JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komponen masyarakat dari berbagai daerah dari Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan Jawa Barat mengadukan persoalan yang dihadapinya kepada komisi VII DPR. Mereka mengadukan terkait massifnya pembangunan pabrik semen yang merusak lingkungan dan sumber air yang menjadi sumber penghidupan dan aktivitas pertanian masyarakat.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatam) Merah Johansyah yang mendampingi warga mengungkapkan, pembangunan pabrik semen di beberapa daerah cenderung eksploitatif dan melebihi batas. Merah melihat, eksplorasi beberapa pabrik semen itu tidak lagi bertujuan memenuhi kebutuhan semen nasional melain eksploitasi dengan mengorbankan lingkungan hidup warga.

Dia mencatat produksi semen nasional itu 112 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri hanya 63 juta ton. Artinya, saat ini Indonesia sedang surplus pasokan semen. "Kalau produksi semen terus digenjot, pembongkaran kawasan pegunungan karst itu terus dilakukan ini untuk melayani siapa?," tanya aktivis tambang yang akrab dipanggil Merah, di Ruang Komisi VII Komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (23/2).

Karena itu, dia menyampaikan persoalan tersebut ke Komisi VII agar ada perhatian serius DPR untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan pembangunan pabrik semen tersebut. Menurut Merah, DPR selaku lembaga yang mengawasi pemerintah bisa menjalankan fungsi pengawasan dan fungsi legislasinya.

"Kami mengharapkan kasus yang disampaikan bisa ditindaklanjuti terkait dengan Kementerian BUMN dan Kapolri dan bannyak kriminalisasi terhadap warga. Bisa ada rapat lagi dan gubernur yang melanggar," kata Merah.

Selain itu, Merah berharap DPR juga bisa mendorong pemerintah untuk melakukan moratorium perusahaan tambang semen. Dengan begitu, kasus-kasus yang dihadapi masyarakat terkait penolakan terhadap pertembangan dan kriminalisasi tidak berulang lagi.

KELUHAN WARGA - Gunarti, warga pegunungan dari Sukolilo yang menolak pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng juga mengungkapkan keresahannya terhadap pembangunan yang dilakukan Semen Indonesia. Meskipun warga telah memenangkan gugatan pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht), namun tindakan kriminalisasi terhadap warga terus berlangsung.

Pada tanggal 8 Februari 2017, sambung Gunarti, warga sempat menghadang lantaran izin telah dicabut sesuai putusan MA tapi terus beroperasi lalu ada pembakaran tenda warga dan musholla. Tindakan refresif itu telah dilaporkan ke Polda Jawa Tengah namun tidak ada diproses oleh Polda.

"Malah sekarang ada enam penggugat dari warga malah dilaporkan dituduh memalsukan tanda tangan. Ini kami laporkan karena kami ingin tetap bertani dan pegunungan Kendeng biar tetap utuh," keluh Gunarti saat menyampaikan keluhannya di hadapan Komisi VII, Kamis (23/2).

Hal yang sama juga diungkap Iwan perwakilan dari Maros, Sulawesi Selatan beberapa ancaman ketika Karst Maros tetap dilanjutkan. Menurut Iwan, ada ancaman sumber daya alam (air) karena karst merupakan penyangga air terbaik.

"Lebih dari 25 persen kebutuhan air kita disangga oleh keberadaan kawasan Karst," terangnya," kata Iwan ditempat yang sama.

Selain itu, Karst Maros Pangkep juga merupakan jejak sejarah peradaban dunia yang sedang diteliti. Maros Pangkep juga memiliki aspek sumber peradaban tertua di dunia yang merupakan situs peradaban yang mesti dilindungi.

Sementara itu, pihak Komisi VII berjanji akan menindaklanjuti keluhan yang disampaikan warga. Baik soal proses pembangunan pabrik semen yang telah dibatalkan MA, maupun tindakan kriminalisasi yang dilakukan terhadap warga yang melakukan penolakan eksploitasi pegunungan Kendeng, Jawa Tengah.

"Nanti kita akan panggil pihak Semen Indonesia. Khusus untuk Karst ini, kita akan lakukan kunjungan spesifik dengan mengikutsertakan pihak terkait seperti KLHK, ESDM terutama yang teknis geologis ESDM-nya," kata Mukhtar Tompo.

BACA JUGA: