JAKARTA - Langkah pemerintah mendorong penggunaan energi alternatif untuk meningkatkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT), salah satunya penggunaan biodiesel mendapat tamparan pedas. Program Fatty Acid Methyl Esters (FAME) 30% atau dikenal dengan program B30 yang bertujuan sebagai upaya untuk menekan impor bahan bakar minyak justru dianggap sesat pikir dan malah memboroskan anggaran.

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan bahwa cara melihat dan berfikir pemerintah dalam program biodiesel tidak benar dan kacau. Kebijakan program biodiesel B30 ini bertujuan untuk menghemat anggaran, mengurangi subsidi dan upaya mengatasi ancaman boikot produk sawit dari dunia sehingga dibuat pasar biodiesel dalam negeri.

Faisal menjelaskan dalam perspektif ekonomi, berdasarkan research yang dilakukannya secara pribadi dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia baik secara konseptual, teoritis akademis, yang menjadi tujuan pemerintah yakni adanya penghematan itu tidak sepenuhnya benar.

"Jadi cara pemerintah melihat itu agak-agak ngacau. Jadi pengertian menghemat pemerintah itu, agak sesat pikir," kata Faisal dalam diskusi webinar yang diadakan oleh The Conversation ELSAM, dengan tema Biodiesel B30: Progress dan Tantangan di Hilir secara daring, yang diikuti oleh Gresnews.com, Kamis (27/5/2021).

Kemudian, Faisal memberi gambaran bila negara mengimpor solar seratus kemudian setelah memasukkan biofuel 30% (B30) maka berhemat 30%. Namun, ia menegaskan bahwa perhitungan ekonominya tidak seperti itu.

"Jadi perhitungannya menggunakan opportunity cost. Jadi gara-gara saya menghasilkan CPO untuk Biodiesel, saya kehilangan kesempatan untuk mengimpor biofuel. Jadi saya harus menghitung kehilangan devisa gara-gara kita tidak mengekspor CPO. Kalau itu dihitung semua bukannya menghemat tapi buntung," jelasnya.

Menurutnya, pertama sebetulnya tidak terjadi penghematan devisa karena untuk menghemat devisa 1 dollar, dibutuhkan Rp20.000, yakni biaya produksi B30. Padahal kurs 1 dollar saat ini sebesar Rp14.500 sehingga ada selisih minus.

Kedua, subsidi menurun. Subsidi solar menurun itu sementara waktu saja karena harga CPO ini lebih mahal. Sementara pemerintah menjamin produsen biodiesel ini tidak boleh rugi.

"Jadi Martua Sitorus (pengusaha sawit) orang kaya itu tidak boleh rugi. Jadi bukan melindungi rakyat kecil tapi melindungi konglomerat," ujar Faisal.

Faisal melanjutkan, agar tidak rugi, pengusaha itu dikasih "subsidi dari dana sawit". Pemerintah sudah mengalokasikan dana sebesar Rp2,78 triliun tahun 2020, terlepas dipakai atau tidak. Tapi sudah dialokasikan dana, namanya pemulihan ekonomi nasional, untuk Marwat Sitorus dan kawan-kawan itu. "Itu yang saya tidak ikhlas," cetusnya.

Ketiga, kata Faisal, petani selalu dirugikan secara teoritis dengan penerapan pajak ekspor atau bea keluar dana sawit itu. "Petani selalu dirugikan, bisa dibuktikan segera teoritis dan empiris," tuturnya.

Sebelumnya, Ekonomi UI tersebut menyampaikan latar belakang dibuatnya program biodiesel B30 antara lain, pertama program B30 ini dipicu oleh defisit migas yang luar biasa besar, di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai US$28 miliar.

"Jadi impor kita jauh melebihi ekspor karena produksi migas kita turun terus. Sementara konsumsi meningkat luar biasa. Indonesia tergolong negara yang konsumsi energinya itu tumbuh sangat tinggi. Karena PDB-nya kan masih naik 5% kemudian pemerintah ingin mengurangi defisit, menghemat impor minyak dan produk minyak," jelasnya.

Kedua, khususnya untuk biodiesel ini ada ancaman boikot produk-produk sawit didunia. Sehingga mau tidak mau untuk membantu dampak dari boikot ini diciptakan pasar di dalam negeri.

Sementara itu, lanjut Faisal, tahun pertama Joko Widodo jadi presiden yang dilakukan adalah menurunkan subsidi BBM secara signifikan sehingga alokasi kebutuhan anggaran lain-lain terutama infrastruktur bisa meningkat.

Namun dalam pelaksanaannya dapat dilihat ada beberapa yang harus dicermati, sejauh ini perkembangannya hanya baru sampai B30, tahun 2021 ini belum diterapkan B40.

Ia menjelaskan untuk menerapkan B40 itu diperlukan tambahan 1,5 juta kiloliter (kl) dari kebutuhan saat ini sebesar 9,5 juta kL. Artinya memerlukan kapasitas kilang yang lebih besar. Namun masih mencukupi dengan kapasitas kilang yang ada saat ini yakni 12,5 juta kl.

Jadi sebenarnya masih bisa kalau dilihat dari segi pasokan untuk ke B40. "Namun ada masalah karena nanti Pertamina pasokan solarnya berlebih. Mau dibawa kemana? Dijual agak sulit karena pasokan didunia ini melimpah," ujar Faisal.

Jadi kelihatannya pemerintah akan berhenti untuk sementara di B30 untuk menjaga keseimbangan. "Jadi ini yang perlu diperhatikan," tukasnya.

Sementara Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Roichatul Aswidah menegaskan pentingnya pengembangan biodiesel yang tidak merusak lingkungan, alam, tidak merusak lahan gambut dan tidak menindas hak-hak pekerjaan, hak-hak petani.

"Jadi sebenarnya, kita mengembangkan energi bersih, energi terbarukan adalah energi bersih. Dia keluar dari energi kotor, energi fosil. Kemudian ini menjadi komitmen internasional bahwa kita ada transisi dari energi kotor menjadi energi bersih, energi terbarukan," kata Roi dalam diskusi yang sama.

Persoalannya adalah salah satu maksud dan tujuan pengembangan energi ini adalah soal lingkungan. Dimana diharapkan kontribusi untuk menyelamatkan lingkungan dan alam, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang. Intinya ada upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Kalau maksud dan tujuannya begitu, kata Roi, maka proses pengembangan energi terbarukan itu harus bersih. Dia harus melindungi lingkungan dan juga harus melindungi hak sosial dan hak asasi manusia. Dia tidak boleh mengingkari maksud dan tujuannya. Karena maksudnya ingin melindungi lingkungan maka prosesnya juga tidak boleh mengorbankan lingkungan.

"Oleh karena itu, muncullah prinsip soal NDPE (No Deforestation, Peat and Exploitation). Karena kalau deforestasinya meningkat maka kemudian ada emisi gas rumah kaca. Kalau lahan gambutnya hilang maka lingkungan juga sama," jelasnya.

Mengenai eksploitasi, kata Roi, di mana dalam komitmen internasional bahwa semua proyek umat manusia tidak boleh mengorbankan hak sosial utamanya hak asasi manusia.

Sehingga terkait dengan proyek B30 ini maka tidak boleh mengorbankan hak asasi manusia. Termasuk dalam hal ini eksploitasi. Eksploitasi di sini selain buruh tetapi juga soal petani kecil masyarakat lokal, masyarakat adat.

"Masyarakat internasional dan kita juga mempunyai komitmen besar melalui MDGs kita ingin mensecure bukan hanya generasi sekarang tapi juga generasi mendatang dengan proyek MDGs itu termasuk hal ini energi terbarukan, yaitu goal 7. Dan proyek ini harus melindungi lingkungan dan juga hak asasi manusia," terangnya.

Hal itu penting, menurutnya karena dalam pengalaman dibeberapa negara proyek energi terbarukan ternyata meminta harga pengorbanan lingkungan dan hak asasi manusia.

Misalnya hasil research dari bisnis and human centers dari beberapa proyek solar panel di negara Amerika Latin dan Amerika Selatan. Mereka meminta pengorbanan dari sisi hak asasi manusia dimana lingkunganya juga tidak terjaga.

"Itu yang harus ditekankan karena memang di endnya itu dari proyek ini tetap adalah manusianya atau konsumennya," tekan Rio.

Kemudian proyek biodiesel ini memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat sebagai konsumen. Guna melindungi hak para konsumen itu sendiri serta lingkungan.

"Kemudian mereka harus tahu, ini proyek berjalannya seperti apa sih? Ini yang penting sehingga menjadi terbuka dan transparan," tuturnya.

Selain itu, menurut Roi, proyek ini menjadi penting karena tantangannya memang luar biasa. Terutama berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja, yang dalam beberapa hal mengatur hulu.

"Tetapi pembacaan hasil UU Cipta Kerja sebuah habitat atau kondisi yang agak melemah dari sisi penghormatan hak asasi manusia dan lingkungan," pungkasnya.

Sementara itu, Manager Product & Services Development, PT Pertamina, Remigius Choerniadi Tomo membicarakan mengenai komitmen Pertamina dalam menjamin energi bersih dari hasil pengembangan biodiesel B30.

Choer mengatakan bahwa penerimaan kuota biodiesel seberapa besar ke Pertamina itu bukan wewenang Pertamina tapi wewenang pemerintah sepenuhnya.

"Oleh karena itu, kriteria energi bersih, apakah biodiesel yang dipasok ke Pertamina telah memenuhi kriteria-kriteria bersih, sustainable, terlacak maka sepenuhnya itu wewenang Pemerintah," kata dia dalam diskusi.

Menurut pengetahuannya, pemerintah telah menetapkan beberapa standar untuk perkebunan kelapa sawit agar memenuhi kriteria-kriteria energi bersih.

Misalnya ada Indonesia Standar Palm Oil (ISPO), beberapa perusahaan kelapa sawit telah mendapatkan sertifikasi Internasional Sustainability and Carbon Sertification.

"Sayangnya didunia barat, negara maju yang menjadi tujuan ekspor biodiesel terbesar, Indonesiam ISPO ini sepengetahuan saya ini belum diakui," jelasnya.

Sementara Internasional Sustainability and Carbon Sertification ini telah diadopsi lama dan segera digantikan oleh standar baru di renewable energi. "Sehingga kita kehilangan mendapatkan peluang benefit," tuturnya.

Kemudian, Choer melanjutkan, bila dilihat dari energi bersih yang lebih besar bahwa energi bersih yang sekarang dikaitkan dengan Paris Agreement. Misalnya, menjaga agar polusi bisa ditekan, emisi CO2 bisa ditekan.

Disini ada istilah didunia renewable energi teknologi dan teknologi lingkungan yang sudah umum yang disebut carbon intensity yang menjadi paradigma global untuk mengukur rating decarbonisasi, yang menjadi filosofi utama energi bersih dan berkelanjutan.

Menurut dia, di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat untuk produk-produk yang telah tersertifikat, artinya bisa mengeluarkan emisi karbon dioksida dibawah 50% dari energi fosil fuel itu akan mendapatkan harga premium.

"Konsumen dengan sendirinya tergerak membeli bahan bakar bio fuel bahkan sudah mengakomodir perbedaan nilai kalor," pungkasnya. (G-2)

BACA JUGA: