JAKARTA - Koalisi Buruh Sawit (KBS) meminta pemerintah Indonesia untuk menata sistem perburuhan yang menempatkan buruh sebagai subjek yang hidup layak. Secara khusus, diskriminasi dan kerentanan buruh perempuan di perkebunan sawit harus dihentikan.

“Regulasi perburuhan di Indonesia masih lemah dalam hal melindungi buruh perkebunan sawit,” kata Koordinator KBS Zidane kepada Gresnews.com, Minggu (8/3), melalui surat elektronik.

KBS adalah gabungan sejumlah organisasi serikat buruh dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki tujuan bersama untuk mewujudkan kesejahteraan buruh perkebunan sawit di Indonesia. Pernyataan bersama itu diluncurkan dalam rangka Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap 8 Maret.

KBS mencatat setidaknya 60% dari total jumlah buruh perkebunan sawit adalah perempuan, sebagian besar adalah buruh prekariat, buruh perempuan yang bekerja tanpa mendapatkan hak-hak permanen sebagai buruh, tanpa kepastian kerja, tanpa dokumentasi perikatan kerja, upah minim dan tanpa perlindungan kesehatan memadai.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware mengatakan korban utama dari sistem kerja eksploitatif di perkebunan sawit adalah perempuan. “Kami melihat itu sebagai bentuk diskriminasi terhadap buruh perempuan,” kata Inda.

Ridho dari Serikat Buruh Perkebunan Indonesia menyatakan kondisi eksploitatif yang dihadapi buruh perempuan di perkebunan sawit sudah berlangsung lama. Investigasi KBS di sejumlah perkebunan sawit di Indonesia menemukan fakta pemanfaatan buruh dengan status prekariat pada pekerjaan perawatan.

Perempuan dipekerjakan sebagai buruh harian lepas (BHL) dan kontrak sampai belasan tahun. Perempuan dipekerjakan untuk melakukan penyemprotan, pemupukan, pembersihan areal, mengutip berondolan, dan pekerjaan lainnya yang ironisnya tidak dianggap sebagai pekerjaan inti di perkebunan sawit.

“Tidak ada kepastian mereka masih akan bekerja besok dan karena itu tidak ada kepastian memperoleh upah. Jelas bahwa kondisi ini merupakan pelanggaran terhadap hak buruh atas kepastian kerja dan upah,” kata Ridho.

Perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja buruh perempuan perkebunan sawit juga sangat minim. Tidak semua perkebunan sawit menyediakan alat pelindung diri yang memadai, padahal pekerjaan buruh perempuan di bagian perawatan rentan terpapar zat beracun. Perusahaan perkebunan sawit tidak menyediakan informasi tentang potensi dampak dan bahaya dari zat kimia yang digunakan.

“Kami menemukan sejumlah kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja akibat perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja tidak memadai,” kata Kepala Departemen Organisasi DPP GSBI Ismet Inoni.

Komitmen pemerintah dan korporasi dalam perlindungan buruh perkebunan sawit, khususnya buruh perempuan masih rendah. Pemerintah, misalnya, dalam semua pembahasan tentang industri kelapa sawit, hal-hal perlindungan buruh tidak pernah disinggung. Justru malah mengeluarkan kebijakan yang akan semakin memperburuk kondisi kerja. Perluasan sektor pekerjaan alih daya di Omnibus Law Cipta Kerja, misalnya, hanya akan memperpanjang kerentanan buruh perempuan di perkebunan sawit.

Perempuan buruh harian lepas selamanya tidak akan pernah menjadi buruh tetap. Di sisi lain, komitmen korporasi akan praktik kerja yang adil dan layak hanya di atas kerja saja, di lapangan situasinya justru bertolak belakang”, kata Andi Akbar dari Trade Union Rights Centre (TURC).

Sementara itu, Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan meningkat 792% atau meningkat hampir delapan kali lipat dalam 12 tahun terakhir. Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang 2019 mencapai 431.471 kasus. Jumlah ini meningkat 6% dari tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 406.178 kasus.

Catatan kasus sebagian besar bersumber dari kasus yang ditangani pengadilan agama sebanyak 421.752 kasus, disusul mitra Komnas Perempuan dan pengaduan langsung ke Komnas Perempuan.

Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin memperkirakan jumlah kasus di lapangan lebih besar daripada yang dapat tercatat dan ditangani lembaganya.

"Bahwa dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792% atau hampir 800%. Yang artinya kekerasan terhadap perempuan Indonesia meningkat hampir delapan kali lipat," jelas Mariana di Jakarta, Jumat (6/3), seperti dikutip voaindonesia.com.

(G-1)

 

BACA JUGA: