JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo bakal melebur dua kementerian yaitu kementerian kehutanan dan kementeria lingkungan hidup menjadi Kementerian LH dan Kehutanan. Rencana ini sejatinya merupakan respon pihak Jokowi-JK terhadapnya tumpang tindihnya pengelolaan kehutanan yang kerap bertabrakan dengan isu lingkungan semisal moratorium pembukaan lahan sawit dan tambang di areal hutan.

Hanya saja, kalangan aktivis lingkungan juga menilai ide menggabungkan dua kementerian tersebut bukanlah gagasan yang bijak. Hal itu juga dianggap bukan merupakan respon positif Presiden Jokowi terhadap penguatan KLH. Dalam pertemuan antara Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Jokowi selaku calon presiden pada 12 Mei 2014 lalu, jelas WALHI pernah meminta dalam periode pemerintahan baru nantinya diperlukan penguatan KLH.

Salah satu usulan yang mengemuka ketika itu adalah KLH dijadikan kementerian portofolio dengan memasukkan tata ruang, konservasi dan pengelolaan kawasan khusus seperti pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) sebagai bagian dari kewenangan KLH. Selain itu peran KLH juga diperkuat dengan sistem peradilan lingkungan hidup.

Sedangkan Kementrian  Kehutanan difokuskan pada tata produksi kehutanan seperti logging, hutan tanaman industri, perhutanan sosial/hutan kemasyarakatan. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hak tenurial diserahkan kepada Kementerian Agraria.

Nah dengan justru menggabungkan KLH dan Kemenhut, WALHI menilai, Jokowi malah berkhianat pada komitmennya itu. "Permintaan pertimbangan DPR oleh Presiden terkait dengan penggabungan KLH dan Kehutanan mengindikasikan komitmen presiden memperkuat institusi pemerintah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengalami degradasi dari yang semula di janjikan," ucap Pengkampanye Walhi Nasional Edo Rakhman kepada Gresnews.com, Kamis, (23/10).

Dengan menggabungkan kedua kementerian itu, kata Edo, potensi penumpukan wewenang di satu kementerian yang menggabungkan eksploitasi dan konservasi/perlindungan akan mengakibatkan ketidakkeseimbangan dalam pengambilan keputusan di tengah kuatnya paradigma eksploitasi saat ini. "Paradigma ini dipengaruhi oleh kuatnya pandangan bahwa konservasi/perlindungan sebagai biaya, sementara eksploitasi sebagai penerimaan keuangan negara," ujarnya.

Penggabungan ini sesungguhnya malah seperti menghilangkan KLH, bila dikaitkan perangkat hukumnya seperti penerbitan PP 71 tentang kewenangan KLH menentukan kawasan budidaya pada kawasan gambut serupa dengan kemenhut dengan UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Jelas bahwa fungsi kendali dan eksekusi KLH akan semakin samar karena tercampur dengan kewenangan pemberian izin.

"Kalau ditarik ke UU No 32/2009 tentang sanksi terhadap pemberi izin, tidak akan ada pihak yang mau mengeksekusi kesalahannya sendiri," kata Edo lagi.

Selain itu, memberikan nomenklatur KLH dan Kehutanan mempersempit cara pandang dan tindakan kita bahwa segala hal yang berkaitan dengan lingkungan hidup dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan kehutanan. "Pertanyaannya, kenapa tidak digabung dengan sektor sumber daya alam lainnya, ESDM misalnya?" katanya.

Padahal, menurut Edo, lingkungan hidup berkaitan dengan berbagai sektor. Belum lagi kebijakan-kebijakan kementerian yang digabung tersebut dikhawatirkan akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang menteri yang ditunjuk.

"Patut diduga, semangat dan komitmen Presiden memperkuat institusi lingkungan hidup di pemerintah gagal memahami esensi penguatan dan terjebak pada jumlah kementerian yang sempat dijanjikan menjadi kabinet yang ramping," tuturnya.

Sehingga, lanjutnya, apabila tidak digabungkan akan memiliki jumlah kementerian yang lebih besar daripada kementerian era presiden SBY. Edo menilai, mempertahankan dan memperkuat KLH merupakan hal yang harus dilakukan oleh Presiden Joko Widodo untuk menjamin adanya kementerian sebagai pengendali pembangunan, yang berkaitan untuk memastikan terselenggaranya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

Terkait hal ini, Walhi mendesak DPR untuk menolak penggabungan dan mendesak presiden membatalkan rencana penggabungan kementrian tersebut. "Masih ada waktu sekurang-kurangnya satu minggu untuk melakukan pembatalan ini," ujar Edo.

Sayangnya, pihak DPR sepertinya akan menyetujui usulan Presiden Jokowi tersebut. Ketua DPR Setya Novanto menyatakan tak ada perubahan yang melanggar konstitusi. Dia menyebut, pengaturan kementerian negara diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menyebutkan perubahan kementerian dilakukan dengan pertimbangan DPR.

"Dewan diberikan waktu selama-lamanya tujuh hari sejak surat diterima, apabila dalam waktu tujuh hari kerja, DPR belum menyampaikan pertimbangan, maka dewan dianggap sudah memberikan pertimbangan," kata Setya.

BACA JUGA: