JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sebanyak 28 desa di Kecamatan Lumbis Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara, memperoleh perhatian lebih dari Malaysia. Mereka memperoleh pasokan listrik secara cuma-cuma dari negara tetangga itu. Selain pemberian listrik gratis, masyarakat di sana juga difasilitasi untuk membuat Identity Card (IC) atau kartu kewarganegaraan Malaysia, sehingga banyak warga Lumbis Ogong yang memiliki dua kewarganegaraan.

Perhatian berlebih Malaysia itu dipandang sebagai modus negara itu untuk mencaplok wilayah perbatasan Indonesia. Pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah menilai pemberian listrik gratis itu sangat mempermalukan negara, sekaligus berbahaya bagi kedaulatan Indonesia. Bergantungnya listrik warga Indonesia di perbatasan terhadap Malaysia, akan menguatkan nilai tawar Malaysia di daerah perbatasan.

"Ketergantungan tersebut akan berdampak sangat besar, Malaysia bisa memainkan peranan dengan daya tawarnya, dan Indonesia tak sadar wilayah kita sedang digoyang," ujar Teuku Rezasyah kepada gresnews.com, Jumat (5/8).

Ia berharap pemerintah benar-benar memperhatikan kehidupan warga perbatasan, seperti harapan Nawacita untuk memulai pembangunan dari pinggir, supaya tidak ada lagi warga negara Indonesia yang bergantung dengan negara lain. Hal itu akan dipandang merendahkan wibawa bangsa dan dapat melunturkan jiwa nasionalisme warga.

Walaupun Indonesia memiliki perjanjian batas wilayah dengan Malaysia, akan tetapi banyak patok perbatasan Indonesia dengan Malaysia yang telah bergeser. Sebab patok-patok tersebut dibuat sangat sederhana. Sementara pihak Indonesia tidak sanggup mengontrolnya dengan baik, sehingga dugaan Malaysia memperluas wilayahnya bisa saja benar.

"Walaupun Malaysia selalu bilang akan menghormati kedaulatan Indonesia, tapi kita juga tahu bahwa banyak sekali patok yang bergeser. Bisa jadi di mulut dan tindakan tidak selaras," ujarnya.

Ia menilai, tindakan Malaysia tersebut secara politis dapat dikatakan sebagai tindakan memperluas wilayah dengan sangat halus. Oleh karena itu pemerintah perlu menegaskan wilayah negara dengan melakukan pengecekan kembali peta daerah perbatasan serta merunut peta yang dibuat pada zaman Belanda. Pengecekan juga harus mempertimbangkan perubahan struktur geografis seperti perubahan aliran sungai serta pembuatan patok-patok baru.

"TNI sebagai pengawas harus terus mengawasi perubahan yang ada di daerah perbatasan, jangan sampai tanah Indonesia, tapi yang memiliki warga negara Malaysia," ungkapnya.

Harapan senada diungkapkan oleh Ari Yusnita dari Komisi VII DPR. Menurut Yusnita, pemberian listrik gratis oleh Malaysia ke wilayah perbatasan Lumbis Ogong jika tidak segera disikapi akan berpotensi besar terjadinya klaim wilayah oleh Malaysia. Oleh karena itu ia meminta pemerintah segera mengambil tindakan.

"28 Desa tersebut adalah saudara kita, malah lebih diperhatikan oleh negara lain," ungkapnya di gedung DPR, Selasa (26/7).

Ia juga meminta Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan dan Keamanan melakukan langkah-langkah diplomatik secara intensif. Khususnya terhadap keberadaan tapal batas antara Indonesia dengan Malaysia dan negara lainnya agar tidak lagi terdengar kabar buruk di daerah perbatasan.

"Warga perbatasan harus dibuat bangga sebagai WNI, mereka harus diberikan hak yang sama dan percepatan pembangunan infrastruktur daerah perbatasan menjadi prioritas," ujarnya.

TAK MUDAH MENCAPLOK WILAYAH - Namun pendapat berbeda diungkapkan pengamat hubungan internasional, Dewi Fortuna Anwar. Menurut dia, pemberian IC (Identity Card) oleh Malaysia tidak serta-merta menjadikan warga negara Indonesia menjadi warga negara Malaysia. Sebab ID Card tersebut kemungkinan hanya untuk mempermudah warga negara di daerah perbatasan untuk melakukan perjalanan lintas batas.

Hal tersebut karena perbatasan Indonesia dan Malaysia bukan hanya terkait lintas batas tetapi juga lintas tradisi. Sebab sudah lumrah masyarakat daerah perbatasan melakukan transaksi dagang di wilayah negara yang lebih makmur, dalam hal ini Malaysia. Akibatnya banyak WNI yang lebih memilih bertransaksi di pasar Malaysia. Selain itu, banyak juga warga perbatasan yang memiliki kerabat di wilayah seberang, sehingga perjalanan lintas batas adalah hal yang lumrah.

Selain itu, menurutnya, Indonesia dan Malaysia sama-sama tidak mengenal kewarganegaraan ganda. Jika pemberian IC ini dimaksudkan untuk menjadikan WNI menjadi warga negaranya maka WNI tersebut harus melepas kewarganegaraan Indonesia, apalagi Malaysia terkenal sangat tegas terkait pemberian izin terhadap pendatang gelap.

"Jangan menganggap orang dikasih Identity Card terus jadi warga negara mereka," ujar Dewi kepada gresnews.com, Jumat (5/8). Apalagi bila hal tersebut dinilai sebagai upaya mencaplok wilayah Indonesia. Sebab, Pemerintah Malaysia dan Indonesia sudah memperbandingkan secara intensif garis batas masing-masing negara dan terikat oleh perjanjian tapal batas antar kedua negara. "Gak bisa main caplok-caplok kampung kayak gitu," ujar Dewi.

Akan tetapi Dewi mengungkapkan, hal tersebut tetap harus menjadi perhatian serius pemerintah. Sebab wilayah perbatasan seharusnya menjadi pertahanan bukan sebagai kelemahan. Jangan sampai negara tetangga lebih memberikan kesejahteraan untuk warga yang tinggal di perbatasan karena itu bisa mengurangi loyalitas terhadap NKRI. "Kesejahteraan warga perbatasan memang harus ditingkatkan," ujar Dewi.

Menurut data organisasi Pemuda Perbatasan, sekitar 85 persen warga di Kecamatan Lumbis Ogong telah memiliki IC warga negara Malaysia. Pemberian IC ini dilakukan secara gratis dan bekerja sama dengan tokoh adat setempat, sehingga masyarakat Lumbis Ogong mau membuat IC Malaysia.

Mereka menyebut warga di wilayah itu dipanggil secara berkelompok hingga puluhan orang oleh tokoh adat yang menjadi fasilitator pemerintah Malaysia. Hal itu terjadi secara terus menerus. Meski demikian, warga di wilayah itu mengaku tetap sebagai WNI.

PENENTUAN TAPAL BATAS BELUM KELAR - Menurut pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana, kejadian ini bukanlah masalah besar. Ia menjelaskan, menurut ketentuan hukum internasional, masyarakat yang tinggal di perbatasan tidak dapat dipisahkan. Sehingga tidak perlu memisahkan mana warga negara Malaysia dan warga negara Indonesia, karena di daerah perbatasan ada unsur tradisi.

Pemberian IC oleh Malaysia hanyalah sebuah bentuk pemberian kesejahteraan oleh Malaysia, sebab untuk mendapatkan kesejahteraan tersebut masyarakat harus memiliki IC atau KTP Malaysia. "Ini tidak bisa disebut kewarganegaraan ganda, kecuali orang Jawa yang pergi ke Nunukan terus dapat IC, baru disebut ganda, kalau warga lokal ya tidak," ungkap Hikmahanto kepada gresnews.com, Jumat (5/8).

Hikmahanto mengakui, saat ini masih ada permasalahan terkait penentuan tapal batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia yang belum konklusif. Akan tetapi permasalahan tersebut terus dibicarakan sampai sekarang dan pemberian IC tidak akan mempengaruhi, kecuali penentuan batas diselesaikan dengan jajak pendapat atau referendum.

"Nah itu bahaya, tapi hal itu tidak mungkin terjadi dan pemerintah Indonesia tentu tidak akan mau," tegasnya.

BACA JUGA: