JAKARTA - Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dalam semester 1 Tahun 2021 menunjukkan kenaikan 4,08% secara point to point. Salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan harga CPO ini adalah kebijakan baru di India yang memperbolehkan impor produk olahan CPO (refined palm oil) selama enam bulan ke depan. Status impor diubah dari restricted menjadi free.

Polemik di dunia sawit bukan hanya persoalan lingkungan semata melainkan juga ada persoalan harga dan produktivitas. Selama ini harga CPO masih ditentukan oleh harga CPO global padahal Indonesia adalah negara produsen terbesar CPO didunia.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat Manurung menjelaskan naik turunnya harga sawit (tandan buah segar/TBS) sangat dipengaruhi oleh harga CPO Global. Namun harga TBS naiknya perlahan-lahan dan sedikit-sedikit (Rp25-40/kg TBS).

"Untuk menaikkan harga yang per bulan Januari sampai April dari Rp2.300 ke Rp2.600 sangat lama (4 bulan). Tapi sekali turun langsung terjun bebas dalam waktu 1 minggu," kata Gulat kepada Gresnews.com, Sabtu (3/7/2021).

Menurut Gulat, penentuan harga CPO secara global banyak ditentukan oleh negara importir, ini sangat tidak masuk akal. Sebagai produsen CPO terbesar di dunia seharusnya bisa menentukan harga CPO dunia. Tapi faktanya selalu mengekor dengan Malaysia dan diatur-atur oleh negara importir.

Dia menuturkan soal penentuan harga tersebut itu dapat mempengaruhi pendapatan para petani sawit dalam negeri. Di mana para petani harus menjual pada harga lebih murah.

Untung saja ada program Biodiesel B30 sehingga sedikit menaikkan daya tawar CPO Indonesia, karena dengan B30 maka serapan dalam negeri bertambah. Akibatnya kelimpahan CPO Indonesia berkurang sedikit (9,2 juta ton CPO untuk campuran B30 di tahun 2020 lalu).

"Inilah salah satu kata kunci menjaga harga CPO Global, yaitu tingkatkan serapan domestik," tambah dia.

Jadi, kata Gulat, petani sawit supaya berkurang ketergantungan terhadap naik turunnya harga CPO dan harus masuk ke lini hilirisasi serta harus menjadi bagian rantai pasok bahan baku B30. Sedangkan untuk korporasi silahkan mengurusi ekspor CPO.

"Sepanjang petani hanya menjadi penghasil TBS maka selamanya harga TBS Petani akan dikatrol (pembatasan keuntungan harga TBS)," kata dia.

Selain itu, Gulat juga menerangkan mengenai hambatan yang dialami para petani swadaya untuk meningkatkan taraf ekonominya. Hambatan utama adalah masih berkecimpung di Kawasan hutan yang tidak berkesudahan permasalahannya sejak Indonesia merdeka.

"Memang sudah UUCK dan turunannya namun menurut kami masih meninggalkan permasalahan yaitu masalah denda dan teman-teman Petani yang tidak terakomodir dalam UUCK tersebut," terangnya.

Gulat pun menuturkan, sepanjang ini tidak diselesaikan secara menyeluruh maka sepanjang itu pula isu lingkungan akan menjadi jualan politik dagang.

"Harusnya hutan dan sawit saling berangkulan, sepertinya sawit itu kayak anak tiri yang selalu serba salah, padahal sawit adalah penyelamat perekonomian (penghasil devisa)," tuturnya.

Hambatan lainnya adalah banyaknya kementerian yang mengurusin sawit. Lima Kementerian saling ambil peran dan sekaligus pula saling meniadakan, ini tentunya sangat mengganggu. Harusnya satu kementerian khusus mengurusi sawit atau Lembaga khusus.

"Saat ini di Indonesia, sawit hanya di urus selevel Kasubdit (Ess III), menyedihkan. Dengan hanya selevel Kasubdit maka sejauh apalah yang bisa dikerjakan oleh seorang Kasubdit Sawit di Direktorat Perkebunan untuk menolong dan memperhatikan Petani Sawit yang tersebar dari Sabang sampai Merauke?" ungkapnya.

Gulat menjelaskan hambatan utama Petani sawit dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan Hukum Tata Kelola Kehutanan, dan yang paling dominan adalah hukum dan tatakelola. Jika hukum dan tatakelola ini bisa diselesaikan maka praktis akan menyelesaikan secara global permasalahan petani sawit.

Kalau dampak ekonomi sosial dan ekologi, petani sawit itu sangat bagus. Perlu di catat bahwa efek ganda sawit petani dengan korporasi adalah 1 ha berbanding 2.500 ha. Artinya efek ekonomi, sosial dan ekologi sawit petani itu sudah terasa dengan perkebunan sawit yang dikelola oleh petani.

Adapun hambatan utama lainnya yaitu, hukum dan Tata Kelola Kehutanan, Tataniaga TBS, Hilirisasi yang hanya dimonopoli oleh korporasi.

"Kami sangat mensyukuri dengan lahirnya UUCK dan turunannya. Meskipun harus dikaji lagi beberapa hal terutama tentang petani yang wajib tinggal dikebun yang dalam kawasan hutan dan besarnya denda. Jika denda tidak dibayar 3 tahun kedepan maka persoalan baru akan datang menghantui petani," pungkasnya.

Perlu Revitalisasi Sawit

Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berupaya meningkatkan kesejahteraan petani melalui berbagai program. Salah satunya adalah program peremajaan sawit rakyat (PSR) dengan target 180 ribu hektare per tahun.

Direktur Penyaluran Dana BPDPKS Edi Wibowo sebelumnya menjelaskan program penanaman kembali atau replanting mengikuti prinsip keberlanutan yang meliputi tanah, konservasi, lingkungan dan lembaga.

Ia menjelaskan peremajaan sawit ini diperlukan untuk meningkatkan produktivitas. Standar produktivitas untuk program penanaman kembali ini dikisaran 10 ton tandan buah segar/ha/tahun dengan kepadatan lebih dari 80 pohon/ha.

Sementara itu Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyatakan BPDPKS harus segera melakukan perbaikan data mengenai program PSR karena datanya simpang siur. Sehingga dengan perbaikan data itu didapat data valid dan bisa dipertanggungjawabkan serta tidak lagi terjadi perselisihan tentang data PSR ke depannya.

"Profil pekebun dan lahan yang tidak akurat dan kurang valid hingga sekarang, masih ada perselisihan. Akan selalu menjadi masalah jika tidak segera diselesaikan. Satu hal penting adalah tentang pendataan. Dan ini harus menjadi fokus supaya bantuan ini, bisa ditelusuri dengan benar dan tepat," kata Anis.

Ia menilai BPDPKS selama ini tidak memberikan tempat petani dalam perekonomian kelapa sawit. Padahal petani swadaya itu telah mengelola lebih dari 40 persen luas perkebunan sawit secara nasional. Sehingga luas lahan yang dikelola petani swadaya itu mencapai 14,3 ribu hektar. Tapi para petani itu memiliki permasalahan legalitas lahan karena kurangnya bantuan dana dari pemerintah.

Anis membandingkan antara petani Indonesia dengan Malaysia mengalami perbedaan yang jauh. Malaysia lebih berproduktif dua kali lipat dari Indonesia. BPDPKS diharapkan mampu menyelesaikan persoalan tersebut.

BPDPKS memaparkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2022 antara lain, Peremajaan Sawit Rakyat untuk peningkatan alokasi dana menjadi Rp30 juta per hektar dan target luasan menjadi 180 ribu hektar.
Kemudian, meningkatkan koordinasi dengan KLHK, ATR/BPN, dan kepala daerah berkaitan kesiapan penerima dana.

BPDPKS juga akan menjalin kemitraan dengan perusahaan inti, dengan pekebun plasma atau swadaya untuk pengajuan dana PSR langsung sesuai arahan Komite Pengarah, menggunakan tenaga surveyor dalam proses verifikasi data calon penerima atau calon lokasi dana PSR, mendukung dana secara swakelola terhadap operasional program PSR di Ditjenbun dan Disbun. Lalu memaksimalkan dan menyempurnakan aplikasi PSR online.

Sementara itu, anggota Komisi XI Fraksi PDIP Sihar PH Sitorus mengaku tak tahu berapa persen yang gagal dari peremajaan sawit rakyat selama ini, dan kenapa BPDPKS hanya memberikan Rp30 juta sedangkan membuat kebun sawit itu mencapai Rp55 juta-Rp60 juta.

Banyak masyarakat yang memberikan masukan kepada Komisi XI, "Kami tidak mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) karena kami tidak memiliki sertifikat tanah," ujarnya.

Menurutnya, cukup banyak petani yang belum mempunyai sertifikat tanah, yang menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan dana ini. (G-2)

BACA JUGA: