DSF dan grievance panel belum menyelesaikan persoalan di tingkat tapak. Bahkan kecendenderungan komunikasi yang dibangun tanpa ada keputusan yang adil dan menghentikan proses komplain yang masih berlangsung walaupun bukti-bukti yang kuat sudah mendukung.

KAMUFLASE HIJAU - Hermawansyah dari Gemawan mengatakan, pada umumnya perusahaan anggota RSPO hanya menempatkan prinsip dan kriteria (P&C) sebagai hal sangat teknis, dimana masalah lingkungan dan sosial hanya menjadi bagian dari skema sertifikasi keberlanjutan pasar yang dipertanyakan. Kebanyakan mereka menjadikan ketentuan RSPO itu sekadar sebagai "Kamuflase Hijau".

"RSPO adalah mekanisme sertifikasi pasar sukarela yang bersembuyi di atas label hijau, namun pada kenyataanya terus menutup mata atas dampak negatif atas tanah, hutan dan hak-hak masyarakat," ujarnya.

Dalam konteks hak asasi manusia, mekanisme RSPO dan keterlibatan anggota RSPO dalam pelanggaran hak asasi manusia di wilayah operasionalnya menunjukkan ketidakpatuhan mereka terhadap Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang telah menjadi komitmen bersama masyarakat internasional. Pilar ke-2 dari prinsip tersebut telah memberikan koridor bahwa setiap perusahaan dalam menjalankan operasional harus menghormati hak asasi manusia.

Caranya dengan tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional perusahaan. "RSPO semestinya dapat mendorong anggotanya untuk menyusun komitmen kebijakan untuk menghormati hak asasi manusia dan mengembangkan instrumen human rights due diligence untuk menghindari berulangnya kembali pelanggaran hak asasi manusia," ujar Hermawansyah.

Di samping itu, Pilar ke-3 Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan HAM menegaskan adanya kebutuhan untuk memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif. Dalam kaitan ini, maka RSPO harus mendorong setiap anggotanya untuk segera menuntaskan setiap kasus yang masuk melalui mekanisme RSPO sebagai bagian dari upaya untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk merespons hak korban untuk mendapakan pemulihan.

"Kami juga mendesak RSPO untuk melaksanakan komitmen setiap anggotanya untuk mematuhi prinsip dan kriteria produksi minyak sawit yang berkelanjutan dalam rangka menghormati hak asasi manusia," pungkasnya.

BACA JUGA: