JAKARTA - Industri sawit memberikan keuntungan besar bagi pebisnis dan negara, tapi keuntungan tersebut tidak terlihat dalam realitas kehidupan buruh. Para buruh sawit mengalami kondisi kerja dengan praktik eksploitatif di perkebunan sawit. Ditambah lagi menjadi pekerja tanpa kepastian status, beban kerja berat, target harian yang mustahil dicapai, diskriminasi terhadap buruh, penggunaan buruh harian lepas, jaminan sosial yang tidak memadai, serta tekanan atas kebebasan berserikat.

"Besarnya kekuasaan perkebunan, lemahnya pengawasan negara serta kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada buruh semakin memposisikan buruh perkebunan sawit tidak berdaya," demikian pernyataan Koalisi Buruh Sawit (KBS) yang diterima Gresnews.com, Kamis (5/12). Koalisi ini adalah gabungan sejumlah organisasi serikat buruh dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki tujuan bersama untuk mewujudkan kesejahteraan buruh perkebunan sawit di Indonesia. Koalisi Buruh Sawit berdiri dilatarbelakangi keprihatinan atas kondisi buruk buruh perkebunan sawit di Indonesia.

Korban utama dari sistem kerja eksploitatif di perkebunan sawit adalah perempuan. Koalisi Buruh Sawit mencatat sebagian besar dari 18 juta buruh perkebunan sawit merupakan buruh prekariat atau dikenal dengan nama Buruh Harian Lepas (BHL), di mana sebagian besar BHL adalah perempuan. Sering kali perempuan yang bekerja di perkebunan sawit dianggap tidak ada, padahal proses produksi sangat dipengaruhi oleh keberadaan perempuan.

Perempuan mengerjakan 15 dari 16 jenis pekerjaan di perkebunan sawit, termasuk mengutip berondolan dan mengangkat buah ke TPH, namun tidak mendapatkan mendapatkan hak-hak yang selayaknya didapatkan. Sebagian besar buruh perempuan bekerja tanpa mendapatkan hak-hak sebagai buruh, kepastian kerja, dokumentasi ikatan kerja, upah minim maupun perlindungan kesehatan memadai.

Temuan KBS di perkebunan sawit di mana perempuan menjadi BHL dengan masa kerja lebih dari dua tahun, bahkan ada yang sampai belasan tahun. Buruh perempuan dipekerjakan untuk melakukan penyemprotan, pemupukan, pembersihan areal, mengutip berondolan, dan pekerjaan lainnya yang ironisnya tidak dianggap sebagai pekerjaan inti di perkebunan sawit. KBS mencatat praktik mempekerjakan perempuan tanpa hak-hak permanen terjadi di perkebunan sawit di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Selain hubungan kerja prekariat, perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja buruh perempuan perkebunan sawit juga sangat minim. Tidak semua perkebunan sawit menyediakan alat pelindung diri yang memadai, padahal pekerjaan buruh perempuan seperti menyemprot dan memupuk sangat rentan terpapar zat kimia beracun.

Perusahaan tidak menyediakan informasi tentang potensi dampak dan bahaya dari zat kimia yang digunakan, juga tidak memberikan pelatihan tentang bagaimana menggunakannya secara tepat dan cara untuk menghindari bahaya kesehatan. Akibatnya, buruh perempuan yang bekerja sebagai penyemprot rentan mengalami kecelakaan kerja atau mengalami penyakit akibat kerja seperti gangguan pernafasan, tangan terbakar, pusing, mata kabur bahkan buta.

Industri sawit di Indonesia memang mengidap masalah serius. Di hulu terjadi konflik agraria perkebunan sawit dengan masyarakat, tumpang tindih perizinan, konversi lahan, kondisi buruk buruh; sementara di hilir, produksi minyak sawit Indonesia masih sangat tergantung pada permintaan luar negeri. Sebagian besar produk CPO Indonesia (80%) diekspor ke luar negeri.

Di level internasional, pemerintah Indonesia menyatakan keberatan atas perlakuan Uni Eropa yang mendiskriminasi minyak sawit Indonesia. Parlemen Uni Eropa pernah mengeluarkan resolusi soal sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit karena dinilai masih menciptakan banyak masalah deforestasi, korupsi, pekerja anak, dan pelanggaran HAM. Resolusi tersebut ditanggapi secara negatif oleh pemerintah Indonesia. Meskipun terjadi penurunan nilai ekspor ke beberapa negara di Eropa, namun kinerja ekspor Indonesia di Eropa secara umum tak terpengaruh secara signifikan.

KBS meminta pemerintah Indonesia lebih baik lagi menata sistem perburuhan yang menempatkan buruh sebagai subjek yang hidup layak. Indonesia sudah memiliki regulasi yang mengatur perlindungan buruh. Namun, regulasi perburuhan tersebut tidak serta merta dapat melindungi buruh. Upah murah, hubungan kerja tidak jelas, pemberangusan serikat buruh, minimnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja buruh merupakan tema besar yang sering disuarakan oleh buruh perkebunan sawit.

Regulasi perburuhan di Indonesia masih lemah dalam hal melindungi buruh perkebunan sawit. Regulasi perburuhan Indonesia yang sekarang ada tidak dapat mengakomodasi perbedaan kondisi buruh, utamanya antara buruh di sektor manufaktur dan buruh di sektor perkebunan kelapa sawit. Adanya regulasi yang secara khusus mengatur hubungan kerja di perkebunan sawit harus dipandang sebagai suatu upaya serius Indonesia untuk memastikan hak-hak buruh dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. (G-2)

BACA JUGA: