JAKARTA, GRESNEWS.COM - Isu penggabungan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dengan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dalam kabinet Jokowi menuai reaksi penolakan para pelaku pasar perumahan. Pasalnya penggabungan itu dikhawatirkan hanya akan membuat program perumahan rakyat berjalan mundur.

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia(APERSI) Eddy Ganefo mengatakan penggabungan kedua kementerian itu memiliki sisi kelebihan dan kekurangan. Menurutnya saat Kemenpera berdiri sendiri tingkat kekurangan pasokan perumahan (backlog) masih sangat parah. Hal itu ia nilai karena lemahnya manajemen. Setidaknya jika nanti digabung dengan Kementerian PU, maka di daerah-daerah dapat dijangkau karena masing-masing dinas seperti Pemerintahan Daerah dan di Kantor Wilayah memiliki Dinas PU.

Sementara  kelemahannya menurut Eddy,  sifat dari Kemenpera lebih kepada kesejahteraan atau sosial. Sedang Kementerian PU lebih kepada ekonomi dan pembangunan. Artinya Kementerian PU dalam membangun infrastruktur selalu mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara itu pembangunan perumahan rakyat tidak mungkin mengandalkan APBN karena perumahan rakyat lebih mengedepankan pemberdayaan masyarakat yang belum memiliki rumah. Selanjutnya memberdayakan pemangku kepentingan dengan swadaya dan swadana ataupun secara subsidi.

"Jadi kalaupun PU nanti memberikan subsidi kepada masyarakat untuk memiliki rumah kan agak aneh. Padahal subsidi itu kan masuknya ke Menkokesra," kata Eddy kepada Gresnews.com, Jakarta, Jumat (24/10).

Dia menilai jika digabungkan menjadi satu antara Kementerian PU dengan Kemenpera, secara otomatis pembangunannya akan dibiayai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Hal itu akan menyulitkan untuk pembangunan rumah.

Eddy mencontohkan saat ini backlog perumahan sebanyak 15 juta unit rumah, jika dikalikan harga satu rumah sebesar Rp100 juta. Maka pemerintah harus menanggung beban APBN sebesar Rp1500 triliun. Menurutnya negara tidak akan sanggup untuk membiayai pembangunan rumah sebesar Rp1500 triliun hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah.

Kemudian, menurut Eddy sosok Menteri pun harus mengimbangi dua entitas sebagai Menteri PU yang sifatnya pembangunan dan Menpera sebagai sosial. Menurutnya jika tidak imbang maka salah satu sektor akan menjadi anak tiri terutama sektor perumahan rakyat karena sifatnya sosial, ketimbang PU yang sifatnya menggiurkan karena besaran anggaran. "Saya takut akan menjadi parah untuk perumahan rakyat," kata Eddy.

Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan selama ini Kemenpera tidak dapat berjalan dengan baik bahkan dalam penyerapan anggaran pun mempunyai raport merah. Namun demikian buruknya kinerja Kemenpera selama ini jangan langsung diartikan bahwa Kemenpera tidak penting. Hal itu dikarenakan masalahnya bukan di Kementerian melainkan banyak program yang tidak berhasil dilaksanakan oleh Menterinya.

Ali menilai banyak hal yang menghambat program perumahan rakyat tidak dapat berjalan bila ternyata Kementerian PU digabung dengan Kemenpera :

- Dengan penggabungan maka span of control dari kementerian menjadi sangat besar dan dikhawatirkan fokus untuk menangani perumahan rakyat menjadi terabaikan

- Menteri yang akan menduduki jabatan ini harusnya tidak hanya berpikir infrastruktur namun juga perumahan rakyat. Meskipun ada keterkaitan namun dikhawatirkan tidak ada menteri yang kompeten di PU yang juga memahami perumahan rakyat. Karena berbicara perumahan rakyat dalam konteks public housing akan berbeda dengan pasar perumahan secara umum

- Dasar wawasan pengetahuan dan pengalaman di kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan di Kementerian Perumahan Rakyat berbeda jauh. Bila di PU lebih banyak bersifat konstruksi dan perencanaan termasuk perijinan, di sektor perumahan rakyat sangat terkait banyak hal termasuk masalah pembiayaan terkait subsidi dan FLPP, pertanahan, sampai sosialisasi program, yang akan sangat berbeda pendekatannya

- Penggabungan ini membuktikan bahwa perumahan rakyat masih dianggap tidak penting sedangkan saat ini masalah perumahan rakyat telah amburadul dan menjadi semakin kusut

- Pola pikir yang salah ternyata terus mewarnai pemerintahan yang baru ini yang seharusnya memandang perumahan rakyat sebagai indikator kesejahteraan suatu negara. Hal ini akan membuat pasar perumahan komersial akan terus tidak terkendali dan masyarakat yang membutuhkan rumah murah tak kunjung terselesaikan.

Menurutnya jika langkah penggabungan kedua kementerian tersebut diambil oleh pemerintah. Maka pemerintah harus segera membentuk Badan Pelaksana Perumahan seperti yang diamanatkan UU No 1 Tahun 2011 mengenai Perumahan dan Permukiman, yang sampai 3 tahun tak kunjung selesai. Ali menjelaskan badan tersebut akan memberikan fokus terhadap penyelesaian permasalahan perumahan rakyat yang terjadi. Namun setelah 2 kali pemerintahan SBY masalah perumahan semakin mundur.

"Ternyata janji pemerintah yang baru tidak memperlihatkan sebuah kemajuan dalam perumahan rakyat. Indikasi bagi-bagi jatah untuk orang dekat juga akan diperkirakan akan membuat bias kriteria profesional yang ada saat ini," kata Ali.

BACA JUGA: