JAKARTA, GRESNEWS.COM - Adanya wacana pemisahan kementerian pendidikan menjadi pendidikan dasar dan menengah dengan pendidikan tinggi membuat sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh para calon menteri pendidikan. Diantaranya, para calon menteri ini haruslah mengerti konteks pendidikan dasar dan menengah. Hal ini penting, karena selama ini, penerapan kurikulum yang tidak sesuai malah mengakibatkan kemunduran dalam pendidikan anak Indonesia di mata dunia.

Hal ini diduga akibat para pembuat kebijakan pendidikan selama ini merupakan orang-orang yang tidak terlalu berpengalaman menangani anak-anak usia dasar. Padahal, penanaman ilmu awal diterapkan mulai dini. "Profesor-profesor yang ditunjuk itu tidak tahu bagaimana kondisi riil pendidikan dasar dan menengah. Mereka hanya mengerti teori saja," ujar pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Profesor Muhammad Surya, kepada Gresnews.com, Rabu (10/9).

Ia berpendapat, nantinya, siapapun yang menjadi menteri harus memahami filosofis pendidikan. "Jangan sampai pendidikan dipersempit menjadi manfaat birokratis saja. Karena manajemen pendidikan berbeda dengan manajemen koorporasi, apalagi politik," ujar Surya menambahkan.

Kecenderungan selama ini, kata dia, jabatan menteri pendidikan hanya digunakan sebagai pelengkap dan hadiah politik semata. "Sehingga kebijakan yang diambil oleh orang yang tidak paham permasalahan sudah pasti akan menghasilkan produk yang gagal," ujarnya menegaskan.

Kebijakan salah kaprah itu, kata Surya, misalnya terkait masalah ujian akhir nasional yang dipakai sebagai penentu kelulusan. Dalam konteks ini, siswa tingkat dasar selalu diajarkan bernalar dengan tolok ukur mata pelajaran matematika dan sains. "Hasilnya kompetensi bernalar mereka berada di bawah anak-anak korban perang, Palestina. Kompetensi membaca siswa dasar Indonesia pun hanya sejajar dengan negeri miskin di Afrika, Ghana," ujarnya.

Hal ini menunjukan Indonesia telah mengalami tragedi nol buku, karena hanya membaca rata-rata 1 halaman dalam 14 hari. Padahal rata-rata jumlah bacaan anak di dunia mencapai 300 halaman dalam 5 hari.

Salah kaprah makna, menurut Surya, juga diduga menjadi penyebab mundurnya kompetensi siswa. Selama ini para pembuat kebijakan pendidikan menyangka kurikulum sebagai mata pelajaran yang harus diajarkan dan pendidikan karakter sebagai keharusan mengajarkan tentang karakter.

Padahal, kedua hal tersebut tidak terpisah, karakter bukan diajarkan, melainkan ditanamkan dan dilarutkan oleh berbagai kegiatan pembelajaran. "Dari mulai birokrasi nasionalnya sampai kepala sekolahnya pun seperti tidak mengetahui makna pendidikan," ungkapnya.

Kemunduran kompetensi siswa dasar juga diakibatkan oleh kualitas guru yang juga buruk. Berdasarkan peringkat kualitas guru di 12 negara Asia, Indonesia menempati urutan terakhir dengan nilai 4,3. Padahal nilai minimum kualitas guru berada di poin 7. Pada tahun 2014 ini, kualitas guru Indonesia berada di urutan ke 40 di dunia, turun satu peringkat dibandingkan tahun lalu.

Bahkan ia pernah menjumpai kenyataan pada guru usia 50 tahun yang hanya pernah mengikuti pelatihan keguruan sekali seumur hidupnya. Padahal rata-rata pelatihan keguruan di dunia sebanyak 100 jam per tahun per guru.

Kurangnya guru berkualitas ini tidak dipungkiri oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). "Guru-guru berkualitas hanya ditempatkan di perkotaan dan sekolah-sekolah unggulan. Guru tidak berkualitas karena pemerintah menciptakan sistem yang tidak berkualitas pula," ucap Retno Listyarti, Sekjen FGSI, Selasa, (9/9).

Lemahnya kualitas guru inilah yang membuat Retno pesimis implementasi kurikulum 2013 akan berjalan baik. Karena implementasi sistem tematik dalam sebuah kelas kecil di luar negeri hanya berisi 20 anak dengan tiga guru. Sedang di Indonesia kelas berisi 40 anak dengan hanya dijaga satu guru. "Jangankan distribusinya, isinya saja sangat tidak siap," jelasnya.

Belum lagi persoalan lain seperti masalah relasi antara guru-murid yang sering kali buruk, kenakalan siswa yang cenderung mengarah ke tindak kriminal seperti tawuran, sampai masalah korupsi di dibidang pendidikan yang penindakannya tidak pernah tegas. "Kepala sekolah dipilih karena dekat dengan atasan dan punya uang seharga satu avanza. Otomatis jika naik jadi kepala sekolah yang dipikirkan bagaimana balik modal dan bayar upeti ke atasan agar kursinya tetap aman," ujar Retno.

Untuk memutus mata rantai ini, Retno setuju jika menteri pendidikan yang terpilih nantinya bukanlah orang politik. Menteri pendidikan haruslah mempunyai rekam jejak di dunia pendidikan dasar agar bisa langsung bergerak menyelesaikan masalah. "Selain itu sang menteri juga berusia muda agar masih mempunyai energi untuk berkeliling memahami persoalan langsung," kata Retno.                                                                                     

BACA JUGA: